webnovel

6| Putra Tunggal Keluarga Elang

"Itu."

Pada akhirnya Pelangi hanya bisa menghela nafasnya berat dan hal itu membuat Biru semakin kesal. Menunggu lama Pelangi makan malam bersama keluarganya dan hari ini juga Pelangi melupakan hari jadi mereka berpacaran.

Bukankah tidak ada yang lebih egois lagi dari ini? Biru berdecit sebal dan mengambil tasnya. "Ayo langsung pergi aja." Biru mengajak Pelangi untuk langsung menuntaskan kepergian mereka, namun kali ini Pelangi semakin tidak paham dengan apa yang sedang berusaha Biru inginkan.

"Ayo," ucap Biru dengan sengaja meninggikan suaranya pada Pelangi saat Pelangi masih duduk di kursinya dan tidak memilih untuk bangun mengikutinya. "Ayo deep talk dulu, Ru." Pelangi menarik tangan Biru untuk duduk ditempat sebelumnya dan membuat Biru hanya sedikit kesal ke arah Pelangi. "Aku enggak suka."

"Aku juga." Pelangi membalas ucapan Biru padanya. "Aku juga enggak suka satu tahun ini pacaran sama laki-laki pengecut kaya kamu, Ru." Pelangi angkat bicara, dimana saat itu membuat Biru hanya bisa terdiam dan berjalan mendekat ke arah Pelangi dan duduk di kursi yang sebelumnya Biru duduki.

"Aku pengecut di matamu?" Pelangi menganggukkan kepalanya pelan, tidak ada juga yang perlu dijelaskan jika memang Pelangi selalu merasa seperti itu. "Iya."

"Ru, aku bukan bermaksud untuk buat kamu marah karena ucapan aku sekarang. Aku benci ngomong ini, tapi kamu benar-benar buat aku sangat kesulitan bisa memahami kamu. Aku menurunkan egoku untuk memahamimu, tapi kamu terus meninggikan egomu untukku yang selalu berusaha mengerti." Biru memutar bola matanya malas, dia mengambil ponsel dan memberikan beberapa bukti pada Pelangi semua perjuangannya selama ini pada Pelangi yang tidak diketahui siapapun.

"Hampir ada limabelas orang ngirim pesan ke aku. Mereka ngancem aku karena mereka pernah lihat kita ketemu dua bulan terakhir di sekolah "

"Aku membiarkan mereka, karena aku mencintaimu, Pelangi."

"Caramu selalu sulit aku terima." Pelangi membeli alasan, Pelangi mulai menutup kedua wajahnya dengan kedua tangannya saat Pelangi berhasil membaca pesan yang Biru daatkan dari laki-laki yang menyukainya. "Benar."

"Aku selalu sulit mengatakan apa mauku dan apa yang aku ingin kulakukan," jawab Biru yang tidak bisa merasa benar juga mengetahui bagaimana Pelangi sebenarnya sudah memberikan segalanya yang Pelangi bisa pada Biru.

"Maafkan aku."

"Ayo pergi aja. Aku ingin pergi berdua denganmu." Biru mengambil tangan Pelangi, mereka bangkit dengan Biru yang menggandeng tangan Pelangi menuju kasir dan membayar makanan yang Biru pesan saat menunggu Pelangi makan malam. "Kamu tidak apa-apa dengan pakaian ini?" tanya Pelangi pada abiru dengan mengeratkan jaket Biru di dalam pelakunanya dan memegang kemeja milik Biru yang tipis walaupun lengan panjang. "Apa yang kamu harapkan?" Pelangi menggelengkan kepalanya pelan.

Mereka berdua berjalan keluar dari tempat itu dan mulai menaiki motor milik Biru. Pelangi bisa menghitung berapa banyak dia menaiki motor tersebut. Biru memang paling tidak bisa membawa Pelangi saat sekolah, tapi tidak jika Pelangi sedang pulang dengan Bima dan Biru selalu mengantarkan Pelangi ke rumahnya setelah pergi jalan-jalan.

Hanya sebatas bagaimana mereka bisa berbicara dan saling memeluk di tempat yang sangat sulit dilihat oleh teman-teman satu sekolahnya. "Seperti biasa." Biru memberikan helm untuk Pelangi gunakan, dan Biru juga lebih dulu naik ke motor membiarkan Pelangi naik ke belakangnya.

"Aku akan memelukmu." Pelangi tiba-tiba mengatakan itu membuat Biru menyatukan alisnya datar. "Karena kamu marah padaku. Aku lupa kita sudah satu tahun bersama," jawab Pelangi dengan menaiki motor tinggi milik Biru dan mulai memeluk erat tubuh Biru agar bisa lebih nyaman saat membawa motor untuknya.

"Kamu membuatku pusing, Pelangi." Setelah mengatakannya Biru langaung menyalakan motornya dan pergi ke pusat perbelanjaan yang cukup jauh dari lokasinya yang sekarang.

Di tempat lain seseorang sedang melihat kepergian Pelangi dan Biru. Mereka Bima, dan kedua orang tuanya.

Ayah Pelangi yang masih berdiri di sisi jalan penyerbangan, Bima dan ibunya yang masih di samping mobilnya. "Pelangi berpacaran dengan putra tunggal keluarga Elang, Bima?" Ibunya bertanya pada putra sulungnya, yang kali ini membuat Bima hanya bisa menghela nafasnya berat.

"Iya. Satu tahun, aku tidak bisa mencegahnya, ibu." Bima menjawab sebisanya dimana kejadian yang sebenarnya terjadi bukan seperti yang Bima katakan. "Dimana saja kamu saat di sekolah, Bima? Adikmu berpacaran dengan keluarga Elang dan kamu tidak tahu apapun?" Bima menelan ludahnya sukar, laki-laki itu sebenarnya sudah tahu apa yang akan terjadi jika Pelangi berani memberitahu hubungannya dengan Biru.

Keluarganya tidak suka.

Satu keluarga besarnya.

"Tadi sore Jovan yang mengantarkan Pelangi pulang. Apa laki-laki itu tahu?" Bima menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak. Biarkan Jovan tidak tahu, ibu." Wanita itu menggelengkan kepalanya tidak percaya, putra sulungnya tahu segalanya dan membiarkan Jovan untuk tahu nanti.

Ini adalah masalah besar.

Wanita itu masuk ke mobilnya, disusul Bima dan ayah Pelangi yang berjalan menyebrang menuju mobilnya.

Di mobil ibunya Pelangi.

"Ibu tidak akan membantumu menjelaskannya pada nenekmu, Bima." Mendengarnya saja Bima sudah merasa dunianya akan hancur. "Tapi ibu, aku hanya tidak----"

"Kalau seperti itu, katakan pada Jovan. Kamu harus mengatakannya sebelum kamu kehilangan semuanya lagi." Bima menelan ludahnya sukar, laki-laki itu menundukkan kepalanya pelan dan menganggukkan kepalanya. "Iya."

"Bagus. Katakan pada Jovan jika kamu dengan Isya pernah berpacaran, dan yang membuatnya meninggal adalah Biru. Keluarga Elang sejak lama memang sudah tidak suka pada keluarga kita, Bima."

"Walaupun Isya meninggal karena kecelakaan, seharusnya keluarga mereka tahu tanggung jawabnya. Faktanya tidak ada yang datang sampai Isya meninggal." Bima menghela nafasnya berat, tangannya mengepal ke arah lain dan wajahnya menahan marah juga.

Siapa juga yang tahan jika hubungan yang dijalin adik perempuan adalah satu faktor dimana Bima juga ingin hidup lebih lama bersama dengan pembunuh pacarnya lima tahun yang lalu.

"Ibu!!"

"Apa?" Bima menggelengkan kepalanya dan membiarkan ibunya tetap sibuk membawa mobilnya di jalan raya menuju ke rumah mereka. "Jangan sampai apa yang ibu dan ayah ketahui hari ini mengganggumu untuk lomba besok siang."

"Jangan sampai kamu mendapat kekalahan saat kamu sudah menyiapkan sebaik mungkin. Ini salahmu, jika kamu tidak membiarkan Pelangi meminta izin pada kami hari ini, kami tidak akan tahu, kami tidak akan melakukan ini padamu, Bima." Laki-laki itu menganggukkan kepalanya pelan dan menghela nafasnya untuk menontrol tubuhnya.

"Aku tahu bagaimana aku sudah menyusun semuanya, ibu." Kali ini Bima angkat suara pasa ibunya, sayangnya respon ibunya justru terkesan mengintimidasi pada Bima. "Apa?" tanya ibunya.

"Dengan mengorbankan Pelangi untuk masuk di sekolahmu dan Biru mengikuti Pelangi untuk bersekolah di sekolahmu juga?" Bima menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan ibunya.

"Bodoh! Kamu menggali dua lubang untuk kuburanmu sendiri. Apa yang sebenarnya ada di dalam kepalamu, Bima." Wanita itu mengumpat kasar pada putra sulungnya bagaimana laki-laki itu melakukan kesalahan besar.

"Aku hanya berusaha untuk membuat Bima sadar pelan-pelan. Sekalipun dia amnesia, dia perlu tahu kesalahan di masa lalu harus ditebus dengan rasa sakit yang sama." Bima menjawab pertanyaan ibunya, dimana wanita itu terdim mendengar putra sulungnya berbicara.

"Lalu Pelangi?"