webnovel

9. Rasa sakit

Satu sihir merubah kehidupanku berada dalam ketersiksaan. Ketersiksaan yang membuat segala kenikmatan di sekeliling menjadi tak terasa. Menjadi buram, tenggelam.

Heru yang berbaring di tempat tidur, termenung menatap langit-langit kamarnya.

Dia kembali teringat saat dimana Nadhira menggenggam tangannya untuk mengajaknya pergi menjauhi teman-temannya.

Heru tersenyum.

Sihir cinta. Sihir itu membawa seseorang diantara dua kemungkinan rasa, bahagia atau sengsara.

"Maaf, meski pun aku berterima kasih, tapi aku mohon jangan mengulangi itu lagi, apalagi kau merangkul ku tadi." Nadhira tetap mengatakannya meski merasa tak enak.

Heru menyeringai.

"Kau takut orang yang kau cintai melihatnya, bukan?" jawab Heru sinis.

Mendengar jawabannya Nadhira terkejut. Nadhira tidak menyangka Heru mengetahui itu. Entahlah, apakah dia benar-benar tahu atau hanya menebak, namun jawabannya benar.

"Bb..bukan begitu. I..itu sudah menjadi prinsip ku," jawabnya tergagap karena tak enak hati. Namun itu juga benar.

Mengingat percakapannya itu, Heru menghela nafas dalam.

Heru tersihir olehnya. Sihir yang membuatnya merasa sengsara.

Dia kemudian mencoba memejamkan matanya. Menghilangkan perih yang sedang bersemayam menguasai dadanya.

Malam yang gelap menjadi semakin pekat karena rasa perih yang dia rasakan.

***

Matahari selalu bersinar kembali, mengganti kepekatan dengan sinar terang.

Di lorong antara deretan rak-rak yang memajang berbagai jenis produk, Nadhira memperhatikan seorang wanita paruh baya yang tampak kebingungan dengan mata yang terus melihat ke arah rak yang memajang sebuah produk di depannya. Tidak lama Nadhira segera menghampirinya.

"Maaf Bu, apa ada yang bisa dibantu?" tanya Nadhira sesampainya di sana.

Ibu itu menoleh lalu tersenyum.

"Iya ini Mbak, saya sedang mencari kinder joy, tapi sepertinya tidak ada di rak nya," beritahu Ibu itu.

"Oh, begitu ya, Bu," jawab Nadhira kemudian melihat ke arah rak dengan tulisan produk tersebut. Dan ternyata benar tidak ada.

"Oh iya Bu, mungkin habis dan kami sedang tidak ada stok lagi." Beritahu Nadhira kemudian.

Ibu itu terlihat kecewa.

"Ah gimana ya, cucuku pasti akan ngambek."

"Aduh maaf ya, Bu," lanjut Nadhira dengan ekspresi tak tega.

"Aduh gimana ya? Cucu Ibu kalau sudah ngambek, itu bisa lama sekali," ulang ibu itu lagi kini dengan wajah tampak khawatir.

Nadhira yang melihatnya merasa kasihan dan tidak tega, Apalagi melihat Ibu itu memakai satu tongkat di tangannya. Dia tidak sampai hati jika harus bilang untuk mencarinya di toko yang ada di sebrang. Nadhira tidak tega harus melihat ibu itu menyebrang jalan dengan kondisi kaki seperti itu.

"Kalau Ibu tidak keberatan, biar aku carikan di toko sebrang." Tawar Nadhira pada akhirnya.

"Jika Mbak bersedia, ibu akan sangat bersyukur," lanjut ibu itu.

Nadhira kemudian keluar dari toko itu untuk mencari kinder joy di toko yang ada di sebrang.

Heru yang berada di toko itu melihat dan mendengarkan percakapan antara Nadhira dan ibu itu. Dia kemudian membalikkan tubuhnya, dan melalui kaca toko, Heru melihat Nadhira yang tengah berlari menyebrangi jalan.

Heru menghela nafas dalam.

"Jika terus melihatmu seperti ini, sepertinya aku tidak akan bisa melupakanmu. Sepertinya aku tidak boleh datang ke sini lagi," gumamnya lalu menghela nafas pelan. Dia kemudian segera pergi dari sana. Dia tidak jadi berbelanja, memutuskan cepat pergi sebelum Nadhira kembali.

Heru tidak ingin bertemu dengan Nadhira.

***

Di malam hari Heru beserta kedua orang tuanya makan malam dengan Pak Joko Sudrajat di salah satu resto jepang.

Selain membicarakan bisnis, makan malam itu juga bentuk dari hubungan yang sudah terjalin dekat diantara Pak Joko Sudrajat dengan keluarga Heru. Karena mendiang putra Pak Joko Sudrajat dulu merupakan sahabat dekat dari Ayah Heru. Dan meski kini putranya telah meninggal, mereka tetap menjaga hubungan baik itu.

"Akhirnya kita bisa makan bersama dengan Bapak lagi. Terakhir kali itu sudah lama sekali," ucap ayah Heru di sela-sela makannya.

Pak Joko tersenyum menimpali.

"Aku yang senang bisa kembali makan bersama dengan kalian semua. Kalau seperti ini aku seperti punya keluarga lagi," lanjut Pak Joko dengan senyum yang sedikit tampak getir.

Setelah pembicaraan bisnis selesai, percakapan menjadi lebih akrab.

"Apa kamu sudah memiliki calon pendamping yang cocok Her?"

"Apa?" Heru terkejut, sedikit tersedak.

Pak Joko sedikit tersenyum.

"Kamu kenapa? Seperti maling yang tertangkap basah saja." Kelakar Pak Joko membuat ayah dan mama Heru sedikit tertawa.

"Iya Her, kamu kenapa? Apa kamu sedang menyukai seseorang?" tanya ibunya kemudian beruntun.

Wajah Heru sedikit memerah. Dia juga sedikit menjadi salah tingkah.

"Tidak ada kok, Mah," jawab Heru cepat seraya berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang.

Mendengar itu eskpresi wajah mamanya tampak kecewa.

"Mama kira ada," ucap mamanya lemah. Suaminya hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya itu.

"Aku sebagai mamanya juga bingung, wanita seperti apa yang dia cari. Sudah tiga wanita dari anak temanku yang dia tolak. Padahal mereka cantik dan berpendidikan bagus," gerutu mamanya kecewa.

Heru mulai gerah mendengar ocehan mamanya itu. Selera makannya hilang hingga ia menghentikan makannya.

"Ayolah, Mah, mereka semua itu membosankan, masa yang selalu dibahas itu hanya penampilan dan pendidikan," terang Heru mencoba membela diri.

"Ah, kamu nya saja yang dasar tidak niat membuka hati untuk mereka," lanjut mamanya tak mau kalah tanpa melihat ke arah Heru dan tetap fokus pada makanannya.

Pak Joko yang menyaksikan perdebatan antara ibu dan anak itu hanya tersenyum-senyum saja melihatnya.

Ayah Heru yang melihat ke arah Pak Joko merasa tak enak. Dia lalu mencoba melerai perdebatan antara istri dan anaknya itu.

"Iya kok Mah, mereka memang membosankan," sahut Heru tak mau kalah juga.

"Sudah sudah cukup! Kalian ini seperti Tom And Jerry saja," sergah ayah Heru.

"Maaf Pak, tidak seharusnya Bapak melihat ini," ucap ayah Heru kemudian pada Pak Joko dengan rasa tak enak.

Pak Joko tertawa. Heru dan mamanya terdiam, malu sekaligus menyesali kebodohan mereka yang berdebat di waktu yang tidak tepat. Mereka berdua kemudian menundukkan kepalanya.

"Ah tidak tidak. Sama sekali tidak masalah," ucap Pak Joko seraya mengangkat satu tangannya.

Ayah Heru tersenyum masih merasa tak enak hati.

"Aku malah senang jika melihat perdebatan antara seorang ibu dan anaknya. Itu hal yang wajar. Dulu aku juga selalu berdebat dengan anakku. Terkadang itu menyenangkan," lanjut Pak Joko dengan ekspresi berubah sedikit sendu. Namun tak lama mencoba kembali tersenyum.

"Seandainya cucuku masih hidup, aku pasti akan menjodohkannya dengan anakmu," imbuh Pak Joko lagi seraya tersenyum meski sejumput kesedihan kembali muncul di hati.

***

Pak Joko berdiri melihat ke sekeliling rumahnya yang tampak sangat besar. Di rumah besar itu dia tampak kesepian karena tak punya seseorang di sampingnya kecuali hanya para pegawainya yang bekerja di sana untuknya.

Seraya menatap ke sekeliling rumahnya, Kesedihan tampak begitu pekat di wajahnya. Sebuah kecelakaan tragis mengambil semua orang dari sisinya. Anak semata wayangnya meninggal, begitu pula dengan menantu dan cucunya.

Meski dia memiliki segalanya, namun sejatinya hatinya terasa kosong. Dia merasa kesepian di usia tuanya.

Tepat saat Pak Joko melihat ke arah kursi ruang tamu, di sana dia melihat dirinya yang sedang bercanda dengan cucu perempuannya yang berusia enam tahun. Setelah itu menantunya datang membawakan teh hangat untuknya. Lalu menyuruh putrinya terlebih dulu turun dari pangkuannya. Saat ia menyeruput tehnya, anak lelakinya pulang dari kerjanya dan segera menggendong putri perempuannya yang cantik. Di sana tawa pun tercipta. Tawa dari anak, menantu serta cucunya membuatnya ikut tersenyum, merasa sangat bahagia.

Seiring dengan munculnya senyum di bibir Pak Joko, video kebahagian itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya.

Di kursi ruang tamu yang tepat ada di depannya itu tak ada siapa-siapa di sana. Tampak sepi dan sunyi.

Senyum yang semula mengembang pun tenggelam dari bibir Pak Joko. Dia kembali menatap ke sekitar dengan wajah tampak sendu.