webnovel

4. Perjalanan tak terduga

Layar putih di depan menyala. Meja panjang yang membentuk huruf U dipenuhi para sosok-sosok yang tampak serius. Salah satu di antara mereka tengah melaporkan pada Heru yang duduk di depan tepat di antara kedua belah meja.

"Rerata okupansi hotel di jakarta pada januari hanya menembus angka 45% saja, turun dari bulan desember tahun lalu yang mencapai angka 60%."

Di depan, Heru mendengarkan dengan seksama. Dia manggut-manggut dengan ekspresi wajah suram meski tidak sampai menghilangkan ketampanannya, hanya senyum manis yang biasanya muncul kini tenggelam tak tampak sedikit pun.

"Apakah sudah menganalisa penyebabnya?" tanya Heru buka suara.

"Ini disebabkan oleh beberapa faktor, tingginya harga tiket pesawat, lalu bencana alam yang baru-baru ini mengguncang negeri ini, dan banyaknya kompetisi menghadapi bisnis lain, seperti bermunculannya, homestay, apartemen, dan semacamnya," terang pekerja pada Heru yang berada di depan.

"Untuk itu, percepat peluncuran aplikasi Pratama traveler APPS yang sebelumnya akan diluncurkan pertengahan tahun. Aplikasi itu harus sudh diluncurkan dua bulan ke depan," ucap Heru tegas.

"Baik, kami akan segera mengurusnya," jawab orang tadi di depan tempat duduknya.

Setelah selesai rapat, Heru yang ditemani sekretaris beserta beberapa staf yang mengikuti di belakangnya berjalan menuju auditorium tempat pernikahan dua artis papan atas yang akan dilangsungkan minggu depan. Heru akan meninjau tempat tersebut.

"Perketat keamanan. Pasang CCTV di setiap sudut," ujar Heru seraya melihat ke setiap sudut ruangan.

"Karena akan ada banyak media yang meliput, hindari kesalahan sekecil apa pun," lanjut Heru Sambil terus berjalan keluar auditorium yang terus diikuti para staf yang mengangguk-anggukkan kepala sambil terus berjalan di belakangnya.

"Apa jadwal selanjutnya?" tanya Heru pada sekretarisnya setelah berada di lobi hotel.

"Ada pertemuan dengan investor asal singapura di kafe metropolitan pukul dua siang ini."

Sekretarisnya membukakan pintu mobil dan Heru pun segera masuk. Setelah sekretarisnya masuk dan duduk di kursi kemudi, mobil pun meluncur ke tempat tujuan.

***

Di kafe, perbincangan antara Heru dan investor asing itu terjalin begitu hangat namun tidak menghilangkan keseriusannya. Dalam hal ini Heru merupakan jagonya. Kepribadiannya yang hangat dan ramah mampu mencuri hati siapa saja. Dia juga pandai dalam hal melobi.

Meski serius, tapi tidak jarang senyum dan tawa kecil mengembang dari keduanya. Keramahan dan kehangatan Heru membuat investor asing itu merasa nyaman meski bukan berada di Negeri sendiri.

Pertemuan itu berakhir setalah dua jam. Mobil Heru pun kembali melaju di jalanan beraspal.

Di trotoar Nadhira berjalan menuju halte bus. Namun dalam perjalanan itu, dia mendapati anak perempuan yang di taksir berumur enam tahun berjalan tampak kebingungan sambil menangis. Nadhira pun segera berlari mendekati anak tersebut yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Setelah sampai di depan anak itu, Nadhira kemudian berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan anak perempuan itu.

"Kenapa kamu menangis, sayang?"

Tak ada sahutan. Anak itu masih diam dengan sesekali terisak.

"Tidak apa-apa, jangan takut! Kakak pasti akan membantu kamu. Jadi berhentilah menangis dan jawab Kakak!" Bujuk Nadhira.

"Kenapa kamu sendiri di sini, sayang? Dan mana ibu kamu?" lanjut Nadhira bertanya.

Bukannya menjawab, anak itu justru menangis semakin keras, membuat Nadhira berusaha tenang dengan segera memeluknya.

"Cup cup cup, jangan khawatir, Kakak akan membantu kamu," ujar Nadhira berusaha menenangkan anak itu dengan mengusap-usap punggung anak itu.

Setelah beberapa lama hingga anak itu berhenti dari tangisnya, Nadhira melepaskan pelukannya.

"Sekarang, ceritakan pada Kakak apa yang sebenarnya terjadi?" Bujuk Nadhira dengan perlahan.

"Cantika ketinggalan bus," ucapnya pelan dengan terbata-bata.

"Bus?" Dengan kening berkerut Nadhira bertanya memastikan, dan anak itu pun mengangguk.

"Memangnya cantika habis dari mana?"

"Cantika dan rombongan anak-anak lain habis pergi wisata," terang anak itu lagi diiringi dengan air mata yang ikut menetes.

"Wisata sekolah?"

Anak itu mengangguk.

"Oh, begitu rupanya."

"Jangan khawatir, Kakak akan membantu kamu kembali pada ibu kamu." Nadhira tersenyum sambil mengusap lembut kepala anak itu.

Setelah menanyakan asal tempat tinggal anak itu, Nadhira mengajak anak itu berjalan menuju tepi jalan, menunggu taksi lewat. Hari sudah sore, dia harus segera mengantar anak itu ke kota asalnya bogor.

Nadhira menggenggam erat tangan anak itu saat berada di tepi jalan.

Heru yang kebetulan melintas di jalan itu terkejut saat melihat Nadhira yang berada di tepi jalan. Dia sangat senang melihat sosok yang kemarin sangat ingin ditemui di tempat kerjanya namun gagal.

"Tapi, siapa anak itu?"

"Apa dia sudah menikah? Ya Tuhan, ku harap dia bukan anaknya, dan dia belum menikah." gumamnya sendiri gelisah.

Meski merasa khawatir dan gelisah, tapi Heru tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengetahui dan mengenal wanita yang telah mencuri hatinya itu.

Heru menyuruh sekretarisnya untuk berhenti tepat di depan wanita itu.

Tuhan, ku mohon. Batin Heru khawatir sebelum membuka kaca mobil setelah mobilnya berhenti tepat di depan Nadhira dan anak itu.

"Apa ada masalah?" tanya Heru membuat Nadhira terkejut hingga sedikit membuka mulutnya. Nadhira tidak menyangka seseorang yang ada di mobil itu ternyata oppa Korea yang sangat dikagumi sahabatnya itu.

"Bb..bapak," ujar Nadhira pelan dengan terbata.

"Apa terjadi masalah," ulang Heru karena tak mendapat jawaban.

"I..iya. sebenarnya anak ini..," jawab Nadhira ragu. Dia bingung mau mengatakannya atau tidak.

Heru yang menangkap gelagat kebingungan wajah Nadhira mengerutkan keningnya.

Setelah beberapa saat tidak juga mendapat jawaban, akhirnya Heru keluar dari dalam mobil.

"Sebenarnya anak ini kenapa?" tanya Heru lagi setelah keluar dari mobil.

Nadhira melirik ke arah anak perempuan itu.

"Anak ini sebenarnya..." Nadhira masih ragu mau mengatakannya atau tidak, apalagi oppa Korea itu bukan orang yang dia kenal.

"Jangan sungkan. Ayo katakan saja."

Nadhira memalingkan pandangannya dari anak perempuan itu ke Heru. Dia memilin bibirnya. Berpikir sejenak untuk mencari kalimat yang singkat dan tepat untuk menjelaskan kondisi anak yang kini ada bersamanya.

Heru memperhatikan wajah Nadhira lekat. Menunggu jawaban.

"Anak ini tertinggal rombongannya yang melakukan wisata di Jakarta. Tapi untungnya anak ini pintar dan tahu alamat rumahnya, jadi aku berencana mengantarnya pulang."

"Memangnya di mana rumahnya?"

"Di Bogor," jawab Nadhira pelan, tidak yakin lelaki yang dibilang seperti oppa Korea ini akan membantunya.

"Masuklah. Aku akan mengantarmu."

"Hah." Nadhira sedikit terkejut, jawabannya sungguh tak terduga.

"Tt..tidak usah. Aku tidak ingin merepotkan Bapak. Biar aku sendiri saja yang mengantarkannya," ucap Nadhira sedikit terbata dan spontan menggoyangkan telapak tangan yang tidak tentu arah pertanda tidak usah.

"Jangan menolak. Ini sudah sore, akan lebih cepat jika kau memakai mobilku," lanjut Heru.

Nadhira berpikir. Menimbang-nimbang. Ucapan oppa Korea itu ada benarnya. Pikir Nadhira.

Akhirnya Nadhira pun menerima tawaran itu.

Setelah menyuruh sekretarisnya untuk pulang dengan taksi, Heru segera menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan.

"kamu lapar? Kalau iya, Kakak punya roti di tas Kakak." Tawar Nadhira pada anak itu yang duduk di kursi belakang, tepat di sampingnya.

Anak itu mengangguk. Dan Nadhira segera mengambil roti dari dalam tasnya, lalu membuka bungkusnya dan memberikannya pada anak itu.

Anak itu segera memakannya. Nadhira tersenyum melihatnya.

"Habiskan rotinya dan jangan khawatir. Kakak akan memastikan kamu akan bertemu ibu mu lagi," ucap Nadhira seraya mengusap kepala anak itu.

Semua adegan itu Heru perhatikan dari kaca depan mobilnya, membuatnya terus tersenyum saat menyaksikannya. Dia dibuat semakin terpesona oleh wanita di belakangnya itu. Dan yang pasti cintanya semakin mekar.

***

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Nadhira dan Heru masih berada dalam perjalanan pulang setelah mengantar anak perempuan itu kembali ke pangkuan ibunya.

Cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan yang disertai angin kencang mengguyur kota. Jalanan pun harus tersendat karena kemacetan.

Di dalam mobil suasana hening, hanya terdengar derasnya hujan yang terus mengguyur dan sapuan angin yang tampak mengerikan.

Sesekali Heru melirik ke arah Nadhira yang terus diam dan mengarahkan pandangannya ke depan. Heru tidak tahu harus berkata apa. Suasana menjadi canggung.

Perasaan canggung dan tidak nyaman itu, membuat Nadhira sulit bernafas. Dan membuat perjalanan terasa tidak menyenangkan.

Di depan dengan jarak dua meter dari mobilnya yang tak bisa melaju karena kemacetan, Heru melihat sekelompok orang-orang dan beberapa petugas tengah beradu mulut. Karena penasaran Heru pun membuka pintu mobilnya. Namun, saat ia mau keluar Nadhira mencoba mencegahnya.

"Bapak mau kemana?"

"Di depan terlihat ada rame-rame, aku mau melihatnya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi," jawab Dia menghentikan kaki yang akan mulai turun, sejenak menghadap Nadhira.

"Di luar masih hujan, Bapak tidak boleh turun."

Mendengar itu, Heru tersenyum. Entah apa pun kalimat yang keluar dari mulut Nadhira selalu saja membuatnya terpesona.

"Hanya sebentar. Kau tunggu di sini," jawab Heru sebelum akhirnya ia turun dari mobil dan berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Langkahnya terus terayun menuju sekelompok orang dan beberapa petugas.

Setelah Nadhira menunggu beberapa menit akhirnya Heru kembali masuk ke dalam mobil.

"Kita dalam masalah."

Mendengar itu raut wajah Nadhira sontak saja khawatir.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada kecelakaan?" lanjut Nadhira tak sabar karena penasaran dan khawatir.

"Bukan," jawab Heru.

"Ada pohon besar tumbang di depan sana. Dan karena itu membutuhkan waktu untuk mengangkatnya, lalu melihat cuaca yang masih tidak bersahabat, petugas memutuskan untuk sementara menutup jalan dalam waktu yang belum bisa ditentukan," terang Heru.

Mendengarnya Nadhira hanya bisa menghela nafas berat.

"Lantas kita harus bagaimana sekarang?" tanyanya dengan ekspresi bingung.

"Kalau cuaca masih seperti ini, mau tidak mau sepertinya kita tidak bisa pulang malam ini," ujar Heru dengan berat hati.

***

Mereka kini tengah berada di depan pintu kamar yang mereka pesan.

Nadhira menghela nafas dengan sangat berat. Ekspresi wajahnya pun tampak tak kalah beratnya. Dan Heru yang melihatnya mengerti ekspresi apa itu.

"Ku kira ini salah, tidak seharusnya seperti ini, bukan?" ucap Nadhira menoleh pada Heru dengan nada sedih.

"Tidak ada pilihan lain. Semua kamar penuh terisi."

"Apa kita kembali ke mobil saja?" Saran Nadhira putus asa.

"Dengan cuaca seperti ini, ku pikir yang terbaik kita di sini. Lagi pula, lihatlah, bajumu sudah basah kuyup, kau harus segera menggantinya."

"Tapi aku tidak membawa baju ganti," ujar Nadhira seraya mengerutkan keningnya.

Dengan sigap Heru mengangkat kantung plastik yang dipegangnya tepat di hadapan Nadhira.

"Ini, aku tadi membelinya saat melihat toko di samping penginapan ini."

Nadhira terkesima tidak percaya, ternyata lelaki ini perhatian juga, pikirnya.

Di dalam kamar, Nadhira merasa sangat canggung. Dia berjalan perlahan menuju kursi panjang yang ada di dalam kamar.

Sesampainya di depan kursi, kedua tangannya meremas baju bagian bawahnya seraya pandangannya mengedar ke segala penjuru kamar.

"Apa kamu mau duluan menggunakan kamar mandinya?"

Pertanyaan itu membuat Nadhira terkesiap.

"A..apa?" jawab Nadhira terbata.

"Oh. I..iya, Bapak saja duluan," lanjutnya masih terbata karena merasa canggung dan gugup.

"Baiklah, aku duluan yang menggunakan kamar mandinya."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Heru segera beranjak menuju kamar mandi.

Setelah Heru masuk kamar mandi, Nadhira mulai duduk di kursi dengan mata yang masih terus menjelajah setiap jengkal sudut kamar.

Setelah merasa lelah, Nadhira menundukkan pandangannya lalu menghela nafas dalam.

Tanpa ia sadari, Heru yang sudah keluar dari kamar mandi dan berdiri di depan pintu, memperhatikan Nadhira yang tengah tertunduk dalam. Heru kemudian menghela nafas pelan melihatnya.

"Masuklah! Aku akan keluar mencari makan."

Kalimat yang terdengar membuat Nadhira mengangkat kepalanya.

Tanpa berkata-kata lagi Heru keluar dari kamar.

Setelah Heru keluar dari kamar, Nadhira menghela nafas lagi. Masih tidak percaya dengan situasi yang dialaminya sekarang. Dia bermalam dengan lelaki asing yang bahkan dia tidak tahu namanya.

Saat Nadhira keluar dari kamar mandi, makanan sudah terhidang di atas meja.

"Kemari lah, ayo kita makan!" Ajak Heru yang duduk di bawah kursi, tepat di depan makanan yang terhidang di meja.

"Terima kasih. Aku tidak lapar."

Tepat setelah kalimat Nadhira selesai, bunyi di perutnya menyahut seakan tidak setuju. Mendengar itu Nadhira spontan menyentuh perutnya dengan satu tangannya dengan wajah yang tampak malu.

Mendengar sekaligus melihat ekspresi wajah Nadhira membuat Heru tersenyum lucu.

"Lihat, bahkan perutmu saja bersuara tidak setuju. Jadi kemari dan makanlah!" Ajak Heru lagi kali ini dengan menahan tawanya.

"Tidak usah. Bapak saja." Kekeh Nadhira meski dengan menahan malu.

"Kenapa? Kau tidak mau makan denganku?" lanjut Heru tanpa melihat kearah Nadhira yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Bukan begitu," jawab Nadhira lirih namun masih mampu terdengar Heru.

"Lantas?"lanjut Heru bertanya.

"Mana mungkin aku bisa makan dengan orang asing. Bagaimana kalau seperti di film-film, setelah makan si wanita tidak sadarkan diri. Lalu..." Nadhira menghentikan kalimatnya, ragu mau melanjutkannya atau tidak.

"Lalu apa?" Heru tersenyum miring, mengerti maksud Nadhira meski dia belum menyelesaikan kalimatnya.

"Lalu..." Nadhira masih ragu, mau melanjutkan kalimatnya atau tidak.

"Lalu, aku akan melakukan hal buruk. Merenggut kesucian mu? Kau mau bilang itu, kan?" ucap Heru mulai gemas.

"A..ku tidak menuduh mu. Aku hanya takut seperti di film-film itu," dengan terbata dan gugup Nadhira mencoba membela diri.

Heru tersenyum miring.

"Aku tidak sebejat itu," gumam Heru lirih tidak terdengar oleh Nadhira.

"Aku mau langsung tidur saja," ucap Nadhira seraya menundukkan kepala.

"Baiklah jika itu mau mu. Tidurlah," balas Heru dengan ekspresi wajah kecewa.

Nadhira masih bergeming di depan pintu kamar mandi. Wajahnya tampak berpikir seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu dan tidak berani.

Dia menggigit jari telunjuknya seraya melihat Heru yang tengah bersiap untuk berbaring di kursi. Membiarkan makanan di meja tanpa menyentuhnya sedikit pun.

Meski ragu akhirnya Nadhira memberanikan diri bicara.

"Biar, aku saja yang tidur di sofa," ujar Nadhira perlahan. Menghentikan punggung Heru yang semula akan ia rebahkan.

Heru kembali duduk. Menatap Nadhira untuk beberapa saat.

"Tidurlah di kasur, biar aku yang tidur di sofa," ujarnya dengan wajah lesu karena rasa kecewa yang masih menggelayuti. Setelah berkata itu dia langsung membaringkan tubuhnya di kursi, lalu memejamkan matanya.

Beberapa detik Nadhira masih mematung di tempatnya. Dia melihat ke arah Heru untuk beberapa saat. Dia tahu orang itu pasti kecewa. Tapi dia bisa apa. Nadhira hanya terlalu takut.

Nadhira kemudian berjalan menuju tempat tidur. Namun dia tidak tidur, dia hanya duduk di tepi kasurnya. Bagaimana dia bisa tidur, itu juga terasa menakutkan.

Meski mengantuk dia memaksakan diri untuk tidak tidur. Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menahan matanya agar tidak terpejam. Ia pun menghela nafas dalam. Itu terasa melelahkan bagi Nadhira.

Heru yang mendengar helaan nafas dalam Nadhira membuka matanya lalu bangun dari tidurnya. Dia menghembuskan nafasnya kasar dari mulutnya. Heru benar-benar gusar.

"Apa sekarang kau juga menahan diri untuk tidak tidur karena merasa takut?" tanya Heru lalu menyeringai.

Nadhira tidak menjawab. Dia terlalu malu dan tidak berani untuk menjawabnya.

Melihat itu Heru sungguh merasa frustasi. Dia kemudian menghembuskan nafasnya kasar.

"Baiklah, lakukan apa pun yang kau mau."

Heru yang merasa frustasi membaringkan tubuhnya lagi dan memejamkan matanya.

Satu jam, dua jam, dan tiga jam pun berlalu. Nadhira yang benar-benar sudah mengantuk tidak bisa menahan matanya lagi agar tetap terbuka.

Dengan posisinya yang duduk dia tertidur. Sesekali dia terbangun saat kepalanya miring dan akan terjatuh. Meski dia berusaha bertahan, tapi begitulah seterusnya.

Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Heru yang terbangun mendudukkan tubuhnya. Helaan nafas dalam kembali ia hembuskan saat dia melihat Nadhira yang tertidur dalam duduknya.

"Hah, dia benar-benar keras kepala," umpatnya seraya menatap Nadhira. Heru kemudian tersenyum.

"Meski membuatku kesal, tapi dia juga lucu. Aku baru menemukan orang seperti di..." belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Heru bergegas berlari menghampiri Nadhira yang tubuhnya tampak akan terjatuh.

Sebelum Nadhira benar-benar terjatuh, telapak tangan Heru terlebih dulu menangkap wajah Nadhira dari samping hingga tubuhnya tidak jadi terjatuh di kasur.

Suasana hening. Senyum Heru muncul mengembang sempurna saat menatap Nadhira dari jarak dekat.

Beberapa lama posisi tetap seperti itu.

"Aku tidak tahu, kenapa kau bisa benar-benar memikat hatiku sedalam itu padahal kau adalah orang asing," gumam Heru kemudian tersenyum lagi seraya terus menatap Nadhira.

Detik terus berjalan berubah menjadi menit dan berganti menjadi jam. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi.

Nadhira terbangun. Dia terkejut saat mendapati dirinya tidur lurus dengan selimut menutupi tubuhnya. Perasaannya sudah berkecamuk dan takut. Pikirannya menerka-nerka apa yang telah terjadi.

Heru yang baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat gelagat Nadhira yang khawatir segera membuka suara.

"Jangan khawatir. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya membaringkan mu saja, karena tadi malam kau tampak akan terjatuh."

"Apa itu benar." Nadhira memastikan karena belum sepenuhnya percaya.

Heru memejamkan matanya seraya menghela nafas pelan.

"Dasar, kau ini benar-benar..." Heru tak melanjutkan kalimatnya. Dia benar-benar jengah.

Heru kesal. Sedang Nadhira menghela nafas lega.

***

Heru melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Suasana di dalam mobil sangat canggung, tak ada kata yang terlontar dari keduanya. Mereka diam seribu bahasa.

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Tanpa memberi aba-aba, Heru menepikan mobilnya di depan sebuah kafe.

"Kenapa berhenti?" tanya Nadhira heran.

"Kita mampir dulu ke kafe, bukankah dari kemarin kau belum makan."

Benar. Mendengar kalimat itu Nadhira baru sadar bahwa ia belum makan apa-apa dari kemarin. Ia juga sontak menoleh pada Heru. Dia juga merasa bersalah padanya. Karena gara-gara dia tidak mau makan, Heru juga tidak jadi makan.

Mereka kini sudah berada di kafe dengan sebuh menu sarapan yang sudah tersaji di depan mereka.

"Ayo makanlah! Aku sengaja membawamu ke sini untuk sarapan, karena kau pasti tidak mau sarapan di kamar, kan?" ucap Heru membuka percakapan.

Rasa bersalah Nadhira semakin mengembang di dadanya.

"Maaf jika sudah membuat Bapak tersinggung. Dan maaf juga, karena aku, Bapak juga jadi tidak makan semalam," ucap Nadhira tulus.

Mendengar itu sontak membuat Heru menaruh pisau dan garpu nya bersamaan di atas piring, lalu menatap lekat-lekat Nadhira hingga membuat Nadhira khawatir sekaligus gugup.

"B..bapak marah?"

"Berhenti memanggilku Bapak." Tegas Heru.

"Tapi.."

"Panggil saja aku Heru."

"Baiklah," jawab Nadhira singkat. Dia kemudian memfokuskan perhatiannya lagi pada sarapannya.

"Tapi omong-omong, aku juga ternyata belum tahu namamu," lanjut Heru menghentikan kunyahan nya.

"Ah, benar," sahut Nadhira menghentikan pisaunya yang tengah memotong roti yang ada di piringnya.

"Namaku Nadhira. Panggil saja Nadhira," lanjutnya memberitahukan namanya.

"Nadhira. Baiklah," lanjut Heru tersenyum.

Dalam hati dia sangat bahagia karena dia sudah tahu nama wanita yang berhasil memikat hatinya.

"Aku benar-benar minta maaf soal semalam. Aku tidak bermaksud menuduh mu jahat, aku sungguh hanya takut. Ku harap kau tidak benar-benar tersinggung." Pinta Nadhira tulus.

"Ah sudahlah, jangan dipikirkan. Aku bisa mengerti itu. Kau hanya merasa takut. Kau benar, kita harus waspada dengan orang asing," jawab Heru santai.

"Terima kasih karena sudah mau mengerti." Nadhira merasa lega.