webnovel

Fons Cafe #2

Tatsuya Maruyama is a success lawyer. Alexander Kougami is genius physic teacher. Carlos Takamasa is the womanizer scriptwriter. Leonardo Shibasaki is the cold hand oncology surgeon. David Kajima is the funniest comedian of the year. Kris Aikawa is the funky business man. They all have the same problem about woman. --- Berteman sejak masa sekolah, menjadikan mereka berenam selalu paham satu sama lain, dan hingga pada akhirnya satu per satu di antara mereka pun memutuskan untuk mulai melangkah dan mencari pasangan hidupnya. Setelah Tatsuya, Alex dan Carlos menemukan tulang rusuk mereka. Mungkin kisah ini sudah selesai bagi mereka bertiga. Namun, tidak demikian bagi Leo, David dan Kris! Apakah Leo, David dan Kris mendapatkan kesempatan mereka juga untuk bahagia?

Abigail_Prasetyo · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
46 Chs

Episode 42

Plaaaak!

Tamparan keras mendarat di pipi Leo, sesaat setelah Cindy mendengar kabar bahwa Leo akan menikah.

Tepatnya, Cindy mendengar grasak-grusuk staff rumah sakit yang mengatakan bahwa Leo akan menikah. Memang hubungan mereka tertutup, dan tidak ada yang mengetahui tentang hubungan asmara mereka.

Hanya Tatsuya, Alex, Carlos, David dan Kris saja yang mengetahuinya.

"BRENGSEK! Kau akan menikah dengan siapa? Kenapa? Kau sendiri yang mengatakan tidak akan menikah. Membuatku menghapus jauh-jauh pikiranku akan menikah bersamamu!" Cindy juga memberikan sebuah hadiah tamparan yang lebih hebat dari sebelumnya lagi.

Leo memandang tajam Cindy. "Sudah? Kau sudah selesai dengan pelampiasan kekesalanmu?"

Cindy tidak menjawab.

"Ya, aku akui memang aku tidak menyukai pernikahan, dan tidak pernah berpikiran untuk menikah!" Serunya.

"Apa karena dia putri Presdir?" Tanya Cindy. Leo hendak keluar ruangannya, dan mendapati pertanyaan Cindy yang seperti itu. "Aku tanya, apa dia putri Presdir?"

Leo membalik tubuhnya yang sudah memakai lengkap seragam dokternya dengan jas dokter, "Ya. Karena dia putri Presdir. Karena itu aku memilihnya."

Cindy tercekat. Leo keluar ruangan, sementara Cindy masih terpaku dengan ucapan Leo yang tak memiliki hati sama sekali.

-----

Beberapa co-ass baru sedang menonton prosedur operasi pengangkatan tumor di paru-paru yang dilakukan oleh Leo. Mereka semua berpikir kalau Leo akan gagal, karena tumor tersebut berada di dekat bronkus. Karena apabila terjadi kesalahan, maka pasien tidak akan selamat.

"Tidak mungkin dia berhasil," gumam seorang co-ass laki-laki. "Seharusnya dia tidak menggunakan prosedur yang rumit seperti itu!"

"Metzen," pinta Leo dalam layar televisi itu. Dengan gerakan yan cepat, tangannya berhasil memotong tumor di paru-paru itu. "Nylon 4-0."

Berikutnya Leo langsung menutup bagian yang sudah di bukanya selama operasi tadi. Setelah selesai, semua perawat dan dokter yang membantunya langsung menunduk, memberi hormat padanya. "Terimakasih atas kerja keras Dokter!"

Leo mengangguk, dan keluar dari ruang operasi.

Sementara co-ass yang sedang menonton di ruang audio visual tentang prosedur operasi Leo barusan langsung berkata, "Pantas saja Presdir memilihnya untuk menjadi menantunya! Walaupun masih muda, Dokter Leo memang sangat berbakat dan merupakan mutiara yang berharga untuk rumah sakit ini!"

Presdir Gunawan pun mendengar perkataan itu pun bangga terhadap Leo, calon menantunya itu. Dia segera menghampiri Leo, ke departemen onkologi.

Presdir berpapasan dengan Leo yang masih memakai baju operasinya, berwarna biru tua. Tubuhnya penuh dengan keringat dingin dan rambutnya pun basah karena keringatnya juga.

Leo terkesiap melihat Presdir di depan matanya, lalu menunduk memberi hormat padanya. "Presdir.."

Presdir tersenyum bangga, "Aku yakin tidak salah memilihmu sebagai menantuku!"

Sementara Leo hanya bisa tersenyum kecil, saat Presdir mengatakannya. "Terima kasih," balas Leo, sudah mempercayaiku.

"Tidak, kau tidak perlu berterima kasih. Kau memang Dokter berbakat yang hebat."

Di ruang kerjanya, Leo mengganti bajunya dengan baju kerja biasanya, dan melayani konsultasi beberapa pasiennya yang baru mendapatkan hasil pemeriksaannya.

"Selanjutnya," kata Leo.

Perawatnya langsung masuk dan berkata, "Sudah selesai, Dok."

Leo melihat jam dinding di ruangannya.

17.08

"Sudah sore juga rupanya. Ya sudah, aku pulang dulu."

Leo baru berdiri dan membuka jas dokternya, tapi kemudian, perawat itu memberitahu satu hal tambahan.

"Mm... Dok.. ada seorang gadis yang sudah menunggu Dokter sejak jam jam dua siang," katanya, "Gadis itu bilang dia hanya ingin bertemu dengan dokter."

"Pasien?"

"Bukan Dok. Dia bilang akan menunggu sampai pasien Dokter yang terakhir selesai dulu. Dia menunggu di bagian resepsionis departemen."

Leo jadi penasaran. Dia segera mengganti jas putihnya, dan melihat keluar, di bagian resepsionis departemen onkologi. Leo melihat sesosok perempuan manis yang ditemuinya dua minggu lalu.

Anak Presdir Gunawan, sedang memakai celana jins putih keabu-abuan, dan memakai sweater putih dan rambut cokelat kemerhannya sedikit lebih panjang dari dua minggu lalu.

Mata kucing indahnya berbinar-binar, seolah mendapatkan hadiah baru dari orangtuanya. Eugene tersenyum, mengangkat kepalanya dan melihat kepada mata tajam nan dingin, milik Leo.

"Hai, kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" Tanya Eugene. Usianya memang 29 tahun, tapi gayanya seperti anak kuliahan. Tubuhnya memang tidak kurus, ataupun langsing, cukup berisi sebenarnya dan membuat pipinya chubby.

"Iya. Tapi, apa yang Anda lakukan disini?" Tanya Leo.

Eugene tertawa sambil memukul pelan dada Leo, "Astaga, kau tidak perlu seformal itu!" Eugene membenarkan dasi Leo yang sedikit berantakan, "Aku mau mengajakmu makan malam, maksudku.. ya, makan. Makan bersama, berdua. Mm.. bagaimana menurutmu?"

"Anda mengajak saya untuk makan malam sekarang?" Tanya Leo lagi.

"Eugene. Oh, atau sepertinya ini kesalahanku karena tidak berkenalan dengan lebih baik tempo hari," kata Eugene. Dia pun merapihkan pakaian dan rambutnya sedikit, lalu berkata, "Namaku Eugene Anastasia, kau bisa memanggilku Eugene, dan aku ingin mengajakmu makan malam bersama. Boleh?"

Leo terdiam untuk beberapa saat, tapi dengan cepat, Leo menjawab. "Berikan aku waktu sebentar saja untuk membereskan barang-barangku dulu."

"Baiklah, biar aku tunggu disini." Eugene tersenyum.

Beberapa menit berikutnya, mereka sudah keluar lobby rumah sakit. Mereka menaiki mobil sedan milik Eugene ke sebuah restoran bernuansa vintage yang di dominasi warna putih, dan pastel.

Eugene memesan fillet mignon yang dimasak setengah matang, dengan saus lada hitam. Sementara Leo memesan spaghetti marinara, yang cukup pedas, tapi sangat segar dengan seafood yang segar juga tentunya.

GAE Restaurant, adalah nama tempatnya. Masakan andalan mereka adalah masakan Eropa, namun mereka juga menyediakan masakan khas Asia dan Latin yang tak kalah enak juga.

"Apa kaj menyukainya?" Tanya Eugene, "Aku tidak tahu apa yang kau sukai, jadi aku memesan makanan rekomendasi koki disini. Karena kau bilang, kau terserah aku tadi.."

"Terima kasih, ini enak," jawab Leo. Sambil menyantap makanan mereka sendiri-sendiri, Leo sedang berkutat dengan pikirannya sendiri.

Setelah mereka selesai makan, Leo pun mengatakan hal yang sudah di tahannya selama makan tadi.

"Eugene," panggilnya, dan Eugene memfokuskan pandangannya kepada Leo. "Apa kau benar-benar yakin dengan pernikahan ini?"

Eugene menarik sudut bibirnya, melukiskan sebuah senyum yang manis, menyelidiki wajah Leo. "Kenapa begitu? Tentu saja aku yakin denganmu. Ayahku tidak mungkin salah memilihkan calon suami untuk anaknya kan?"

Leo menghembuskan nafasnya berat. Sepertinya dia memang harus membongkar seluruhnya, tentang dirinya, tanpa kekurangan suatu apapun.

"Aku sudah berkencan dengan seorang residen selama dua tahun terakhir."

"Apa?" Tanya Eugene terkejut sedikit.

"Tapi aku sudah putus dengannya."

Eugene mengangguk paham, dia mulai mengerti arah pembicaraannya Leo. Dia ingin memberitahu tentang dirinya kepada Eugene.

"Aku tinggal bersama Ayah, kakak, adik, Bibi, sepupuku dan suaminya. Ayahku adalah seorang pembuat tahu dan tempe, yang membuka toko di depan rumah kami. Kakak perempuanku, bekerja sebagai sekretaris direktur di XV Group. Adik dan iparku bekerja membantu Ayahku di tokonya. Sedangkan Bibiku melakukan pekerjaan rumah tangga. Ibuku sudah lama meninggal sewaktu melahir adikku.

"Tidak ada yang bisa aku tawarkan kepadamu kecuali diriku sendiri. Harta, uang, mobil, tidak ada padaku. Kau hanya akan menjadi istri dari dokter dan menantu dari seorang tukang tahu dan tempe."

Eugene berdiri, ia bepindah posisi ke sebelah Leo. "Aku yakin Dad sudah memilih orang yang tepat untukku. Aku tidak keberatan dengan semua hal yang kau sebutkan tadi. Keluarga yang besar dan hangat. Sepertinya menarik."

Entah dorongan setan dari mana yang membuat Leo membawa bibirnya mendekat kepada Eugene. Ciuman itu bertahan selama beberapa detik lamanya sampai Eugene melepaskannya, lalu memeluk Leo lagi.

"Terima kasih karena sudah mengizinkanku menjadi istrimu."