Heru sudah membuat keputusan setelah berpikir berhari-hari. Dia menyambut baik saran ibunya untuk bertemu dengan Putri Kusuma. Putri dari teman ibunya.
Di kafe yang tidak jauh dari kantor Heru, mereka setuju untuk saling bertemu.
Di kafe mereka duduk berhadapan. Memperhatikan satu sama lain.
Di sana, ekspresi Heru tampak biasa saja. Berbeda dengan Putri yang tampak antusias bisa bertemu dengannya.
"Wah, sungguh kau terlihat sangat tampan. Bahkan lebih tampan dari yang terlihat di foto," puji Putri dengan mata berbinar .
"Kakimu juga terlihat sangat panjang. Kau pasti menjadi tipe ideal bagi setiap wanita. Aku benar-benar beruntung bisa bertemu denganmu ," lanjut Putri sangat terkagum-kagum hingga menutup mulutnya dengan tangannya.
Mendengar semua pujian itu membuat Heru tak bersemangat. Wajahnya tampak lesu meski pun dia berusaha untuk tetap tersenyum. Baginya itu sangat membosankan.
"Ku dengar, kau lulusan salah satu universitas terkenal di Amerika. Wah, sekarang aku baru benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri ada seseorang yang sesempurna dirimu. Penampilan, ketampanan, kekayaan, dan kecerdasan, tidak ada celah sedikit pun." Pujian demi pujian terus terlontar dari mulut Putri.
Heru yang merasa muak ingin sekali rasanya menghilang dari tempatnya saat itu juga. Percakapan seperti itu adalah hal yang paling tidak ia sukai. Namun demi menjaga wanita yang kini ada di hadapannya, Heru memaksakan diri untuk tetap tersenyum meski pun itu terasa sangat sulit.
"Wah, jika kita bersama, keturunan kita pasti sempurna." Sekejap setelah mengatakan itu Putri segera menutup mulutnya dengan satu tangannya.
"UPS, maaf, aku sudah lancang." Sesal Putri.
Mendengar itu rasa muak Heru semakin meningkat tajam. Ekspresinya tak lagi bisa ditutupi. Wajahnya menampakkan ketidaksukaannya.
Putri sangat menyesal telah mengatakan hal itu. Dia menangkap ketidaksukaan Heru dari wajahnya.
Sejenak Putri menundukkan kepalanya, lalu menghela nafas.
Sedangkan bagi Heru, dia ingin cepat-cepat menyudahi pertemuan itu.
***
Di sisi lain kafe itu, Nadhira bersama teman-temannya berkumpul di sana. Temannya mengajaknya bertemu meski Nadhira sebenarnya merasa enggan.
Jika Nadhira tidak mau maka pasti hpnya akan terkena teror. Pesan akan terus masuk dengan kata-kata pedas menyesakkan. Bunyi panggilan pun akan terus berdering. Dan itu akan berlangsung seharian. Menyiksa Nadhira.
Meski saat bertemu pun akan sama-sama menyiksa, namun setidaknya itu hanya akan berlangsung setengah atau paling lama satu jam.
Entah mengapa ada satu teman yang sangat iri pada Nadhira. Dia tidak suka jika Nadhira mendapatkan hal baik yang lebih dari dirinya.
Dari satu orang itu pada akhirnya menyulut keingintahuan yang lainnya, yang pada akhirnya membuat Nadhira semakin lelah.
"Wah sungguh, tak terasa sudah tiga tahun kita tidak bertemu. Pasti sudah banyak yang terjadi pada kita. Iya, kan?" ucap Lia menoleh ke Siti meminta persetujuan.
"Iya benar itu sudah pasti. Lah wong aku saja sudah menikah dan punya anak satu," jawab Siti.
"Iya benar, aku juga sama," sahut Lia.
Nadhira hanya tersenyum menanggapinya.
"Yang beruntung itu Resti, sudah lulus dari UI, sekarang tunangannya pun seorang Model yang sangat tampan lagi," sanjung Lia membuat Resti yang memang memiliki sifat sombong dan suka pamer pun merasa tinggi hati. Wajahnya pun tampak berbinar merasa menang sendiri.
Cerita Lia membuat semua mata tertuju pada Resti. Begitu pula dengan Nadhira. Alih-alih ia iri, dia justru tersenyum tulus.
"Kalau kamu, Nad?"
Nad, sebuah kata yang membuat Heru yang sedang berjalan keluar setelah pertemuannya dengan Putri akhirnya menghentikan langkahnya.
Apa itu Nadhira? Dan setelah Heru menoleh ternyata dugaannya benar, itu Nadhira, wanita yang dicintainya.
Karena ingin terus melihat Nadhira, Heru tidak melanjutkan langkahnya, tetap di sana memperhatikan Nadhira dan teman-temannya.
"Kamu tidak seperti aku dan Lia yang memilih cepat menikah, kan? Soalnya, kamu kan terkenal pintar di sekolah, " lanjut Siti penasaran.
"Benar. Aku belum menikah."
"Sudah kuduga," sahut Siti cepat merasa senang karena tebakannya benar.
Resti yang selalu iri dengan Nadhira sejak di sekolah pun wajahnya mulai tampak khawatir. Dia takut Nadhira mendapatkan sesuatu yang melebihi dirinya.
"Apa kau melanjutkan kuliah?" sambung Lia.
"Aku juga tidak kuliah. Sekarang aku bekerja di toko sebagai kasir."
Mendengar jawaban Nadhira membuat Lia dan Siti spontan mengucapkan oh sambil mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Mereka sedikit merasa bersalah karena sudah bertanya. Mereka takut membuat Nadhira sedih.
Berbeda dengan Resti yang justru tersenyum dan merasa senang.
"Kalian ini, mana mungkin Nadhira melanjutkan sekolahnya. Diakan dulu hanya tinggal di panti asuhan. Siapa coba yang akan membiayainya?" ucap Resti tanpa rasa bersalah.
Meski sakit karena merasa diremehkan, Nadhira tetap berusaha tenang, tetap berusaha memasang ekspresi senormal mungkin.
"Tapi kamu pasti sudah punya pacar kan, Nad?" Lia mencoba mencairkan suasana.
"Benar kata Lia. Dan pasti pacar kamu tampan dan kaya, kan? Soalnya Kan saat kamu SMA, kamu selalu ditaksir siswa-siswa tampan dan kaya," lanjut Siti menambahkan.
"Aku.. aku.." Nadhira bingung harus menjawab apa.
Jika dia jujur dan menjawab bahwa dia belum punya pacar, Nadhira pasti akan kena ejek kan lagi dari Resti. Namun jika Nadhira menjawab punya, itu berarti dia berbohong.
Meski dia dan Ilham saling mencintai, tapi mereka masih tidak memiliki status.
Nadhira bimbang.
"Sudahlah, kalian jangan buat Nadhira tertekan. Lagi pula mana ada lelaki kaya yang mau kalau tahu Nadhira sebatang kara yang tidak tahu siapa ayah dan ibunya," celetuk Resti dengan entengnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Celetukan yang bagaikan belati tajam yang sedang menusuknya dalam-dalam. Nadhira merasakan sakit tak terperih. Dia serasa ingin menangis, namun coba ia tahan.
Wajahnya kini sudah memerah. Sekuat tenaga Nadhira mencoba menahan air mata yang sudah berontak ingin keluar.
Heru yang melihat dan mendengar itu dari tempatnya berdiri merasa kesal hingga mengepalkan kedua telapak tangannya. Lalu tanpa berpikir panjang menghampiri Nadhira yang tengah bersama teman-temannya itu.
"Maaf, sayang, aku tidak bisa menahan diri. Aku tidak tahan dan ingin segera bertemu denganmu," ujar Heru lembut sesampainya di sana, berdiri di samping Nadhira dengan lengan yang merangkul bahu nadhira.
Nadhira terkejut, begitu pula dengan teman-temannya yang ikut terperangah. Bergeming dengan membelalakkan mata dan mulut ternganga.
Ketampanan serta setelan jas yang tampak mahal dan sangat serasi di tubuh Heru membuat ketiga teman Nadhira terkesima, kagum.
"D..dia siapa, Nad?" tanya Resti dengan gagap.
Mendengar pertanyaan itu Nadhira pun terkesiap.
"D..dia..." ucap Nadhira tergagap seraya menoleh dan mendongakkan kepalanya ke arah Heru.
"Kenapa kau..." lanjut Nadhira dengan suara pelan dan tertahan, masih bingung dan tidak mengerti.
Heru tidak menjawab, dia hanya tersenyum manis ke arahnya.
"Perkenalkan, saya pacar Nadhira," ucap Heru kemudian dengan entengnya masih dengan senyumnya yang mengembang menatap ke arah Nadhira.
Jawaban yang sontak saja membuat Lia dan Siti sama-sama menutup mulut karena rasa kagetnya. Dan Resti hanya bisa tersenyum miring dengan wajah tampak kesal.
"Maaf, aku permisi sebentar."
Dengan wajah yang masih tampak bingung, Nadhira beranjak dari duduknya. Dia lalu menyeret Heru pergi bersamanya.
Melihat tangannya digenggam oleh Nadhira, Heru tersenyum sambil berjalan mengikuti Nadhira di belakangnya.
"Aku tidak mengerti, apa yang sedang kau lakukan sekarang? Dan apa maksud dari semua ini?" tanya Nadhira beruntun ketika mereka berada di sudut kafe yang tidak terlihat oleh teman-temannya.
"Aku hanya ingin membantumu," jawab Heru tulus.
"Apa? membantuku? Aku tetap tidak mengerti," sahut Nadhira seraya meremas kepalanya dengan satu tangannya, merasa frustasi.
Nadhira yang benar-benar kebingungan mencoba diam untuk sejenak, mencoba menenangkan diri, kemudian mengangkat satu tangannya.
"Oke, apa pun alasanmu, pertama-tama yang harus kamu lakukan sekarang adalah meralat kembali ucapan mu yang tadi kamu ucapkan pada teman-teman ku!" Perintah Nadhira lalu menghela nafas pelan.
"Ayo, kita kembali ke teman- tamanku lagi sekarang!"
Nadhira kemudian pergi dari sana, berjalan menuju tempat ketiga temannya berada. Meninggalkan Heru yang masih bergeming di tempatnya.
Namun baru dua langkah Nadhira berjalan, suara dari Heru menghentikan langkahnya.
"Apa kau tidak sadar? Temanmu kini sedang meremehkan mu sekarang, dan jika kau mengatakan yang sebenarnya, kau benar- benar-akan menjadi pecundang di depannya. Kau mau seperti itu?" ucap Heru kesal.
Nadhira terdiam. Mematung.Tampak berpikir. Dan selagi Nadhira masih mematung, Heru berjalan meninggalkannya.
***
"Silahkan dinikmati. Aku yang traktir kalian," ujar Heru saat dia, Nadhira, dan ketiga temannya duduk bersama dalam satu meja.
Nadhira akhirnya memutuskan mengikuti permainan Heru. Itu salah, Nadhira tahu. Tapi hatinya terlanjur sakit dan terluka. Nadhira hanya bisa menyesal dalam hati.
"Tapi omong-omong apa pekerjaanmu?" tanya Lia penasaran karena Heru tampak seperti orang kaya.
Dia tersenyum terlebih dahulu sebelum ia menjawabnya.
"Perkenalkan, saya Heru Nadata Pratama. CEO dari Pratama Hotel."
"Hah, CEO?" Lia terkejut hingga membekap mulutnya. Begitu pula dengan Siti. Mereka kemudian saling pandang tidak percaya.
Sedangkan Resti, mendengar itu dia yang sedang minum sangat terkejut hingga ia tersedak dan menumpahkan minumannya ke bajunya. Bajunya kini basah dan kotor karena minuman tersebut.
Lia dan Siti yang terkejut hanya mampu membelalakkan matanya dengan mulut menganga.
"Apa kau tidak apa-apa?" Nadhira yang juga terkejut spontan bertanya keadaannya dengan nada dan raut wajah khawatir.
Resti tidak menjawab. Wajahnya memerah karena rasa marah dan kesalnya.
"Aku harus pergi ke toilet," ujar Resti dingin sebelum ia beranjak dari duduknya dan berjalan cepat menuju toilet diiringi kemarahan yang memenuhi ruang di dadanya. Dadanya pun terasa sangat sesak.
"Ku rasa dia tidak baik-baik saja, aku akan pergi sebentar untuk melihatnya," ucap Lia pada Heru dan Nadhira sebelum ia pergi menyusul Resti.
"Aku juga permisi sebentar," lanjut Siti ikut-ikutan pergi.
Melihat apa yang ada di hadapannya Heru tersenyum miring, lalu menoleh pada Nadhira.
"Lihat, cara ini berhasil, bukan?" ucap Heru kemudian pada Nadhira.
Nadhira berdecak kemudian menghela nafas berat.
"Menyebalkan! Aku harus menjadi orang bodoh untuk melihat mereka menjadi tampak bodoh," gumam Nadhira dengan ekspresi lesu. Nadhira kemudian merasa kesal sendiri, sekaligus merasa bersalah.
Ekspresi yang tanpa Nadhira sadari terus diperhatikan oleh Heru sejak tadi tanpa menoleh sedikit pun. Ekspresi yang membuat senyum di bibir Heru mengembang penuh.
Nadhira Nya sangat lucu, manis, dan baik hati. Itulah kenapa Nadhira merasa seperti itu. Pikir Heru seraya terus memandang Nadhira.
Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa melupakannya? Batin Heru masih memandangnya tanpa sepengetahuan Nadhira.