webnovel

10

1. MARTINAH

"Ibu kandung? Hahaha." Ketika mendengar ucapan Arif, Waluyo yang tadinya merasa sangat marah, tiba-tiba saja tertawa diiringi tangisan. Dia tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. "Ibu kandung?" lanjutnya lagi, kali ini dengan ekspresi sambil menangis.

Arif menatap dingin. Tangannya terlipat di dada. Dia yakin, sebentar lagi Waluyo akan meledak dalam tangisan yang sangat menyedihkan. "Kau sudah dengar apa yang kusampaikan, Dik. Apa harus kuulang ribuan kali, kalau jerangkong yang tidak seberapa potong ini adalah ibumu, Martinah!"

Waluyo menggelengkan kepalanya cepat. Tidak percaya dengan apa yang disampaikan kakaknya itu. Namun, matanya kembali tertumbuk ke kepala tengkorak yang bolong ruang matanya menghadap ke arah Waluyo, seakan-akan menatap lelaki itu dari alam kematian.

Mendadak udara dalam ruangan itu kian membeku. Wajah Waluyo berubah dingin, geram, dan terlihat kalau ia sangat marah. "Kau benar-benar jahat, Bang! Menggunakan jasad orang lain untuk menyiksa batinku. Puluhan tahun aku tidak melihat ibuku. Jadi, jangan permainkan aku dengan cara busuk seperti ini. Mungkin, kau berharap aku akan terkejut, mentalku hancur, tapi percayalah, Bang! Aku tidak percaya kalau ini adalah ibuku! Ibuku, di manapun ia berada, sedang apa ia, aku tidak peduli! Bagiku, ia sudah mati begitu kakinya pergi meninggalkan rumah! Lagian, bayanganku tentang ibu tidak ada sama sekali! Lenyap tak berbekas!" Waluyo tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Arif yang kaku. Dia berhasil membangun kepercayaan dirinya kembali dan menyangka Arif kalah telak.

"Aku sudah menduga kau akan berkata begitu, Dik! Tentu kau tidak akan percaya jika tidak ada bukti. Tenang saja. Ayahmu itu seorang maniak. Lima tahun aku menghilang kau kira aku diam saja merenungi nasib? Hahaha! Kau salah besar!" Arif mendekat, kembali duduk di atas kaki Waluyo. Mata mereka saling menatap. Bara kebencian saling memercik.

"Aku memiliki video pembunuhan yang dilakukan si anjing Arfan! Aku melihat bagaimana ibumu disiksa sedemikian rupa, lalu mayatnya dibuang ke dalam sumur tua. Kau tahu siapa yang merekam?"

Waluyo kembali berkeringat dingin. Dia mencoba menoleh ke arah lirikan mata Arif. Di belakangnya terdengar rintihan kesakitan.

"Anjing, aku ... di mana? Duh, sakit sekali leherku, Bangsat!" Seseorang baru saja siuman setelah beberapa waktu tidak sadarkan diri.

"Woden?" Waluyo mendesis. Suaranya benar-benar tercekat.

"Benar! Anjing penjagamu ini tahu sekali bagaimana ibumu dibunuh! Hebat sekali bukan? Bertahun-tahun ia menyimpan rahasia, menjadikan video kematian ibumu sebagai hiburan bersama saudaranya itu. Sayang sekali. Kau terlalu buta, Dik! Kau menganggap ayahmu super hero! Padahal, dialah yang membuatku harus membunuh kalian satu per satu!" Arif memegang pipi Waluyo. Matanya menggali lebih dalam apa yang dirasakan adiknya itu.

"Siapa?" Woden berteriak keras. "Siapa di belakangku, Bangsat? Lepaskan aku!"

Arif mendekatkan bibirnya ke lubang telinga Waluyo yang tidak berdaun. "Sabarlah, Dik! Kau akan melihat hiburan menyenangkan. Bahkan mungkin menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa kau lupakan." Arif mencium lembut pipi Waluyo lalu berdiri dan mendekat ke arah lelaki si buruk rupa yang mengerang-ngerang kesakitan.

"Kita berjumpa lagi, Anjing!" Tanpa rasa kasihan, Arif melayangkan tendangannya ke arah wajah Woden. Sepatu Arif hinggap di dagu lelaki itu. Darah muncrat dari mulut Woden.

"Haisss, Bangsat! Apa yang kau lakukan, Keparat? Kau hendak membunuhku? Bunuh!"

"Uuu ... marah ... ckckckc! Minta mati dipercepat? Iya?" Arif jongkok, melepaskan tali yang mengikat tangan Woden. Sementara kakinya yang masih terkebat, ia tarik dengan kuat. Membuat Woden memaki panjang pendek.

"Kau kira aku takut mati, Arif? Lepaskan ikatan di kakiku! Kita duel! Kalau kau benar-benar jantan!"

Jawaban yang ia dapat adalah sebuah hunjaman yang sangat keras di bagian perutnya. Mata Woden mendelik menahan sakit. Kakinya mengejang. Untuk sesaat ia merasa napasnya terganggu. Terengah-engah merasakan penganiayaan dari Arif.

"Banyak bicara hanya akan mempercepat kematianmu, Woden!" Arif menarik tubuh Woden ke depan Waluyo. Membuatnya duduk sehingga sekarang mereka saling berhadap-hadapan.

"Katakan pada adikku tersayang, kalau kau ikut terlibat dalam pembunuhan Nyonya Martinah!" Arif menggeram sembari memiting tangan Woden. Woden yang mendengar ucapan Arif, kontan berubah wajahnya menjadi pucat pasi.

"Apa maksudmu, Bangsat?" Woden menyalak keras. Namun, jelas ia sangat gugup.

"Kau lihat apa yang kulakukan pada telinga Waluyo? Kau ingin aku memotong kupingmu, Anjing?" Geraman Arif semakin terdengar mengerikan. Dengkus napasnya bagai napas setan yang membawa kematian. Woden jadi ragu. Ia menatap Waluyo yang menatapnya tajam.

"Aku ... aku tidak tahu!" Woden kembali berteriak. Namun, Arif benar-benar sedang tidak ingin bercanda. Dengan brutal ia menarik kuat tangan kiri Woden lalu mematahkan tangan tersebut ke lututnya. Bunyi tulang berderik membuat Waluyo bergidik. Jeritan Woden benar-benar mendirikan bulu roma. Cacian dan makian berhamburan dari mulutnya.

"Aku sudah bilang, jangan bermain-main denganku, Woden!" Arif membiarkan Woden menggelepar di lantai sembari mencoba menggerakkan tangannya yang patah. Tangan kanannya memegangi tangan kiri yang sudah lumpuh tak berdaya. Air mata kesakitan tumpah seiring rasa takut yang kini memenuhi hatinya.

"Ampunkan aku, Arif! Ampunkan aku!" Dia berusaha menggapai kaki Arif. Namun, Arif kali ini menendang bahu Woden, membuat pria itu kembali terjerembab ke lantai. Kepala Woden ia injak dengan kaki kanannya.

"Bicaralah, Setan! Katakan pada Waluyo apa yang terjadi sama Martinah! Kalau tidak, kuhancurkan kepalamu ini!"

Woden benar-benar dibuat ketakutan. Celananya sudah basah oleh air kencingnya sendiri. Tidak pernah ia setakut ini. Terbata-bata, ia mulai bercerita.

"Nyonya Martinah memang dibunuh Tuan Arfan! Namun, itu dilakukannya bukan karena ingin mendapatkan Buk Nunik, ibumu! Alasan dia membunuh Nyonya karena ...." Napas Woden terengah-engah. Injakan di kepalanya terasa semakin berat. "Aku ... tidak bisa bercerita jika ... kau menginjakku seperti ini, Arif!" bentaknya sambil mencoba mengindahkan kepalanya.

Arif menarik kakinya. Woden mencoba untuk duduk walau tubuhnya terasa sudah mau mati. Dia menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata.

"Jangan membuang waktuku, Woden!" Arif kembali hendak menendang, tapi Woden mengangkat tangan kanannya. Gerakan Arif langsung tertahan.

"Kau tidak akan kuat menerima kenyataan jika kuceritakan kisah ini, Arif." Woden menyeringai. Matanya memercikkan kebahagiaan yang menakutkan.

"Bicaralah, Bangsat!" Waluyo pun merasa gemas sendiri.

Woden balas dengan tertawa terbahak-bahak. Hujan di luar sana sudah reda, tapi desau angin masih merintih sedih.

"Tuan Arfan sangat menyayangi Nyonya Martinah. Seorang perempuan cantik dan benar-benar idaman setiap pria. Semua orang di kampung ini tahu kalau Tuan sangat mencintai istrinya itu. Namun, perempuan itu benar-benar tidak tahu diuntung. Jumadi, pria lugu dan penyayang itu ia jerat dengan pesonanya. Mereka berselingkuh. Sampai akhirnya ... mereka memiliki anak. Kau tahu Arif siapa anak yang dikandung oleh Nyonya Martinah?"

Debaran di hati Arif mendadak berdegup tidak menentu. Perasaannya menjadi tidak enak. Dia menatap Woden dengan tatapan menunggu. Sebuah jawaban yang mungkin saja akan membuatnya terkejut. "Katakan saja, Anjing! Tidak usah berbelit-belit!"

Woden menarik napasnya kembali. Seolah-olah beban berat yang selama ini mendekam di dalam jiwanya meledak keluar. "Kau! Anak haram hasil hubungan terlarang itu adalah KAU, ARIF!"

Mendengar ucapan Woden, Arif sampai tersurut mundur karena terkejut. Mulut ternganga saking tidak percaya dengan apa yang disampaikan Woden.