webnovel

Sapu Tangan

Pria tua itu menungkik mencari di bagian bawah kursi mobil. Ia menggapai sesuatu. "Nah ketemu," ucapnya girang.

Aku memutar bola mataku, amat jengah.

"Hei, kenapa pasang muka begitu terus?!!" Pria itu memukul kepala bagian belakangku.

"HEI!!" bentakku tak terima. Mengapa pria tua ini selalu saja membuatku kesal.

"APA? Sopan sedikit aku ini Ayahmu!"

Jemariku mulai memasang earphone di telinga. Mendengar alunan musik membuat hatiku lebih membaik fikirku dibanding meneruskan perdebatan ini.

Mobil mulai bergerak mengikuti jalan raya, rumahku 45 menit dari sekolah di kota. Biasanya aku ke sekolah bersama teman satu gengku. Aku tak ingat terakhir kali dijemput Ayah, mungkin hanya saat SD. Saat keluarga kami utuh. Sudahlah, itu tidak penting. Makanya aku memilih untuk bersekolah di SMA yg lumayan jauh dari rumah. Alasannya cukup sederhana, hanya 2. Pertama aku tak suka rumah, dan aku tak suka lama-lama di rumah. Aneh bukan?

"Kau tahu Rea, ini adalah sapu tangan pemberian ibumu." Ia menunjukkan sapu tangan berwarna kuning itu padaku yg sedari tadi membuat anggukan kecil seolah menikmati musik. Ia melanjutkan obrolan, tak peduli aku mendengarnya apa tidak.

"Ini satu-satunya peninggalan ibumu sebelum ia tiada. Dia itu suka sekali dengan warna kuning,"lanjutnya.

Perkataan itu ribuan kali dikatakan pria tua ini, aku hanya mendeham.

Kukira ia akan berhenti mengoceh justru ia menjelaskannya panjang lebar dengan raut bawah yang amat cerah. "Kuning tanda persahabatan, ya begitulah kami sahabat hingga kami memutuskan menikah. Juga salah satu kebiasaan ibumu sejak kau di kandungan adalah makan pisang hahaha..."

"Kayak punya ayah?," sindirku.

"Dasar anak bangsat!!" ia kini memukul kepalaku.

Aku hanya diam, menatap lurus ke jalan.

"Rea, hatimu terbuat dari apa, HAH??" timpalnya.

Aku terdiam.

"Hei anak nakal, kenapa kau tak pernah menangis? kau itu manusia atau iblis?"lanjutnya.

Aku kini menatapnya, mengatur nafas yang berantakan sedari tadi. "Karena, Rea telah itu telah mati. Mati dalam sini." Aku menunjuk di bagian dada sambil menatap sorot mata itl.

Kini ia terdiam, menatap jalan untuk mengalihkan sorot matanya dariku.

***

Bulan separuh terlihat indah menggantung di langit yang membungkus hitam. Roda mobil itu kini berhenti di sebuah rumah sederhana. Rumah itu memiliki aksen menarik dengan nuansa cokelat tua khas kayu Jepara. Ada tanaman bunga yang indah menghias sepanjang pagar.

Aku bergegas masuk tanpa melihat raut wajah pria tua itu.

"Ibu, kakak sudah pulang!" teriakan seorang bocah yang sangat girang di teras rumah bernama Lyvia Adzana.

Seorang wanita yang terlihat masih 40-an tahun keluar dengan anggun. Mengenakan piyama berwarna merah dan rambut yang tusuk konde.

"Rea dan ayah sudah pulang ya?" sambutnya girang.

Aku hanya melengos masuk, menabrak bahu wanita itu dengan bahu.

"Aww.." ucapnya dengan memegang bahu sebelah kanannya.

" REA!!!" teriak pria tua itu.

Aku yang masih berada di ambang pintu pun menoleh.

" Ups sakit ya? sengaja kok," kataku amat ringan.

Aku kini memasuki area "Dilarang masuk, kecuali yang punya, Lyrea Adhizty". Kamar yang menurutku coozy walau luasnya tidak lebih dari anak haram itu. Whatever, di sinilah tempat dimana aku yang memiliki, kenangan bersamanya yang kusimpan.

Kubuka kotak cokelat yang umurnya sama denganku, kotak peninggalan ibu. Di dalamnya berisi surat-surat kepedihan, dibungkus aplop berwarna kuning.

Dear, Rea

Ibu menyayangimu, ingatlah selalu ibu menyayangi mu. Jangan lupakan ibu.

Aku tersenyum, "Itu pasti."

l