webnovel

Gosip (Sekolah Meradang)

*

"Bukan nya menentang hal itu, dia malah membenarkan nya. Dan akulah sasaran mereka."

*

Aku terus menunggu Bumi di depan kelas nya. Tapi dia belum juga kembali, bahkan jam sudah menunjukkan bahwa sebentar lagi akan masuk.

"Kamu menunggu Bumi?" tanya seseorang dari belakang.

"Iya."

"Bumi tidak akan ke kelas, dia sedang mengurus OSIS di ruangan bersebelahan dengan perpustakaan."

"Terimakasih."

Aku bergegas pergi ke ruangan OSIS. Memang benar apa yang di katakan oleh kakak kelas itu bahwa Bumi sedang ada di ruang OSIS.

Mau masuk, tapi aku bukan anggota OSIS. Jadi aku menunggu di luar saja.

Akhirnya Bumi sudah selesai, dia melihatku dengan tatapan datar itu.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Bumi.

"Menunggu kak Bumi, aku ingin bertanya tentang sesuatu boleh?"

"Apa itu? Katakan saja."

"Kenapa semua orang melihatku dengan aneh, katanya ada gosip tentang kak Bumi denganku. Apa benar?"

"Iya, ini." Bumi memperlihatkan gosip itu. Padahal Bumi hanya membantuku saja wakut itu, namun mereka sudah salah paham.

"Maaf kak karena aku kakak jad-"

"Tidak apa-apa, aku sudah mengatakan bahwa gosip itu benar dan kita pacaran."

"Hah?!" kagetku dengan bola mata yang hampir saja keluar.

"Kenapa kak Bumi lakukan itu? Aku kan bukan siapa-siapa nya kak Bumi. Aku juga tidak mau kak Bumi terlibat dalam gosip ini. Biar aku yang bilang kalau semuanya itu bohong."

"Senja, aku sudah mengatakan kalau semuanya benar. Jadi kamu tidak usah menyangkalnya lagi."

"Hah? Tidak kak ini tidak benar."

"Senja bantu aku, di sekolah banyak sekali gadis-gadis yang mengejarku. Kamu mau membantuku bukan?"

Aku terdiam, bagaimana mungkin aku berbohong. Tapi untuk membantu Bumi aku akan mengusahakan nya.

"Kenapa Senja, apakah ini kali pertama untukmu?" tanya Bumi.

"Iya."

"Yasudah, akan aku urus." ujar Bumi.

Setelah berbicara dengan Bumi hal itu tidak ada lagi. Semua orang menatapku dengan nornal. Hingga aku tahu bahwa Bumi mengatakan yang sebenar nya.

Aku sedang, ternyata Bumi masih menghargaiku. Dia bahkan rela di kejar-kejar oleh gadis-gadis karena aku. Mungkin aku terlalu kejam sudah mengatakan hal itu. Benar bukan?

Karena begitu, aku memutuskan untuk menunggu Bumi sepulang sekolah. Ingin mengucapkan terimakasih kepadanya.

Namun bukan Bumi yang ada, Zeana malah memintaku untuk ikut dengan dia. Bahkan Zeana mengatakan bahwa Bumi miliknya.

"Senja, bisakah kamu pergi dari hidup Bumi. Gosip itu saja sudah membuatku gila!" ujar Zeana.

Aku tidak tahu apa yang di katakan oleh Zeana. Tidak ada yang berhak juga terhadap Bumi selain keluarganya. Lalu siapa Zeana sampai mengatakan hal itu?

"Siapa kamu memangnya Zeana? Kak Bumi kan bukan milikmu." ujarku.

Zeana tidak terima karena aku sudah mengatakan hal itu. Dia mengeretku sambil meremas kunciranku.

"Senja! Kamu membuatku kesal!"

"Zeana sakit!"

Aku berusaha melepaskan, tapi Zeana malah kelih keres lagi. Tidak ada yang bisa aku lakukan, hanya diam saja dengan perlakuan itu.

Semua orang sudah pulang, itu artinya aku dalam masalah karena masih di sekolah bersama dengan tidak orang itu.

"Kenapa Senja? Kamu selalu saja mengganggu hidupku!"

Aku mengrutkan kening, mengganggu? Memangnya selama ini apa yang aku lakukan terhadap Zeana?

"Apa yang aku lakukan kepadamu Zeana?"

"Kamu menyebalkan!"

Plak!

Zeana menampar pipi bagian kananku. Rasanya cukup perih, hingga aku ingin menangis. Tapi aku ingat bahwa aku tidak bisa menangis.

"Kenapa Senja? Menangislah!"

Aku menggeleng."Kenapa kamu kahat sekali Zeana?"

"Aku sudah bilang bahwa aku ingin melihatmu menderita!"

"Kamu jahat!"

"Senja, aku akan pastikan kalau kamu akan selalu mendapatkan hal ini. Aku akan berjalan di sampingmu dan melakukan hal ini kembali di masa yang akan datang, jadi tunggulah!"

Setelah Zeana dan yang lainnya pergi, aku terperpesot ke bawah. Aku memeluk dengkulku karena tubuhku gemetaran.

Dengan segera aku bangkit, pergi ke salah satu tempat agar aku bisa lebih tenang dan melupakan niat awalku untuk pergi menemui Bumi.

***

Aku tengah terbaring di ranjang, tanpa melakukan apapun aku mulai tersadar bahwa hari ini Cian akan pulang.

"Bi, sedang apa?" tanyaku pada Bi Imas yang ternyata sedang memasak.

"Memasak Non."

"Bi, bisakah aku izin untuk keluar sebentar?"

"Kemana Non?"

"Ke rumah Cian, sebentar kok."

"Non."

"Bi."

"Baiklah silahkan, tapi jangan lama-lama ya."

"Yasudah Bi, terimakasih. Aku pergi." ujarku dengan senyum mengembang.

Pipiku memar, lalu aku menutupinya dengan masker.

"Kok pakai masker?"

"Debu aja Bi."

Bi Imas mengangguk, untungnya dia percaya tentang apa yang di katakan olehku. Kalau tidak Bi Imas akan khawatir bahwa aku sedang terluka.

Aku tidak ingin semua orang cemas jika aku selalu di bully. Bahkan ketika pergi ke psikolog pun aku sendiri, agar aku bisa lebih tenang.

Sesampainya di rumah Cian, aku mengetuk pintu rumahnya. Namun tidak ada yang membuka kannya. Sampai, Bumilah yang membuka pintu.

"Senja?"

"Hallo kak Bumi, apa Cian sudah kembali?" tanyaku dengan penuh harapan.

"Dia masih ada di perjalanan, masuk saja Senja. Tunggu Cian di dalam."

"Baiklah."

Aku sudah sering pulang-pergi ke rumah Cian, jadi sudah tidak asing lagi untuk menetap di rumah dia.

"Kak Bumi, terimakasih karena kamu tidak membenarkan gosip itu. Aku tahi kak Bumi kesusahan karena itu, tapi kakak keren!" ujarku memberikan dua jari jempol kearahmya.

"Terimakasih."

"Sama-sama."

Aku penasaran dengan satu hal, senyum Bumi. Sepertinya senyum lelaki yang satu ini akan sangat indah jika aku dapat melihatnya. Bahkan mendengar hal lucu saja Bumi tidak tertawa, apa dia normal? Tidak masalahnya dia selalu mengeluarkan ekspresi yang sama.

"Kenapa kamu hanya menatapku, duduk Senja." ujar Bumi.

Aku duduk, ternyata Bumi sedang memasak di dapur.

"Boleh aku membantu?" tanyaku.

"Boleh, tapi kamu hati-hati. Potong ini berbentuk dadu, kamu bisa?"

"Bisa, apa yang tidak bisa aku lakukan?" sombongku.

Entahlah, aku ingin melihat dia tersenyum. Tapi aku sedikit takut juga kalau di rumah hanya berdua saja, itu sebebnya mataku jelalatan.

"Ada Bibi kok di rumah, lagi nyuci." ujarnya yang peka.

Aku terkejut karena Bumi peka sekali di balik wajahnya yang datar itu."Wah luar biasa, apakah kak Bumi bisa menebak seseorang?"

"Matamu itu, melihat kesegara arah. Sudah berkata bahwa kamu ingin bertanya apakah hanya kita berdua di rumah." ujar Bumi.

"Ah seperti itu. Hebat!"

Bumi kembali memasak, sedangkan aku tersenyum begitu saja. Apakah kami sudah cocok sebagai sepasang suami-istri? Tidak aku hanya bercanda saja.

Tidak lama aku mendengar ada mobil terparkir di luar, itu pasti mobil Cian. Bumi menyuruhku untuk melihat ke depan, dan aku menurutinya.

Aku mengintip dari jendela, ternyata yang keluar bukan Cian atau kedua orangtuanya. Hanya ada seorang anak perempuan dengan seorang perempuan yang umurnya sama dengan Mama Cian.

"Kak Bumi, aku tidak tahu itu siapa. Tapi yang jelas itu seorang anak gadis sepertiku dan ibunya." ujarku.

Kening Bumi mulai berubah.