webnovel

Sebuah Tanya

Apa yang lebih menyedihkan dibandingkan kehilangan? Semua mempunyai versi menyedihkan masing-masing. Dompet kosong, bisa saja disebut menyedihkan. Ditinggal kekasih ketika mode sayang-sayangnya juga menyedihkan. Atau sepertiku, begitu menyedihkan. Pernahkah kamu hanya berdiri menatap pantulan dari cermin dihadapanmu?

***

Suara lonceng sedari tadi menggema, membuat masing-masing ruangan memuntahkan isi perutnya. Suara ramai gerombolan berseragam putih abu-abu perlahan-lahan pudar. Kegiatan ekskul mungkin ditiadakan mengingat hari UAS hari pertama. Bahkan sekelompok manusia cupu, penuh prestasi serta paling cari muka di sekolah yang biasa disebut OSIS, aktivitasnya telah bubar. Namun, ruangan killer Bu Tini memperlihatkan pemandangan yang bertolak belakang. Ada dua gadis dan wanita paruh baya di sana. Tak ada yang beranjak dari posisi saat ini, seinci pun jarak dari kami masih sama saja. Hingga wanita paruh baya dihadapan kami membuka suara.

"MANA ORANG TUA KALIAN, HAH….???!!!" Bentaknya sambil memandangi arah jam dinding yang menunjukkan setengah lima sore.

"Saya sudah bilang tadi bu, Bokap sam.. eh maksud saya Mama Papa saya lagi ada di Aussie bu," ucap perempuan bule itu dengan nada yang sangat jelas ketakutan.

Aku hanya melengos menahan tawa. Ternyata kakak kelas yang drama queen ini bisa seperti ini di depan Ibu Tini. Jiwa seorang Airish Cassandra De Bronge yang dikenal sering keluar masuk ruangan BK karena prestasinya yang diakui oleh seantero SMA Mandala sebagai ratu bully, ternyata juga terbully di ruangan ini.

"Kenapa kamu tertawa Rea?"

"Ekhemm nggak bu, saya cuma keinget serial drama siluman ular trus ternyata ularnya ompong," tungkasku.

Airish sontak melirikku dengan tatapan yang mematikan.

"Sudahlah, ibu sendiri itu heran dengan kalian berdua. Kalian itu dianggap anak nggak sih atau kalian anak pungut? Atau saking memalukannya kalian, orang tua kalian sendiri tidak mau mengakui? Kenapa orang tua kalian susah sekali datang ke sini. Saya juga punya kehidupan pribadi yang mau saya urus, bukan Cuma tindakan bodoh yang kalian lakukan," ucapan Ibu Tini memang terkenal pedas, tetapi ini bahkan membakar hingga ke hati.

Aku sontak menunduk, anak pungut? Memalukan? Ya, mungkin begitu.

Suara gagang pintu yang diputar dari arah timur itu, membuat kami spontan berpaling melihat sosok itu. Ternyata sosok itu sangat kukenal, mengenakan kemeja usang, celana gantung, topi kuning yang ia dapat dari caleg yang berkampanye minggu lalu, benar saja ia adalah Ayahku.

"Selamat sore, maaf menunggu lama bu."

"Selamat sore, silakan duduk."

"Saya tidak usah mendengarkan report ibu tentang anak saya, saya benar-benar minta maaf yang sebesar-besarnya," ucap lelaki itu tanpa basa-basi.

"AYAH!!!"

"Rea, tolong sopanlah sedikit dengan orang tua kamu!" dengan tegas.

Airish menatapku dengan bibir tersungging seolah nenek lampir itu sangat puas mendengar apa yang baru diucapkan pria bodoh itu.

"Tolong maafkan anak saya, ini perbuatannya yang terakhir kalinya. Saya bisa pastikan itu."

"Maksud anda? Rea tidak ingin lagi disekolahkan di sini?" Bu tini membelalak kaget.

"Begitulah, juga untuk Nona Airish, saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya. Sampaikan permintaan maaf saya untuk Papamu. Saya minta maaf atas nama anak saya." Ucapnya dengan takzim.

"Pasti, pak." Perempuan bule itu merasa di atas udara sekarang.

"Shittt… dasar penjilat," kataku yg ringan seperti angin.

Plak…

tamparan itu sontak saja membuat semua orang kaget. Termasuk aku.

"Mau sampai kapan kamu mempermalukan ayah, HAH???!!!!

"SAMPAI LO MATI, PRIA TUA BANGKA. KALO LO MAU TAMPAR LAGI GUE, NIH TAMPAR… TAMPAR!!!"

Dua perempuan menyebalkan itu hanya dapat terbelalak dengan mulut ternganga. Bukan hanya itu, pria dihadapanku itu pun juga sama. Menatap dengan muka yang tak dapat didefinisikan. Kutebak ia juga sangat kaget.

***

Deru mobil tua itu sungguh memuakkanku, kenapa aku harus terjebak bersama pria tua itu, maksudku Ayahku yang paling kubenci ini. Juga mobil pick up biru bak rongsokan ini.

"Kau tak mau pulang dengan Ayah?" tanyanya sambil menstater mobil 'antik' nya ini. Aku hanya melongos melihat ke arah parkiran. "Anjayyy, sepi banget tuh parkiran. Nggk ada tebengan apa?" cakapku dalam hati.

"LYREA ADHIZTY," ia memanggil namaku dengan sangat lengkap. Lyrea Adhyzty, nama pemberian ibu padaku.

"Heiiii anak nakal, kau mau di situ saja sampai besok?" aku menghentakkan kaki ke bumi saking sebalnya dengan situasi seperti ini.

Sepanjang perjalanan, kuharap waktu bersamanya berakhir segera. Gerah sekali berada di mobil yang cocoknya di museumkan ini. Kuambil tape recorder kemudian memutar lagu kesukaanku, bodo amat dengan pria di sebelahku.

Citttt….cittt…. tiba tiba ia mengerem mobilnya dengan suara gesekan parseneling yang memekakkan telinga. Kepalaku terpental ke dashboard mobil, karena kagetnya aku sedikit terpekik.

Mode shock~

"Sapu tangan ayah mana?" ia terlihat panik, memeriksa setiap inci dalam mobil.

Please deh, tua Bangka ini ngerem Cuma buat sapu tangan? Jantung gue hampir copot, nanya gimana gue pun nggak?

Seketika di kepalaku mengingat perkataan bu Tini, pria yang kusebut Ayah ini lebih mementingkan sapu tangan usang itu, dibanding anaknya. benarkah aku anaknya? benarkah aku anak pungut?