*
"Bumi memberikan perhatian yang membuatku canggung, apa ini yang di sebut cinta monyet?"
*
Bumi menghidangkan minuman kepada tamunya, sedangkan aku hanya berada di dapur saja.
Aku tidak tahu apa yang mereka obrolkan, tapi gadis seumuran denganku itu terus tersenyum.
Karena tidak fokus, aku yang hendak mengangkat panci terlupa tidak memakai sarung tangan.
Hingga, aku berteriak kepanasan dan panci itu tumpah ke lantai. Bahkan air panas di dalam panci itu mengenai tanganku.
"Awww!" ringisku.
Mungkin aku meringis terlalu kencang hingga akhirnya Bumi datang dan terkejut melihat itu semua.
Aku ketakutan, bagaimana kalau nanti Bumi marah kepadaku. Bisa-bisa aku tidak di izinkan main kembali.
Tapi Bumi tidak mengatakan hal lain, dia segeran mengambil salep di laci P3K.
"Kamu jangan lakukan hal ini, kenapa sampai bisa seperti ini? Lain kali jangan."
"Iya kak, aku lupa memakai sarung tangan."
Setelah di obati, aku di minta untuk naik ke lantai atas. Pergi ke kamar Cian untuk beristirahat.
Bumi mengantarkan aku ke lantai atas, tapi sebelum itu dia meminta izin pada tamu tersebut.
"Kak Bumi boleh aku ikut?" tanya seorang gadis kecil seumuran denganku.
Bumi mengangguk, mungkin karena tidak enak juga pada ibunya. Di kamar Cian aku di baringkan, Bumi mengatakan kalau aku istirahat dulu dan nanti setelah Papa nya pulang akan d periksakan kembali.
"Kak Bumi kenapa dia ada di sini?" tanya dia.
Aku menongak kearah dia, kenapa dia banyak bertanya sekali. Rasanya aku membenci orang yang banyak bertanya seperti itu.
"Lary, bisakah kamu pergi sebentar. Kakak mau berbicara dengan kakak ini." ujar Bumi.
"Baik." dia keluar.
Aku menghela napas legaku."Kenapa dia sangat menyebalkan? Siapa dia? Banyak tanya sekali." kesalku.
Bumi mengelus puncak keningku."Itu Lary, dia anak Tanteku. Itu yang di bawah, mereka hanya bertanya tentang keadaanku karena dia tahu bahwa Mama dan Papa serta Cian sedang pergi ke Bandung."
"Oh begitu, aku kira dia itu anak yang akan di jodohkan olehmu."
"Bukan, kamu kenapa bisa berpikir yang tidak-tidak?"
"Karena kak Bumi tampan, aku rasa kak Bumi sudah memiliki orang yang akan jadi istri dan itu karena perjodohan."
"Kamu berpikir terlalu keras Senja, ayo tidur." ujar Bumi.
Dia melihat kearahku sekilas sebelum kembali ke lantai bawah.
Aku rasa Bumi keren, dia juga sangat tampan dan baik. Mungkin di sekolah dia memang dingin agar tidak menjadi incaran gadis. Memasang wajah batu saja sudah membuat gadis-gadis menjerit, apalagi kalau tersenyum.
Tanpa sadar aku tertidur, sekitar jam delapan malam aku baru terbangun ketika aku mendengar ada orang yang tengah mengaji.
Aku bangkit dari tidurku, dan aku mengintip dari kamar sebelah. Merdu sekali suaranya, bahkan membuatku terpana.
Ternyata itu Bumi. Aku semakin kagum dengan lelaki satu itu. Bukan hanya tampan, tapi bisa mengaji dengan merdu.
Selesai mengaji, aku mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu. Dia mengizinkan aku masuk kedalam.
Aku duduk melihat sekitaran kamar yang di dominan berwarna hitam dan merah.
"Kenapa Senja?"
"Kamarnya bagus." ujarku. Sampai aku melihat kearah jam dinding.
"Waduh, jang segini?" ujarku dengan heboh, karena aku tahu bahwa jam delapan bukan waktu yang baik untukku pulang.
"Kenapa?"
"Jam delapan malam bukan?"
"Iya Senja, kenapa?"
"Kenapa?"
"Bukankah kamu akan menginap?" tanya Bumi.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat."Tidak!"
Tapi Bumi tidak pamit, dia duduk di sampingku dan mengatakan "Aku sudah menlpon Bi Imas. Nomornya selalu kamu bawa bukan? Dan nomor itu juga tersimpan di sini. Jadi kamu tenang saja."
"Beneran?"
"Iya."
Aku menghela napas lega. Tapi aku tidak melihat Cian, bukankah dia seharusnya sudah pulang?
"Dimana Cian?" tanyaku pada Bumi.
"Mereka memutuskan untuk bermalam di perjalanan karena mobilnya mogok. Kamu bisa tidur di kamar Cian, dia juga mengizinkan. Tapi kalau kamu mau tidur di kamar in-"
"Cian saja." ujarku yang bangkit dan pergi ke kamar Cian.
Bisa-bisanya Bumi menawarkan kamarnya pada seorang anak gadis kecil dan lucu sepertiku.
"Senja, aku tidak berniat menggodamu. Aku hanya bertanya saja!" ujar Bumi dari luar.
Aku menutup telingaku, sedikit geli juga kalau Bumi berperilaku seperti itu. Tapi untuk apa aku takut? Bumi bukan orang jahat.
"Senja, apakah kamu sudah tidur?"
Aku terdiam saja, malu sekali. Ternyata dia suka menggoda anak gadis kecil dan lucu sepertiku. Mungkin anak gadis yang waktu itu juga sempat dia goda, untung saja bukan jodoh yang di siapkan kedua orangtuanya.
Tidak, sekarang aku sudah menjadi gadis yang akan dewasa.
"Senja!"
"Yasudah aku pergi!"
Aku memutuskan untuk kembali tidur padahal aku tidak berniat untuk menginap, tapi apa boleh buat.
Tidak lama perutku mulai kerongcongan, sakit sekali. Mau meminta makan, tapi aku segan.
"Senja apakah kamu tidak lapar!" tanya Bumi dari luar.
Mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain. Aku terpaksa harus menerima tawarannya, kalau tidak nanti aku tidak bisa tidur karena lapar.
"Mau!" ujarku yang membuka pintu kamar.
Bumi berjalan ke bawah dan aku mengekor di belakang. Sekilas dari pantulan cermin, aku melihat dia tersenyum meskipun sedikit. Tapi entah kenapa aku senang karena melihat hal itu.
"Duduk di sini." ujar Bumi. Dia menyiapkan makanan yang tadi dia buat.
"Apa ini?"
"Ini masakan yang tadi kita buat." ujarnya, padahal aku tidak membantunya melainkan mengacaukan hal itu.
"Kita? Aku hanya jadi pengacau saja."
"Tidak, kamu juga membantu. Apakag kamu mampu makan?" tanya Bumi.
Aku mengangguk, bagaimana kita tahu kalau tidak mencoba. Maka aku mencobanya, sulit juga melakukan hal itu.
Bumi melihat bagaimana aku berusaha untuk makan, maka dia membawa piring kearahnya dan menyuapiku.
Aku terdiam, jangan sampai pipiku memerah merona."Sini aku yang suapi." ujar nya.
"Iya."
Aku makan dengan lahap, masakan yang Bumi buat sangatla enak."Ini enak sekali!" ujarku.
"Benarkah?"
"Iya, aku serius. Kak Bumi pandai sekali memasak."
"Kalau mau aku bisa memasak setiap hari untukmu."
"Uhukk.. Uhukk.." aku batuk-batuk setelah mendengar hal itu.
Kenapa dengan Bumi? Sepertinya dia sedikit aneh kepadaku. Dia sangat perhatian, tapi aku jadi canggung dekat dia karena hal itu.
"Kenapa?" tanya Bumi.
Dia masih bisa bertanya kenapa? Ah sepertinya aku salah sudah menginap di sini.
Aku menggeleng dengan cepat.
"Kenapa? Kamu seperti tertekan begitu?" tanya Bumi.
"Tidak!"
Sudah menyelesaikan makan, aku berjalan menuju lantai atas. Dan Bumi ada mengekor di belakang.
Dalam hatiku, aku seperti merasa tidak nyaman di perlakukan seperti itu oleh Bumi. Mungkin maksudnya baik, tapi hatiku jadi tidak karuan. Bagaimana mungkin bisa baik-baik saja jika di perlakukan seperti seorang Ratu.
"Selamat malam Senja, semoga minpu indah." ujar Bumi.
Aku mengaguk."Kak Bumi juga."
Setelah masuk kedalam kamar, aku menelan saliva. Kenapa kak Bumi sampai mengatakan hal itu? Dia sangat perhatian sekali, membuat hatiku kacau.