webnovel

5. Selalu bersyukur

Nadhira merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia menghela nafas lalu memejamkan matanya. Akhirnya dia bebas. Dia bisa bernafas kembali.

Semalaman bersama orang asing membuatnya tertekan dan sulit untuk bernafas. Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan.

Dan yang menjadi keberuntungannya adalah saat ia melakukan perjalanan itu, Ilham sedang tidak ada di jakarta. Jadi biarkan Ilham tidak tahu, atau kalau tidak dia harus menjelaskan panjang kali lebar, sehari semalam pun pasti tidak akan selesai.

Dia pencemburu. Dia juga protektif. Tapi bagi Nadhira itu tidak masalah, karena baginya itu tanda cinta.

Nadhira membuka matanya lalu tersenyum.

"Tapi, baru sehari tidak bertemu dengannya, aku sudah merindukannya" gumamnya dengan kedua tangan terlentang dan pandangan menatap ke atas langit-langit kamar.

Nadhira kemudian mendesah pelan.

"Hari ini aku hanya ingin tidur. Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya lagi setelah memiringkan tubuhnya dan memejamkan mata .

Dan beruntungnya lagi, hari ini pun dia tidak bekerja. Sempurna untuk melepaskan lelah.

***

Berbeda dengan Nadhira yang bisa tidur-tiduran selama seharian setelah perjalanan itu. Sebaliknya, setelah melakukan perjalanan itu, Heru hanya pulang untuk mengganti pakaian lalu meluncur ke kantor, ada banyak hal yang harus dikerjakan.

"Ini semua harus Bapak tandatangani," ujar sekretarisnya seraya menyerahkan berkas-berkas itu di meja tepat di depannya.

"Apa jadwalku setelah ini?" tanya Heru sambil terus menandatangani berkas-beras yang ada di hadapannya.

"Bapak ada pertemuan dengan investor dari Cina pukul sebelas ini," jawab sekretarisnya yang masih berdiri di depan meja kerjanya.

"Setelah itu?" lanjut Heru masih sibuk menandatangani.

"Bapak harus menghadiri festival yang Bapak sponsori."

Heru menghela nafas pelan, kemudian menyerahkan berkas-berkas yang sudah ditandatanganinya itu pada sekretarisnya.

Setelah menerima itu sekretarisnya pamit keluar dari ruangannya.

Saat sekretarisnya tidak terlihat lagi, Heru menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang ia duduki.

Kepalanya yang bersandar ia dongakan ke atas, lalu ia memejamkan matanya. Seketika itu pula bayangan Nadhira muncul di benaknya. Ia kemudian tersenyum.

"Nadhira. Nama yang indah," ujarnya setelah Heru membuka matanya lagi.

Kesibukan membuatnya harus bersabar untuk bisa bertemu dengan Nadhira lagi. Lagi pula dia juga belum tahu di mana rumahnya, bahkan juga nomor teleponnya. Jika dia ingin menemuinya pun yang Heru kunjungi pastilah toko tempat Nadhira bekerja. Dan di sana pun dia belum tentu bertemu, karena belum tentu pada saat itu adalah jadwal Nadhira menjaga toko.

Heru melakukan aktifitasnya sesuai jadwal yang sudah disusun sekretarisnya. Dia pergi dari tempat satu ke tempat lainnya. Mengemban tugas demi perusahaan yang dipimpinnya.

Meski usianya terbilang masih sangat muda, yaitu dua puluh lima tahun, namun kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Dia terkenal jenius.

Kehidupannya begitu sempurna. Kaya, tampan, dan juga jenius.

Meski banyak wanita cantik yang mengantri untuk mendapatkan cintanya, namun tak ada satu pun dari wanita itu yang dapat memikat hatinya.

Hanya Nadhira yang berhasil memikat hatinya, bahkan sangat dalam.

Di dalam mobil yang masih terus melaju di jalanan beraspal, Heru meregangkan dasi yang terasa mencekik karena menggunakannya seharian. Dia lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi belakang yang ia duduki lalu menghela nafas dalam.

***

Malam itu Ilham pulang dan langung mampir ke kontrakan Nadhira.

Menjadi seorang fotografer sudah menjadi kebiasaan untuk dia bekerja diluar kota. Tergantung kliennya ingin mengambil foto di mana.

"Kau seharusnya langsung pulang. Menempuh perjalanan selama itu pasti membuatmu sangat lelah," tegur Nadhira pada Ilham yang tengah menyeruput kopi yang dibuat olehnya.

Nadhira mengambil remote yang ada di atas meja, lalu menekan salah satu tombol untuk menyalakan Tv.

"Pemandangan di sana pasti sangat indah, iya kan?" tanya Nadhira melihat pada Ilham.

"Biasa aja. Tidak seindah tempat di mana ada kamu."

Nadhira berdecak malas, "gombal."

"Sungguh!" Serius Ilham seraya menatap Nadhira yang mengarahkan pandangannya pada layar televisi yang menayangkan acara ulang tahun salah satu stasiun televisi.

"Lupakan," lanjut Nadira masih menatap layar pipih tersebut.

Ilham tersenyum. Wanita yang dicintainya benar-benar cantik dan menggemaskan.

Layar televisi kini tengah menayangkan iklan sampo. Tidak berapa lama kemudian iklan berubah, menayangkan CEO dari stasiun Tv tersebut yang memberikan sedikit kalimatnya tentang stasiun televisinya dan harapannya ke depan.

"CEO Bapak Joko Sudrajat, aku sangat mengaguminya," ucap Nadhira seraya terus menatap layar Tv yang menampilkan sosok tersebut.

"Kenapa kau bisa mengaguminya?" sahut Ilham ikut-ikutan mengarahkan pandangannya ke layar Tv.

"Karena dia sangat baik hati dan dermawan."

"Kau tahu dari mana?"

Nadhira menoleh pada Ilham yang masih menatap ke layar dengan tatapan mata memicing. Kesal.

"Iss.." lanjut Nadhira mendesis masih dengan tatapan tajamnya terarah pada Ilham, dan kali ini Ilham melihat ekspresi Nadhira.

"Kenapa? Aku benarkan?" jawab Ilham santai.

Nadhira menghela nafas gusar.

"Apa kau tidak pernah mendengar pribahasa, membaca buku berati menjelajah dunia?" Nadhira menjeda kalimatnya. Menatap Ilham serius.

"Dengan membaca kau juga bisa mengenal seseorang, bahkan terinspirasi olehnya. Kau mengerti sekarang?" ujar Nadhira penuh tekanan.

"Iya iya aku mengerti. Bahkan sangat mengerti. Aku hanya ingin menggoda mu saja," sahut Ilham tersenyum lebar, merasa menang.

Nadhira memicingkan matanya ke arah Ilham seraya memanyunkan bibirnya. Kesal.

Ya, Nadhira sangat kagum dengan sosok Joko Sudrajat. Banyak artikel yang sudah dia baca tentangnya. Bahkan buku biografi yang diluncurkannya pun dia sudah membeli dan membacanya.

Dia baik dan sangat dermawan. Dia sering berdonasi ke berbagai badan amal yang ditujukan ke berbagai bidang, seperti sosial dan kesehatan.

Dan yang paling Nadhira suka, meski beliau kaya raya bergelimang harta, tapi dia terkenal ramah dan sederhana. Dari mana Nadhira tahu? Ya jelas dari membaca dan tayangan tayangan yang mengisahkan tentangnya. Nadhira selalu mengikutinya.

"Tapi satu hal yang membuatku kasihan padanya." Nadhira tampak sendu dengan tatapan menerawang entah ke mana. Mengabaikan layar Tv yang tengah menampilkan penyanyi papan atas yang tengah bernyanyi merdu.

Ilham pun tidak menjawab. Hanya diam seraya menatap Nadhira yang tampak sendu dengan perasaan yang sama.

"Di masa tuanya dia tidak memiliki siapa pun di sampingnya," lanjut Nadhira semakin tampak sendu.

Meski dengan wajah yang masih sedikit tampak sendu, Ilham tersenyum ke arah Nadhira.

"Alangkah beruntungnya dia, jika kamu adalah cucunya. Dia pasti tidak akan kekurangan kasih sayang. Hari-harinya pasti akan selalu bahagia penuh warna," timpal Ilham.

Lelucon yang memudarkan sendu dan menerbitkan senyum di wajah Nadhira.

"Kau bisa saja," sahut Nadhira.

"Itu benar." Ilham serius.

"Jika aku menjadi cucunya, itu seperti keajaiban bagiku." Nadhira tersenyum.

Keajaiban yang akan merubah seluruh sendi kehidupannya. Sedikit pun Nadhira tidak pernah membayangkannya. Dia hanya ingin bersyukur dengan kehidupannya sekarang. Meski takdirnya tidak seberuntung orang lain. Karena dari kecil dia sudah hidup di panti asuhan. Tidak tahu siapa orang tuanya.