webnovel

9

1. RINTIHAN JIWA

Waluyo dan Woden diikat ke tiang yang sama. Saling membelakangi. Kalau Waluyo masih sadar, beda dengan Woden yang masih tidak ada tanda-tanda kehidupan. Waluyo merasa, Woden mungkin sudah menemui ajalnya.

"Bang! Apa gunanya semua ini? Tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Aku sadar, Bang, telah banyak melakukan kesalahan. Tidakkah bisa kau beri aku kesempatan untuk memperbaiki diri?" Denyut luka di telinga Waluyo masih terasa begitu menyakitkan. Dia merasa tubuhnya sangat lemas akibat banyaknya darah yang terbuang. Kerongkongan dan bibirnya terasa kering.

Di depannya, sekitar 10 meter, Arif duduk sambil menyandarkan punggung ke dinding yang lapuk. Telapak tangannya kiri dan kanan digesek-gesekkan untuk menghalau rasa dingin yang menyergap. Di luar hujan masih mendera. Entah kapan akan berhenti. Seakan-akan hujan berusaha meredam jeritan dan menghapus darah yang tercurah ke bumi.

"Bagaimana rasanya punya ibu, Dik? Apa kau bahagia?" Sembari beringsut ke arah Waluyo, Arif mengabaikan pertanyaan adiknya itu. Seingsut demi seingsut terasa mendebarkan bagi Waluyo. Sungguh, dia sedang tidak ingin menatap mata lelaki yang sering ia rundung tersebut. Waluyo tidak menjawab. Memilih memejamkan mata ketika wajah Arif kian dekat dengan wajahnya.

"Dulu, aku sangat menginginkan kamu benar-benar menjadi adikku, Waluyo. Namun, pepatah mungkin selalu benar, buah tidak selalu jauh jatuhnya dari pohon. Engkau yang waktu kecil terlihat begitu lincah dan lucu, ketika remaja mendadak berubah. Apalagi ketika bapakmu mendoktrin pikiranmu untuk selalu menghina, menyiksa dan membuatku seolah-olah sampah yang tidak berguna." Arif membelai pipi Waluyo. Degup jantung Waluyo kian bertalu-talu. Setiap saat bisa saja Arif berubah pikiran. Membunuhnya secepat yang ia inginkan.

"Aku ... minta maaf, Bang. Andai ... bisa kuulangi waktu ...." Ucapan Waluyo terputus ketika tiba-tiba telapak tangan Arif membekap mulutnya. Mata Waluyo melotot takut.

"Tsss ..., sudah, Dik. Jangan bicara lagi. Semua sesal selalu datang terlambat. Tidak perlu lagi kau berandai-andai. Aku hanya ingin tahu, bagaimana rasanya punya ibu?"

Waluyo menundukkan kepala.

"Jawab, Anjing!"

Makian disertai tamparan membuat pipi Waluyo terasa panas. Dia semakin memejamkan mata saking takutnya.

"Apa perlu kucabut lidahmu, Adik?" Nada suara Arif melunak, matanya sayu, tapi tetap saja membuat Waluyo gemetar.

"Jang ... jangan, Bang. Aku mohon, bebaskan aku, Bang!"

Arif tertawa terbahak-bahak. "Ternyata mentalmu tak sebesar bacotmu, ya, Dik? Mana kutuk serapah dan suara besarmu, Dik? Kau menangis, dan meratap di depanku sekarang!" Dia menduduki kaki Waluyo yang terunjur. Tubuh mereka sangat rapat sekarang.

"Apa yang akan kau lakukan, Bang?"

Arif memyeringai. Tangannya bergerak ke arah kepala adiknya itu. Waluyo menggeleng keras ketika Arif memegang rahangnya kuat, membuat mulutnya terbuka. Jemari Arif yang kotor berusaha menarik lidahnya. Mata lelaki malang itu melotot ketakutan. "Kau takut, Dik?"

Mata Waluyo memancarkan binar ketakutan dan memohon agar Arif tidak menyakitinya. "Hahaha! Aku hanya bermain-main, Sayang. Bagaimana mungkin aku tega mencabut lidahmu. Cup ... cup ... cup. Jangan menangis, Dik."

Arif melepaskan jari-jarinya di lidah Waluyo. Air ludah yang menempel di jemarinya ia hapuskan ke pipi Waluyo yang terluka. "Apa kau masih tidak mau menjawab, bagaimana rasanya punya ibu?"

Waluyo meringis. "Aku tidak tahu, Bang! Aku tidak tahu! Ibu tidak pernah benar-benar mencintaiku! Dia hanya peduli padamu! Dia hanya ingat kamu, Bang! Aku benci ibu! Aku benci!"

"Hahaha!" Arif berdiri sambil tertawa terbahak-bahak. Dia berjalan perlahan keluar dari rumah tua. Di belakang rumah, ada sebuah kandang anjing. Arif menarik satu karung dari dalamnya. Memanggul karung tersebut dan masuk kembali ke dalam rumah. Waluyo yang melihat Arif mengernyit. Walau suram, tapi ia yakin kalau Arif membawa sesuatu.

"Dik, luapkan amarahmu pada ibu. Aku tahu, ia pasti mau mendengarkanmu. Tumpahkan semua beban di hatimu itu." Walau tidak mengerti, Waluyo mencoba menerka apa gerangan isi di dalam karung. Arif mengangkat bagian bawah karung, dan melepaskan pegangannya pada bagian karung yang tadinya terikat tali. Sepotong tulang. Tiga potong tulang. Dan terakhir, tengkorak kepala manusia, menggelinding dan berhenti di dekat paha Waluyo. Jelas sekali Waluyo berteriak kaget.

"Hahaha. Kenapa kau terkejut, Dik? Bukankah kau ingin bicara sama ibu?" Arif mengangkat kepala tengkorak tersebut. Waluyo semakin histeris.

"Jahanam kau, Bang! Apa yang kau lakukan dengan kuburan ibu? Bangsat! Kau biadab!" Waluyo berteriak marah sambil melontarkan kutuk serapah.

"Hahaha. Bukankah kau membencinya? Kenapa sekarang kau seakan-akan peduli? Kau benar-benar munafik, Waluyo!" Arif memukulkan tengkorak tersebut ke kepala Waluyo.

"Kau jahat, Bang! Kau benar-benar iblis! Ibu pasti mengutukmu! Ibu pasti akan menghantuimu! Binatang!"

Wajah Arif mengelam. Kepala tengkorak ia banting ke lantai. "Ini bukan tengkorak ibuku, Bangsat! Kau tahu, ha? Ini tengkorak ibumu sendiri! Ibu kandungmu!"

Gelegar kejut benar-benar bagai listrik yang meledak di kepala Waluyo.

"Ayahmu yang durjana itu telah mengubur ibumu di sumur tua itu hidup-hidup. Kau tahu kenapa? Agar ia bisa menikahi ibuku! Ayahmu juga membunuh ayahku, dan membuat cerita seakan-akan ayahku dibunuh buaya! Kau tahu, Bangsat, ayahmu adalah iblis yang seharusnya dimusnahkan dari bumi ini!"