webnovel

Bab 3 - Malam Panjang (2)

Tetes hujan menitik di pipiku. Pipiku yang lembab akibat air mata yang mengering. Kini tangisan sudah tidak keluar lagi dari mataku yang sudah kering. Tidak, lebih tepatnya air mataku sudah habis.

Air hujan mulai jatuh dengan cepat. Aku yang terdiam sejak tadi tersadar. Aku harus pergi sekarang. Pikirku. Kuambil semua barang-barangku dan pergi dari sana.

"Tolong satu mantelnya dan satu payung."

"Semuanya 3 dollar. Ada lagi?"

Aku melihat-lihat ke sekitar. Memastikan apakah ada hal lain yang perlu kubeli.

"Tolong tambahkan ini juga." Kataku menaruh dua buah kopi kaleng.

"Semuanya jadi 4 dolar 30 sen. Ada lagi?" Tanya wanita itu.

"Tidak."

"Kembalian anda 70 sen, terima kasih."

Aku keluar dari minimarket itu dan Berdiri di bagian depannya. Beberapa orang ikut berdiri di sana untuk berlindung dari guyuran hujan.

Tubuhku terasa berat oleh hoodie yang basah saat perjalanan ke sini. Air menetes dari bagian bawah saking basahnya. Hujan turun begitu lebat malam itu dan membuat seluruh tubuhku basah kuyup.

"Hana, kau ada di sana?" Teriakku mencari-cari dibalik derasnya hujan.

Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah Hana. Apa yang dia lakukan dan di mana dia sekarang. Hujan turun begitu lebat malam ini. Aku mungkin terlindungi oleh payung dan mantel yang kukenakan. namun Hana, aku tidak yakin dia membawa payung atau jas hujan bersamanya. Pokoknya aku harus menemukan Hana.

Aku mencari dan terus mencari keberadaan Hana.

...

Aku berjalan dan terus berjalan. Tanpa arah, tanpa tujuan. Hanya berjalan tanpa tahu ke mana kakiku menuju dan akan menuju.

Ahh, apa yang harus kulakukan sekarang. Uangku sudah habis. Dan kalaupun aku masih punya uang, aku tidak tahu lagi harus ke mana. Aku benar-benar sudah tamat. Tidak ada lagi yang tersisa dariku.

"Laki-laki brengsek itu. Berani-beraninya..." aku berhenti sebelum menyelesaikan kalimatku. Mengingat hal itu hanya membuatku ingin menangis.

"Bagus, sekarang malah hujan." Kataku kesal. Hujan mulai menitik dan menjadi lebat tak lama setelah itu.

Aku terus berjalan tanpa arah tanpa memedulikan lebatnya hujan yang terus menghantam. Tak peduli lagi dengan apapun, aku hanya terus berjalan.

Kakiku mulai lelah. Aku sudah tak kuat lagi berjalan dan jatuh terpuruk. Tertelungkup lemas tak berdaya di bawah peluru air hujan yang terus menembak seperti senapan mesin.

Dingin... Apa aku akan mati di sini? Mati karena kedinginan tidak buruk juga. Pikirku.

"Dingin... dingin sekali. Aku tidak mau mati seperti ini."

"Seseorang... tolong aku."

Terdengar suara samar sebelum aku akhirnya pingsan.

"Di sini kau rupanya."

...

"Hana! Di mana kau." Teriakku di tengah-tengah hujan. Aku berteriak sekuat tenaga agar suaraku tidak kalah oleh suara derasnya hujan, berharap Hana mendengarnya. "Hana!"

Aku terus mencari Hana. Lebatnya hujan dan kelamnya malam seakan menyuruhku untuk menyerah. Menyuruhku untuk bersantai saja di rumah, di depan perapian sambil meminum kopi atau cokelat panas.

"Tidak bisa. Aku yang telah membawanya ke sini. Aku tidak bisa membiarkan Hana sendirian malam-malam begini, di tengah hujan deras ini." Pikirku.

"Permisi apa anda melihat seorang gadis dengan jaket merah hati dan rok hitam kotak-kotak?"

"Tidak." Ucap Pria itu.

"Ah terima kasih, maaf mengganggu."

"Permisi apa anda melihat gadis dengan tinggi sekitar 165 sentimeter mengenakan jaket merah hati dan rok hitam kotak-kotak."

"Maaf aku tidak melihatnya."

Hana, ayolah, di mana kau sekarang. Pikirku sambil terus berkeliling mencari. Bertanya kepada orang-orang yang sedang berteduh atau warga yang sedang bersantai di teras rumahnya.

"Permisi apa anda melihat seorang gadis yang mengenakan jaket berwarna merah hati dan rok pendek hitam bermotif kotak-kotak."

"Ingatanku tidak bagus tapi coba kupikir-pikir dulu." Ucap pria tua itu mengelus-elus janggutnya, berpikir.

Aku bertanya pada seorang pria yang sedang duduk di depan warung makanan yang hendak tutup. Dari pakaiannya sepertinya ia adalah pemilik warung tersebut.

"Ah maaf aku tidak ingat."

"Begitu ya." Kataku kecewa.

"Ayah, mau sampai kapan ayah duduk di sana. Cepatlah tutup tokonya." Teriak seorang perempuan dari belakang. "Cepatlah tutup aku sudah sangat mengantuk."

"Hey Anna, apa kau melihat seorang gadis dengan jaket berwarna... berwarna apa tadi?"

"Merah hati." Tambahku.

"Berwarna merah hati dengan rok hitam kotak-kotak." Teriak si pria tua ke anaknya.

"Apa rambutnya sekitar bahu dan membawa tas kecil?" Anak si pria tua berjalan ke depan toko.

"Ya, ya itu benar dia."

"Tadi aku melihatnya basah kuyup berjalan di tengah hujan tanpa arah." Ucapnya.

"Apa memang ada gadis seperti itu yang lewat sini tadi?"

"Ada yah, bukankah Ayah tadi memanggil-manggilnya ke sini untuk makan dan berteduh." Ucap gadis tersebut sambil melepaskan celemek yang tadinya ia kenakan.

"Ah iya iya, kau benar. Aku terus memanggilnya tapi ia tidak mengacuhkanku."

"Anu, apa kalian tau ke arah mana gadis itu pergi?"

"Dia berjalan ke arah sana dan sepertinya berbelok ke kanan di sana." Tunjuk ayah di gadis.

"Baik terima kasih, terima kasih banyak."

"Hey nak," pria itu memegang tanganku, "berteduhlah dulu di sini dan makan, kami ada sepiring makanan tersisa untukmu." Tawar pria itu.

"Apa yang Ayah katakan. Dia itu sedang terburu-buru mengejar seseorang."

"Iya juga, kau benar. Ya sudah kejarlah dia dan semoga kau menemukannya." Ucap pria itu.

"Ya, terima kasih juga atas tawarannya. Aku pergi sekarang." Kataku pamit.

Aku berlari mengikuti arahan pria tua dan putrinya di toko tadi. Berlari dengan kencang menerjang hujan, berharap menemukan Hana secepatnya.

"Hana, di mana kau." Teriakku lagi. Terus mencari dan mencari.

Pandanganku terhenti pada sebuah figur berwarna merah. Warna merah hati yang tergeletak di pinggir trotoar.

"Hana, Hana." Panggilku berlari ke arah figur itu.

Dan benar saja. Itu adalah Hana.

"Hana. Di sini kau rupanya."

...

Tap Tap Tap.

suara langkah kaki yang terus berbunyi sesuai iramanya. Tubuhku terasa dibawa oleh sesuatu. Gerakan-gerakan seperti naik turun yang mengikuti suara langkah kaki itu.

Di mana aku?

Sebuah jalan terlihat di hadapanku saat kucoba membuka mata perlahan. Di sana aku seperti terus berjalan maju mengikuti suara langkah yang kudengar.

Tanganku merangkul melalui leher sosok itu. Sosok yang sedang membawaku. Aku dapat merasakan punggungnya, bagian tubuh belakangnya yang lebar dan kokoh. Sedangkan kedua tangannya memegang pada kedua kakiku, menahan massa tubuhku.

Pandanganku beralih ke wajahnya. Wajah yang hanya dapat kulihat bagian sampingnya. Yang menunjukkan ekspresi serius. Rambutnya yang basah acak-acakan dan terus meneteskan air ke wajahnya. Ia terlihat tampan dan keren dari sini. Pikirku. Sedang dia terus berjalan dengan tas ransel yang ia sandang di depan.

"Turunkan aku!"

"Kau sudah sadar ya, syukurlah." Ucapnya lega.

"Turunkan aku."

"Hana, berhentilah keras kepala dan ikut ke rumahku. Hari ini sudah terlalu larut."

"Tenang saja aku akan mengikutimu. Tapi turunkan saja aku. Aku bisa berjalan sendiri."

"Baiklah." Ryan mengalah. Ia menunduk dan menurunkanku dari gendongannya.

Ryan kembali berjalan dan aku mengikuti dari belakang.

Kuraba bagian atas kepalaku dan mendapati sebuah mantel hujan yang dipakaikan dari atas kepalaku. Kancing-kancingnya tidak terpasang. Aku baru ingat, tadi hujan lebat, tapi aku tidak ingat aku mengenakan mantel.

Apa dia yang mengenakannya untukku ya. pikirku.

Hujan sudah berhenti. Yang tersisa hanyalah rintik-rintik kecil. Satu atau dua tetes yang masih jatuh sesekali. jalanan yang kami lewati becek akibat air hujan.

"Hei Hana." Panggil Ryan. "Kau tadi menyebutku pembohong kan?"

"Yah, kau memang benar, aku memang berbohong. Tapi aku tidak berbohong soal aku sangat ingin mati. Sangat ingin mati sejak lama." Ryan berbicara sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

"Terus kenapa kau malah membohongiku. Kau malah membawa botol aneh berisi air biasa itu dan bermain-main." Kataku kesal.

"Ya, aku juga memang berbohong soal cairan itu. Cairan di botol itu memang bukan racun yang dapat membunuh dalam sekejap mata."

Ryan berhenti. Ia menggerakkan tangannya seperti sedang melakukan sesuatu. Aku tidak dapat melihat apa yang ia lakukan dari belakang.

"Tapi kau tahu Hana, itu tidak sepenuhnya bohong." Ucapnya. Ia mengeluarkan botol berisi cairan tadi dengan kondisi segel yang telah terbuka dan menuangkannya ke sebuah besi-besi rongsokan di pinggir jalan. Menuangkan isinya yang tidak tersisa banyak hingga habis.

Aku tertegun tak bisa mengeluarkan kata-kata dengan apa yang kulihat. Tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Ryan hanya berdiri di tempat sambil menunduk.

"Apa! Tidak mungkin." Kataku tak percaya. Syok dengan hal yang ada tepat di depan mataku.

Besi-besi rongsokan tadi meleleh dengan sangat cepat tepat setelah terkena cairan tadi. Meleleh hingga tak tersisa. Bahkan trotoar jalan ikut berlubang dan meleleh akibat sisa cairan itu.

Aku hanya diam dan menutup kedua mulut, mencoba menahan rasa terkejutku.

"Inilah aku, Hana." Ucap Ryan lirih. "Sosok menyedihkan yang terus hidup melewati waktu. Sosok yang keberadaannya tidak diterima oleh langit."

"Ya itu benar. Aku... abadi."

.