webnovel

3. Siapa namanya?

"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday Diraa.. yey..."

Ilham bersorak sekaligus bertepuk tangan untuk Nadhira. Matanya berbinar sangat terang. Jelas sekali dia sangat bahagia.

Sepulang kerja dia tidak lupa membelikan Nadhira kue ulang tahun dan mampir ke kontrakannya untuk merayakan hari ulang tahunnya.

Dalam pahitnya takdir kehidupanku, aku mempunyai satu keberuntungan, yaitu mempunyai dia di sisiku. Ilham Saputra. Menyebut namanya saja sudah membuatku bahagia. Lalu bagaimana saat dia berada di sampingku sekarang? Kebahagian itu menjadi tak terlukiskan. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengukur kebahagian itu. Batin Nadhira seraya melihat wajah Ilham.

"Buatlah permohonan sebelum kau meniup lilinnya," ujar Ilham mengingatkan.

Nadhira tersenyum seraya menatap ke arah Ilham dengan tatapan penuh bahagia dan syukur. Ilham tidak pernah melewatkan ulang tahun Nadhira sejak ia berusia dua belas tahun hingga saat ini. Ilham selalu merayakannya meskipun itu sederhana.

Nadhira mulai memejamkan matanya, lalu menyusul menengadahkan kedua telapak tangannya. Dia kemudian berdoa dalam hati untuk beberapa saat sebelum akhirnya membuka matanya lagi dan meniup lilinnya.

"Yey...," sorak Ilham seraya bertepuk tangan dengan senyum yang terus mengembang.

"Aku berdoa semoga semua yang kau harapkan akan terkabul suatu hari nanti," ujar Ilham dengan tulus dan serius.

Mendengarnya Nadhira hanya tersenyum dengan binar mata yang penuh syukur.

"Tapi kalau boleh aku tahu, apa yang kau minta?"

"Rahasia."

"Ayolah, setidaknya berikan aku klunya, hm." Pinta Ilham dengan memasang wajah memelas.

"No." Tegas Nadhira.

"Apa ada nama aku di dalamnya?"Ilham tidak mau menyerah begitu saja. Dia sangat penasaran. Karena sekali pun Nadhira tidak pernah memberi tahu apa yang dia minta ketika dia berdoa di setiap perayaan ulang tahunnya.

Sontak Nadhira berdecih.

"Gr," lanjutnya mengejek Ilham.

Apa yang aku minta? Setiap tahun permohonan ku sama. Kabulkan mimpiku menjadi penulis yang hebat. Batinnya lagi.

"Ah, baiklah. Aku menyerah. Aku hanya berharap apa pun permohonan mu, itu akan terkabul," ucap Ilham dengan ekspresi lesu. Menyerah.

Nadhira yang melihatnya tersenyum. Dia puas melihat Ilham yang tampak putus asa seperti itu.

"Kau sungguh tidak tahu? Apa kau tidak bisa menebaknya sama sekali? Bukankah itu sudah jelas."

Ilham mengernyitkan dahinya. Berpikir sejenak.

"Sangat jelas?" ulang Ilham.

"Hm."

"Ah, sekarang aku tahu," balas Ilham seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Nadhira diam dan hanya terus tersenyum.

"Kau berharap impianmu menjadi penulis terkabul. Apa aku benar?" Tebak Ilham sedikit tak yakin.

"Ya, kau benar."

"Hanya itu saja?"

Mendengar itu Nadhira merasa heran.

"Maksudmu?"

"Ya, apa tidak ada yang lain?" sahut Ilham.

"Kenapa bertanya seperti itu. Bukankah kamu tahu itu sangat berarti bagiku," lanjut Nadhira tak mengerti.

"Apa aku tidak berati bagimu?"

Mendengar kalimat itu Nadhira sontak terdiam. Suasana hening beberapa saat. Tatapan mereka saling bertemu.

"K..kenapa kau berkata seperti itu?"Nadhira gugup hingga membuang pandangannya ke samping. Sedang Ilham masih terus menatapnya meski Nadhira sudah memalingkan wajahnya.

"Aku serius," ucap Ilham masih menatap Nadhira.

"Aku takut kau sudah muak denganku hingga aku tidak berarti lagi bagimu,"

Sekali lagi kalimat Ilham membuat Nadhira kembali mematung sejenak. Pandangannya yang semula ia paling kan kembali sejajar hingga kini pandangan mereka saling beradu.

"Apa kau bodoh? Kenapa kau berkata seperti itu? Mana mungkin aku muak denganmu. Kau adalah keberuntungan dalam hidupku. Ingat itu baik-baik." Tegas Nadhira.

"Dan, aku hanya membuat permohonan, sesuatu yang belum bisa ku raih saja."

"Tapi, kenapa kau tidak membuat permohonan agar suatu hari kau bisa menikah denganku?" Ilham tak mau kalah.

"Karena kau sudah ada di sisiku."

"Tapikan pernikahan itu berbeda." Kekeh Ilham.

Nadhira sedikit menganga lalu mendesah berat, mulai lelah dengan Ilham. Dia tidak menyangka akan berdebat dengan Ilham tentang hal itu. Nadhira sedikit malas.

"Lagi pula suatu saat nanti, kau juga akan menikahi ku kan?"

"Tapi itu..." belum sempat Ilham menyelesaikan kalimatnya, Nadhira terlebih dulu membungkam mulut Ilham dengan kue yang ia suapi dengan paksa.

"Berhenti membahas itu. Kalau kau terus bicara kapan kita makan kuenya," terang Nadhira setelah menyuapi paksa Ilham. Mencoba menghentikan perdebatan.

Ilham menyerah. Dan dengan terpaksa mengunyah kue yang sudah terlanjur ada di mulutnya meski dia tidak berselera.

"Em, kuenya enak," ujar Nadhira seraya tersenyum setelah memasukkan kue ke dalam mulutnya. Mengabaikan Ilham yang masih tampak tak bersemangat.

"Ayo senyum dong! Inikan hari ulang tahunku." Paksa Nadhira.

Mau tidak mau meski dengan terpaksa Ilham pun akhirnya mengembangkan senyumnya.

"Nah gitu. Itu baru terlihat sangat tampan. Bahkan melebihi oppa-oppa Korea."

Nadhira tersenyum dan Ilham pun membalasnya dengan semakin mengembangkan senyumannya. Meski pun itu masih terpaksa.

Meski tidak berdasar tapi entah kenapa aku merasa takut. Batin Ilham dengan tatapan terus terarah pada Nadhira yang tengah menyendok kue yang ada di piringnya.

***

"Hey, kau mau kemana? Makan malamnya sudah siap nih. Ayahmu juga sudah ada di meja makan," seru mamanya sedikit berteriak saat tengah menata makanan di meja makan.

"Heru mau keluar sebentar Mah. Makan saja. Jangan tunggu heru," balas Heru sejenak menghentikan langkahnya. Menoleh pada mamanya.

"Tapi Her.."

"Heru pergi dulu Mah," seru Heru mengabaikan ucapan mamanya. Dia kemudian melambaikan tangannya lalu segera berlari seolah terburu-buru.

"Hey..."

"Sudahlah biarkan saja." Suaminya menginterupsi.

***

Di sebrang toko tempat di mana Nadhira bekerja, Heru berdiri sambil terus mengawasi ke dalam toko yang terlihat sangat jelas karena dindingnya memakai kaca besar transparan.

Di balik meja kasir, terlihat dua pekerja berdiri bersebelahan. Pandangannya terus menjelajah dengan cermat ke dalam toko, memastikan apakah pekerja yang ada di sana adalah orang yang dicarinya atau bukan.

" apa dia shif pagi?" tanyanya sendiri.

"Sayang, aku tidak tahu namanya."

Pandangannya beralih ke sudut toko yang lain. Rak-rak yang berjejer panjang menjadi pusat perhatiannya sekarang. Namun setelah beberapa lama terus memperhatikan, dia tidak juga menemukan sosok yang dicarinya. Wajahnya terlihat kecewa.

Pandangannya kembali fokus ke meja kasir dengan dua pekerja yang masih di sana. Satu pekerja keluar dari meja kasir, sedangkan yang satunya lagi menyambut pembeli yang datang untuk dihitung belanjaannya. Di sana Heru tidak menemukan orang yang dicarinya. Dengan wajah lesu, Heru mendesah berat.

Orang silih berganti masuk dan pergi dari toko. Heru menyaksikannya dengan raut wajah kecewa.

Sudah satu jam dia berdiri di tempatnya hanya untuk mencari keberadaan Nadhira.

Heru menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya dia pergi dari sana dengan wajah lesu dan kecewa yang sangat kentara.

Sesampainya di kamarnya, dia membanting tubuhnya ke atas kasur. Dengan tangan terlentang, pandanganya ia arahkan ke langit-langit kamarnya. Lalu dia mendesah pelan.

"Aku gagal bertemu dengannya."

"Aku gagal mengetahui namanya."

"Padahal, aku ingin bertemu dan tahu siapa namanya." Dia mendesah lagi, lalu memejamkan matanya, mencoba mengusir kekecewaan yang kini tengah menyelimuti hatinya.