webnovel

Fons Cafe #2

Tatsuya Maruyama is a success lawyer. Alexander Kougami is genius physic teacher. Carlos Takamasa is the womanizer scriptwriter. Leonardo Shibasaki is the cold hand oncology surgeon. David Kajima is the funniest comedian of the year. Kris Aikawa is the funky business man. They all have the same problem about woman. --- Berteman sejak masa sekolah, menjadikan mereka berenam selalu paham satu sama lain, dan hingga pada akhirnya satu per satu di antara mereka pun memutuskan untuk mulai melangkah dan mencari pasangan hidupnya. Setelah Tatsuya, Alex dan Carlos menemukan tulang rusuk mereka. Mungkin kisah ini sudah selesai bagi mereka bertiga. Namun, tidak demikian bagi Leo, David dan Kris! Apakah Leo, David dan Kris mendapatkan kesempatan mereka juga untuk bahagia?

Abigail_Prasetyo · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
46 Chs

Episode 77

"Selamat malam, kami dari Rumah Sakit, apa benar ini dengan Bapak Kris Aikawa? Kami ingin memberitahu....."

Keringat dingin. Kris kembali mengingat kejadian di malam harinya saat baru pulang kantor. Sepuluh tahun yang lalu.

Dia pulang dari kantornya, dan keadaan rumahnya masih gelap gulita. Dia tidak menemukan sosok perempuan yang di carinya. Tak lama setelah makan malam sendirinya, dia menerima telepon itu.

"Tidakk!" Seru Kris, yang terbangun dari tidurnya. Studionya sudah meremang. Hanya ada sebuah lampu yang menyala saat dia bangun.

Bahkan, foto Erika masih bertengger di dalam bingkai foto yang dia letakkan di atas nakas. Dia sempat menitikkan air matanya saat tersadar. Dia bahkan, merindukan aroma wanita itu.

Astaga, dia tidak bisa tidur lagi.

Padahal, Kris sudah pindah dari rumahnya dan Erika dulu, ke rumah yang dia tinggali selama beberapa tahun terakhir, dan sekarang, dia sudah pindah ke sebuah studio kecil, dengan harga fantastis. Tetap saja, bayangan Erika tidak bisa hilang darinya jika ia tertidur.

Kris lekas mengambil ponselnya. "Alex?"

"Hoaaam.... Ini sudah tengah malam, Sobat. Kenapa kau meneleponku di jam seperti ini?"

"Boleh aku menginap di apartemenmu?" Tanya Kris penuh harap. Saat seperti ini, dia tidak bisa tidur sendirian. Tidak di area-area yang akan membuatnya teringat pada Erika.

"Kris, kita tinggal di satu gedung apartemen. Hanya berbeda dua lantai! Kenapa kau sangat kekanakan?"

"Aku mohon." Kris mendengar desahan. Entah pasrah, atau kasihan, tapi dia dengar dengan jelas kalau akhirnya Alex mengiyakannya.

Dalam beberapa menit kemudian, Kris berdiri di depan pintu apartemen Alex.

Setelah menikah, Alex sama sekali tidak mengubah tata ruang dan bentuk apartemennya. Bahkan setelah Ellen lahir pun, dia tetap memertahankan posisi ruangannya seperti dulu.

"Ini jam setengah dua dini hari. Kalau besok bukan hari Sabtu, sudah aku tolak mentah-mentah permintaanmu," dengus Alex, masih sambil memakai pakaian tidurnya, "Masuklah. Kau mau kopi, teh, air putih, bir, vodka, atau tequila?"

Kris tercengang. "Banyak sekali. Steffi tidak marah?"

"Aku membelinya sendiri. Steffi mengomel kadang, tapi dia bersyukur aku tidak main tangan setidaknya, walaupun aku mabuk--sedikit," balas Alex sambil terkekeh kecil. "Bagaimana kalau tequila? Aku sudah lama tidak minum itu."

Kris mengangguk, seraya duduk di atas sofanya Alex. "Ellen tidur dimana?"

"Di kamarku," jawab Alex, "Ellen hiperaktif sekarang. Dia ikut Steffi seharian ke lokasi syuting. Saat pulang, dia lelah katanya, tapi waktu aku pulang setelah mengajar, dia langsung bersemangat lagi mengajakku untuk bermain bersama."

Kris menerima segelas tequila yang diberikan Alex. Kemudian menenggaknya perlahan. Pandangannya akan memiliki keluarga seperti Alex seharusnya indah. "Aku memimpikannya lagi."

Alex mengerti. Maksudnya, Kris memimpikan Erika lagi. Dan kali ini pasti seri dimana Kris menerima telepon rumah sakit. "Kau masih belum melupakan kejadian itu?"

"Lex, kau tahu sendiri bagaimana keadaanku saat itu, bukan?" Balas Kris.

Tentu saja Alex ingat. Saat itu, Leo masih dengan co-assnya, Tatsuya sibuk dengan kuliah S2-nya, Carlos menulis selama 24 jam penuh, dan David membagi waktu kuliah dengan jam syutingnya.

Alex menemani Kris kala itu. Bahkan saat Kris depresi dan hampir-hampir menjadi salah satu pasien di dalam rumah sakit, bagian kejiwaan.

"Kau depresi, dan bahkan tidak mau keluar kamar. Aku paham, dan ingat betul semuanya. Bahkan kau hampir memukulku," jelas Alex. "Tidurlah disini. Aku temani."

"Ini tidak akan membuat Steffi cemburu, kan?" Tanya Kris, sambil terkekeh pelan.

"Jangan bodoh, Kris. Steffi tahu siapa Erika setidaknya. Dan jika kau menjadi begini tiba-tiba aku juga sudah memberitahunya agar tidak kaget," jelas Alex.

Kris mengangguk.

-----

Tampilan wajah Kris berubah 180° setelah ia keluar dari tempat pangkas rambut. Dan, dia mulai memakai pakaian-pakaian yang selama ini sudah lama bersemayam di dalam lemari rumah lamanya.

Keputusannya ini dia ambil setelah pulang dari malam dia berada di apartemen Alex. Dia memutuskan untuk memangkas rambutnya, dan kembali dengan potongan cepak tentaranya.

Lelaki berusia 36 tahun itu sudah berada di depan Kedutaan Jepang untuk Indonesia, lengkap memakai setelan jas semi-formalnya. Hm. Selera pakaian Kris memang selalu bagus.

"Michiko!" Panggil Kris saat melihat Duta Budaya yang sebentar lagi pensiun itu keluar.

Chiko tidak terkejut, malah dia tersenyum. "You cut your hair, and well, you're so handsome!"

"Kau pun juga cantik," puji Kris tulus.

"Jangan gombal," balasnya. "Kau sudah kemanakan kaos lusuh, jins belel dan rambut gondrongmu itu?"

"Aku buang jauh-jauh," jawab Kris.

Sambil berjalan menuju mobil Kris, Chiko masih mengamatinya. Semakin di lihat, ternyata Kris tampan juga. Ah, tidak. Tampan saja tidak cukup. Dia sangat tampan. Jenggotnya juga sudah hilang. Astaga, dia terlalu tampan untuk usia 36 tahun.

Chiko sendiri merasa agak minder jalan di sebelahnya. Usianya 27 tahun, dan Kris 36 tahun, tapi wajahnya Kris benar-benar tidak terlihat bahwa dia akan berusia 40 tahun beberapa tahun lagi. Tidak ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya terlihat tua.

"Kenapa?" Tanya Kris, memecahkan lamunan Chiko, "Kau baru sadar kalau aku ini tampan sekali ya?"

"Jangan sombong dulu kau!" Balas Chiko setengah berbohong. "Begini, Kedutaan Budaya Jepang akan membuka audisi untuk menjadi Duta Budaya selama setahun nanti. Tepatnya, untuk menggantikan posisiku."

"Baguslah," gumam Kris, "Berarti kau dan aku bisa menikah secepatnya."

"Hmm.... lokasinya di Tokyo."

Kris terperanjat sejenak. "Tokyo?" Ulangnya, "Berarti kau akan ke Tokyo? Tunggu, itu berita bagus, berarti aku bisa mengenalkanmu pada keluargaku saat tiba disana."

"Kau mau ikut denganku?" Tanyanya.

"Tentu saja. Apa itu masalah untukmu?" Tanyanya.

Chiko menggeleng cepat. Entah sejak kapan, tapi dia merasa tidak pernah ingin menjauh dari sosok Kris ini. Dia ingin selalu dekat dengaannya, kemanapun.

"Apa ada yang membuatmu khawatir?"

"Kekasihku dulu, dia meninggalkanku saat tahu aku akan bekerja di Indonesia sebagai Duta Kebudayaan Jepang disini. Jadi, aku pikir kau akan meninggalkanku juga sepertinya."

Kris menatap intens kedua mata Chiko dengan hangat dan penuh kasih. "Tidak akan pernah. Aku bukanlah lelaki macam mantan kekasihmu itu, Michiko."

Chiko tersenyum.

Mereka sampai di depan mobil Kris. Sebuah mobil sedan hitam yang sempurna untuk di kendarai oleh lelaki tampan macam Kris saat ini.

"Kita mau kemana?" Tanya Chiko, "Aku harus ke Bandara, menjemput orangtuaku."

"Kalau begitu kita kesana sekarang," ujar Kris, seolah dia memang sudah merencanakannya. Kris lalu membuka pintu mobilnya, lalu masuk, begitu pula Chiko. "Orangtuamu akan berada di sini sampai kapan?"

"Kalau tidak salah, sampai akhir bulan ini. Aku pun akan kembali ke Jepang akhir bulan."

"Baiklah, aku akan minta Calvin untuk mengurus passport dan visanya."

"Passport macam apa yang kau miliki?" Tanya Chiko, selagi Kris melajukan mobilnya keluar dari Kedutaan.

"Passport dengan gambar burung garuda dan tulisan Republic of Indonesia."

"Kau WNI?"

"Sejak 17 tahun," sahutnya. "Ayahku memiliki keturunan Indonesia dari ayahnya. Lalu, saat aku lahir, aku berada di Kyoto. Ayahku masih menjadi WNI saat itu, jadi aku memiliki dua kewarganegaraan, karena Ibuku juga orang Jepang."

"Dan kau memilih menjadi WNI?"

Kris mengangguk. "Aku menyukai Jepang. Namaku pun juga memakai nama Jepang bukan? Tapi, aku tak bisa menyangkal kalau aku lebih mencintai Indonesia. Aku dibesarkan, dan bersekolah di sini. Hanya aku menumpang kuliah di Tokyo, lalu bekerja disini."

Chiko tertawa kecil. "Kau tidak kesepian?"

Kris menggeleng. "Aku punya lima orang sahabat yang gila dan menyebalkan itu semua. Jadi, tidak ada yang membuatku kesepian walau tanpa keluarga di sini."

Chiko manggut-manggut. Belajar mengenal Kris adalah suatu hal yang menyenangkan bagi Chiko saat ini.

Gadis 27 tahun itu jadi penasaran, kenapa Kris belum menikah juga di usianya yang sudah sangat matang dan mapan.