Adakah mimpi yang tidak berharga?
Adakah mimpi yang remeh temeh?
Berhak kah seseorang menghina mimpi orang lain karena sudut pandang yang berbeda?
Entahlah, itu kembali ke sudut pandang orang yang menilainya.
Tangan Nadhira dengan lincah menari di atas keyboard. Pandangannya fokus ke arah layar laptopnya.
Saat ia tengah mentransfer ide dari kepala ke layar putih di depannya, tak jarang membuat ekspresi wajahnya pun ikut berubah-ubah. Kadang ia mengerutkan keningnya, kadang juga ia tersenyum, bahkan kadang pula ia menghela nafas dalam. Semuanya silih berganti muncul tenggelam.
"Ayolah Nadhira. Ayolah!" Semangatnya pada dirinya sendiri.
Nadhira kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi lalu memejamkan mata seraya menghela nafas dalam. Ia lalu menekan-nekan kepalanya.
Nadhira frustasi karena tak ada ide di kepalanya hingg ia harus menghentikan menulisnya.
Kursor di layar putih terus berkedip-kedip. Satu menit, dua menit, bahkan sampai sepuluh menit, tak ada satu kata pun yang bisa ia ketik di layar putih tersebut. Dia mendongakkan kepalanya ke atas lalu menghela nafas berat.
Untuk beberapa saat, Nadhira menundukkan kepalanya. Tak lama setelah itu dia mematikan laptop dan menutupnya. Nadhira beranjak dari tempat duduknya, membawa laptopnya dan keluar dari kamarnya menuju ruang tamu.
Sesampainya di sana Nadhira menaruh laptopnya di atas meja dan kembali menyalakannya. Dia kemudian menatap layar putih itu seraya menghela nafas keras.
Nadhira mulai menaruh jari jemarinya di atas keyboard seiring dengan kembali mengaktifkan kepalanya. Namun sayang, meski sudah lima menit berlalu tak ada juga kalimat yang muncul di benaknya untuk ia transfer ke layar putih di hadapannya.
Nadhira yang frustasi menenggelamkan kepalanya di atas tangan yang ia lipat di atas meja untuk beberapa lama. Dia kemudian mengangkat kepalanya lalu segera beranjak berdiri.
Dengan membiarkan layar laptopnya tetap menyala, Nadhira memilih untuk bersih-bersih ruang tamunya. Menyapu lantai, lalu mengepelnya. Namun baru beberapa detik ia mulai mengepel, tiba-tiba saja dia menghentikan aktifitasnya.
Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Tanpa berpikir panjang dan membuang waktu, Nadhira segera melepaskan alat pel hingga jatuh ke lantai dan segera menghampiri laptopnya. Segera memainkan jari jemarinya di atas keyboard. Mentransfer dengan cepat ide yang muncul di kepalanya.
Terus menerus seperti itu saat ide di kepalanya sedang macet.
Setelah tak ada lagi ide yang muncul di kepalanya, dia meneruskan aktifitasnya. Lalu kemudian beralih mengelap kaca, namun tak lama dia menjatuhkan lapnya dan segera menghampiri laptopnya untuk segera menulis lagi.
Saat ide tak ada lagi, dia beralih membersihkan dapur, dan segera berlari menuju laptopnya tiap kali ide muncul.
Begitu pun saat Nadhira baru saja mencuci piring, dia berlari menuju laptopnya lagi.
Saat baru saja membersihkan kompor, dia berlari menuju laptopnya lagi. Terus seperti itu saat ia beres-beres, selalu segera menghampiri laptopnya tiap kali ide muncul di kepalanya.
Setelah membereskan seisi rumahnya, Nadhira menjatuhkan tubuhnya di kursi. Bersandar dengan nafas yang sedikit terengah-engah. Dengan tubuh yang terasa lemas, dia menatap ke arah laptopnya yang masih menyala.
"Tak ada yang mudah dalam mengejar mimpi. Karena itulah mimpi sangat berharga," gumamnya lirih masih menatap ke layar laptopnya.
Saat ia baru saja akan memejamkan mata, terdengar ketukan dari luar pintunya.
"Nadhira aku masuk," ujar suara yang tak asing lagi mulai terdengar memutar kenop pintu.
Ilham lalu duduk di kursi setelah meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja tepat di samping laptop Nadhira.
"Habis menulis?" tanya Ilham.
"Hm..," sahut Nadhira singkat.
"Apa ada kabar baik? Ku harap begitu," lanjut Ilham bertanya dengan harapan yang tulus.
Nadhira menghela nafas berat.
"Sayangnya tidak begitu," jawab Nadhira pelan tak berselera.
"File novel yang ku kirim ke penerbit ditolak." Nadhira menjeda kalimatnya sejenak. Dia kemudian menghela nafas lagi.
"Novel online ku juga tidak ada peningkatan signifikan. Tidak banyak pembaca yang mampir ke novelku," lanjutnya dengan wajah lesu.
Mendengarnya Ilham prihatin. Namun dia mencoba untuk tidak terlalu muram, melainkan tetap menampakkan wajah cerah untuk menyemangati.
"Percayalah, itu adalah bagian dari proses untukmu menuju sukses." Ilham mencoba menyemangati.
Nadhira tidak menjawab, hanya diam dengan kepala tertunduk.
"Hah.." Nadhira menghembuskan nafasnya kasar.
"Kenapa aku memilih mimpi yang tak pasti seperti ini?" ujarnya pelan dengan wajah lesu.
"Hei, kenapa kau berkata seperti itu. Setiap mimpi berharga. Dan semua mimpi tak ada yang pasti. Karena ketidakpastian nya itulah mimpi menjadi berharga. Kau pasti tahu itu. Dan kau tidak boleh lupa itu. Mengerti?" Ilham berusaha keras menyemangati.
Nadhira masih menunduk diam tak menanggapi.
"Jangan menyerah menjadi penulis hanya karena itu sulit. Aku tidak ingin kau menyerah."
Ilham kemudian tersenyum menatap Nadhira yang masih menunduk.
"Meski sulit, aku melihat kau terlihat bahagia saat menulis. Jadi tetaplah semangat, dan jadilah penulis hebat. Aku akan selalu mendukungmu. Katakan apa pun jika kau membutuhkan bantuan."
Tak terasa air mata mengalir dari kedua matanya. Ilham benar, Nadhira merasa bahagia saat dia menulis. Karena saat menulis, dia bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya.
Nadhira menghapus air matanya yang mengalir di pipinya. Dia kemudian mengangkat kepalanya. Menatap ke arah Ilham dan mencoba tersenyum.
Ilham benar. Aku tidak boleh menyerah. Batin Nadhira.
Ilham terus tersenyum. Berharap Nadhira sadar dari kekalutan rasa frustasinya.
***
Bukan hanya hotel, basis perusahaan heru juga merambah ke pusat perbelanjaan. Dan mall nya menjadi salah satu mall terbesar di kota Jakarta.
Heru yang ditemani sekretarisnya dan beberapa lagi orang di belakangnya berjalan berkeliling setiap toko yang ada di mall nya.
"Ini toko yang menyumbang pendapatan terbesar di setiap bulannya," beritahu sekretarisnya mendekat ke arahnya.
Heru mengangguk. Dia kemudian mengalihkan pandangannya menuju pemilik toko yang kini berada di hadapannya.
"Terima kasih karena sudah mau bekerja keras. Pertahankan kerja bagus ini!" ujar Heru sambil tersenyum dengan menyalami pemilik toko tersebut.
Pemilik toko itu hanya mengangguk dan tersenyum. Setelah itu Heru pergi dari toko yang memajang tas mewah tersebut. Berganti ke toko-toko lainnya.
Langkahnya terus terayun diiringi senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya. Itu melelahkan, namun tidak sulit karena pada dasarnya Heru memang ramah dan tulus, bukan tipe orang yang tersenyum hanya karena basa-basi.
Heru kembali ke ruangannya dengan diikuti sekretarisnya.
"Setelah ini apa jadwalku?" tanya Heru setelah duduk di kursi ruang kerjanya.
"Bapak dijadwalkan mengunjungi panti asuhan cinta kasih untuk memberikan sumbangan hasil festival kemarin. Dan, akan ada banyak wartawan di sana," jelas sekretarisnya.
Heru mengangguk.
"Baiklah, ayo kita bergegas ke sana." Heru beranjak dari duduknya. Berjalan keluar dari ruangannya yang diikuti oleh sekretarisnya.
***
Sesampainya di depan panti asuhan Ilham menghentikan motornya.
Nadhira turun lalu melepas helmnya yang kemudian ia berikan pada Ilham.
Saat pandangannya ia arahan ke dalam, dia mengerutkan keningnya heran. Kenapa ada banyak wartawan? Pikirnya.
"Apa di sini akan diselenggarakan acara besar?" tanya Nadhira pada Ilham.
"Entahlah, aku juga tidak tahu," sahut Ilham.
Dengan kebingungan yang masih mendera, Ilham dan Nadhira masuk ke dalam dengan menerobos kerumunan yang sedikit menutupi jalan masuk.
Setelah bertemu dengan pengurus panti, barulah Pertanyaan Nadhira terjawab.
Setelah memberikan oleh-oleh yang dibawanya, Nadhira dan Ilham berbincang dengan pengurus panti meski hanya sebentar.
Pengurus panti tidak bisa berlama-lama berbincang dengan mereka karena harus mempersiapkan segalanya tentang acara. Nadhira dan Ilham mengerti. Bahkan mereka dengan senang hati ikut membantu.
Meski Ilham dan Nadhira tidak lagi tinggal di sana, namun mereka masih sering mengunjungi panti asuhan dan berhubungan baik dengan pengurus panti.
Para wartawan seketika bergerak dari tempat mereka semula menunggu saat Heru dan sekretarisnya tiba di panti asuhan.
Suasana riuh tercipta. Para bodyguard memasang tembok pertahanan untuk melindungi Heru dari para wartawan yang mencoba untuk lebih dekat menghampirinya.
Heru terkejut sekaligus bahagia saat ia melihat pengurus panti dan Nadhira berdiri menyambut kedatangannya. Tanya yang spontan muncul di benaknya, Heru abaikan.
Nadhira juga sama terkejutnya. Dia bahkan sedikit membuka mulut dan membelalakkan matanya. Heru tersenyum melihat ekspresi tersebut.
Acara serah terima pun dilakukan. Ibu panti dan Heru berdiri di depan. Tak lama Heru memberikan simbol berupa tulisan nominal uang yang ditulis di sebuah papan lalu diberikan pada Ibu panti.
Tepuk tangan pun menggema diiringi kilatan cahaya yang terus mengenai wajah Heru dan Ibu panti yang ada di depan.
Setelah acara selesai, Heru sedikit berbincang dengan Ibu panti. Namun meski berbincang dengannya, setiap ada kesempatan pandangannya ia arahkan ke segala penjuru untuk mencari keberadaan Nadhira.
Saat pembicaraannya selesai, Heru memberanikan diri menanyakan tentang Nadhira ke Ibu panti. Setelah bertanya, kini Heru mengetahui fakta baru tentang Nadhira. Bahwa Nadhira dulu tumbuh di panti asuhan itu.
Kenyataan yang seketika itu pula membuat hatinya menjadi sakit. Itu pasti berat bagi Nadhira. Pikirnya.
Heru berjalan menuju toilet. Sepanjang perjalanan pandangannya terus menjelajah, berharap sosok Nadhira tertangkap oleh retina matanya. Namun meski sudah berjalan lumayan jauh dia tidak juga menemukan sosok yang ingin sekali dia lihat.
Baru saja Heru menghela nafas berat karena tak kunjung menemukan Nadhira, suara yang tak asing tiba-tiba terdengar di telinganya hingga menghentikan langkahnya. Heru berhenti di depan sebuah kamar.
Melalui sebuah kaca kamar, ternyata dia akhirnya melihat sosok itu. Sosok yang sangat ingin dia temui. Di sana dia melihat Nadhira yang tengah bercengkrama dengan seorang anak perempuan yang ditaksir berumur dua belas tahun yang kini tengah menangis di pelukannya.
Dari luar kamar, Heru terus berdiri. Menatap lekat Nadhira yang tengah memeluk gadis remaja itu.
"Berhenti menangis dan jangan hiraukan perkataan mereka," ujar Nadhira seraya menghapus air mata gadis itu dengan tangannya setelah melepaskan pelukannya.
"Tapi Kak, Tuhan tidak adil. Jika Dia hanya akan membuat kita menderita, seharusnya Dia tidak menciptakan kita," ucap remaja itu penuh tekanan karena amarah di hatinya.
Nadhira tersenyum lalu menggenggam tangan remaja itu.
"Kamu salah. Allah maha adil." Koreksi Nadhira seraya menatap remaja itu dengan penuh kasih sayang.
Heru yang mendengar itu dari luar tersenyum, terharu sekaligus kagum. Dia tidak ingin sedikit pun beranjak dari sana.
"Di mana letak keadilannya?" lanjut remaja itu bertanya masih dengan amarah yang tampak dari wajahnya.
"Bisa terlihat, bisa juga tidak terlihat, atau bahkan mungkin kita saja yang tidak menyadarinya."
Remaja itu masih terdiam tak menjawab.
Seraya tersenyum, Nadhira semakin mengeratkan genggaman tangannya pada remaja itu.
"Kasih sayang Allah berbeda dengan makhluknya. Ujian yang diberikannya adalah bentuk kasih sayangnya." Nadhira tersenyum lagi menatap gadis itu.
"Percayalah! Suatu hari kebahagian pasti akan menghampirimu. Namun jika tidak sesuai dengan harapanmu, itu bukan berarti Allah jahat dan tidak adil, tapi Dia ingin memberikan hal yang jauh lebih indah, yang tak ada bandingannya di dunia untuk Dia berikan padamu di kehidupan selanjutnya(akhirat)."
Heru yang terus memperhatikan tak kuasa menahan air matanya. Senyumnya yang lebar kemudian mengiringi. Kekagumannya membuncah.
Heru menyentuh dadanya. Menatap Nadhira lekat-lekat. Dia merasakan cintanya semakin dalam. Sangat dalam.
Nadhira memeluk gadis itu. Membiarkan gadis itu menangis di pelukannya.
"Aku bodoh! Tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Aku janji, tidak akan melakukan itu lagi," gumam gadis itu masih dalam pelukan Nadhira.
"Itu bagus. Kau benar-benar gadis baik," sahut Nadhira seraya mengelus punggungnya.
Setelah melepaskan pelukannya, gadis itu kemudian menghela nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Gadis itu kemudian tersenyum menatap Nadhira.
"Tapi, apa Kakak di depan pintu itu seseorang yang Kakak sukai?"
Nadhira menoleh ke arah pintu. Lalu tersenyum pada Ilham.
"Benar. Kakak yang ada di sana adalah seseorang yang Kakak sukai."
Sontak, kalimat Nadhira membuat senyum yang mengembang di wajah Heru menjadi tenggelam tak tersisa.
"Apa Kakak akan menikah dengannya?" lanjut gadis itu bertanya.
"Hm. Suatu hari, Kakak ingin menikah dengannya," jawab Nadhira sedikit malu-malu, membuat gadis itu tersenyum melihatnya.
Ilham yang melihat itu segera beranjak dan menghampiri Nadhira dan gadis itu.
"Tidak. Kakak bahkan akan memaksanya untuk menikah dengan Kakak secepat mungkin," lelucon Ilham membuat Nadhira memanyunkan wajahnya.
Pemandangan yang sontak membuat gadis itu tertawa riang.
Pemandangan yang justru menimbulkan kesedihan di wajah Heru.
Heru mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat. Dadanya terasa sangat sakit seperti dihujani peluru bertubi-tubi.
Dia sungguh tidak tahu, bahwa wanita yang dicintainya sudah memiliki seseorang yang sangat dia cintai.
Hatinya sangat hancur. Heru patah hati.