webnovel

14. Pernyataan cinta

Setelah konferensi pers digelar, spontan banyak media yang memberitakan. Tv, bahkan media cetak ramai memberitakan. Bukan hanya acara berita, bahkan acara gosip pun menayangkan dan membahasnya.

Di sela-sela break nya melakukan pemotretan, Ilham menyaksikan konferensi pers itu di media sosial. Tiap kali dia melihat Nadhira bicara Ilham selalu tersenyum.

Di tempat lain, Lili yang libur bekerja dan hanya malas-malasan menonton televisi membelalakkan mata dengan mulut ternganga lebar saat menyaksikan acara gosip yang menayangkan konferensi pers itu. Lili bahkan sampai menjatuhkan remote yang sedang dia pegang ke lantai.

Setelah tersadar dari keterkejutannya, Lili segera berlari ke kamarnya. Mencari hp yang dia tempatkan sembarangan di kasurnya.

Dengan nafas yang sedikit terengah-engah Lili lalu segera menelepon Nadhira.

"Hei, apa yang sebenarnya terjadi? Apa maksud berita di tv itu?" Cecar Lili dengan rasa penasaran yang menggebu ketika telponnya baru diangkat Nadhira.

Sedang dari balik telepon Nadhira beberapa saat tidak menjawab.

"Jawab Nadhira!"paksa Lili dengan nada gemas seraya menggerakkan tubuhnya karena kesal.

"Ya, seperti yang kau saksikan. Seperti itulah," jawab Nadhira lemah dari balik telepon.

Lili terkejut. Dia diam untuk beberapa saat. Dia membutuhkan waktu untuk benar-benar bisa mencerna semuanya.

"Halo, Li, Li.."

Karena keterkejutannya Lili belum bisa menjawabnya.

Lili adalah sahabatnya sejak SMA, dialah teman Nadhira satu-satunya. Meski Nadhira pendiam dan tidak pernah bercerita, namun hubungan mereka lumayan akrab. Lili sedikit pun tak pernah memaksa Nadhira untuk bercerita atau menceritakan sesuatu tentangnya. Itulah yang membuat Nadhira merasa nyaman hingga menjadi dekat dengannya.

Namun kali ini bukan Nadhira tidak mau bercerita, dia hanya membutuhkan waktu karena dia sendiri juga terkejut dan seolah masih tak percaya.

Setelah beberapa saat Nadhira kembali menghubungi Lili dan menceritakan semuanya. Karena hal itu pula dia berhenti dari pekerjaannya.

***

Dari luar terdengar pintu kamarnya diketuk.

"Nad, ayo cepat! Kita hampir terlambat. Kakek tunggu kau di depan."

"Iya, Kek," jawab Nadhira dari dalam seraya mengenakan sepatu flatnya dengan terburu-buru. Dia kemudian berdiri di depan cermin dan sedikit merapihkan rambutnya, menyambar tasnya yang ada di kasur kemudian segera keluar dari kamarnya. Dia lalu berlari menuruni anak tangga.

"Kita berangkat sekarang?" tanya kakeknya saat Nadhira sudah berada di sampingnya.

Nadhira mengangguk dengan nafas yang masih sedikit terengah-engah.

***

Nadhira dan kakeknya sudah berada di tempat makan bersama dengan keluarga Heru.

"Tante senang bisa bertemu langsung denganmu. Tante sudah melihatmu di konferensi pers itu. Sangat cantik dan anggun. Melihatmu dari tv saja sudah tampak kalau kau pasti orang baik," ujar mama Heru saat sudah duduk di satu meja.

Nadhira tersenyum menanggapi. Menghargai pujian itu. Sesaat Heru melirik Nadhira dan tak mampu menyembunyikan senyumnya.

Saat melihat Nadhira, Heru tidak bisa tidak terpesona.

"Selama ini kau pasti sudah banyak mengalami kesulitan," lanjut mama Heru kali ini sambil menggenggam tangan Nadhira.

"Benar. Ini salahku. Seharusnya aku tidak percaya begitu saja saat dia nyatakan meninggal. Seharusnya aku mencarinya lebih keras lagi," sahut Pak Joko dengan raut wajah sendu.

"Ah, Bapak tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Aku tahu waktu itu Bapak sudah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan semua tim terbaik untuk mencarinya," sangkal papa Heru.

Pak Joko tersenyum meski dengan raut wajah sendu yang belum bisa ia enyah kan.

"Itu benar. Kakek tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Lagi pula lihatlah!" Nadhira menjeda kalimatnya. Lalu tersenyum lebar ke arah kakeknya.

"Nadhira tumbuh dengan sangat baik, kan?" lanjut Nadhira berusaha menghibur kakeknya.

Mendengar itu dari mulut Nadhira Pak Joko merasa sedikit terhibur, meski rasa sakit dan rasa bersalah belum sepenuhnya hilang dari hatinya.

"Jadi Nadhira berharap, Kakek tidak lagi menyalahkan diri sendiri. Bagi Nadhira, sudah bisa melihat Kakek sekarang sehat saja, itu sudah lebih dari cukup," tambah Nadhira disertai senyuman.

Pak Joko tidak bisa lagi menahan air matanya. Air matanya yang menitik dengan cepat segera diusapnya.

Papa dan mama Heru yang menyaksikannya hanya bisa tersenyum haru melihat betapa bijaksananya Nadhira. Mereka kagum.

Dan Heru, sedikit pun dia tidak bisa memalingkan tatapannya dari wajah Nadhira.

Semakin banyak melihat dan mengenalmu, membuat Heru semakin jatuh cinta.

Mama Heru tersenyum saat melihat putranya terus memandangi Nadhira. Lalu tidak berapa lama mamanya menyikut lengan Heru yang kebetulan duduk di sampingnya.

"Jaga pandanganmu Her, jangan sampai membuat Nadhira takut," bisik mamanya dengan sedikit mencondongkan kepalanya ke arah Heru.

Heru yang terkejut karena baru tersadar dari lamunannya menjadi salah tingkah. Dia memalingkan wajahnya dari mamanya dengan gestur tubuh canggung. Mamanya yang melihat itu hanya bisa tersenyum lucu.

Heru tertangkap basah oleh mamanya.

Setelah Pak Joko meminta maaf karena telah membuat suasana menjadi tidak menyenangkan, seorang pelayan datang dengan membawakan makanan yang sudah dipesan.

Makan malam pun berlangsung dengan sesekali canda tawa menghiasi, membuat susana lebih cair dari sebelumnya.

Namun, Nadhira terpaksa harus pulang dengan Heru, bukan dengan kakeknya.

Di saat acara makan malam berlangsung, secara kebetulan kakek, papa, dan mama Heru secara bersamaan harus meninggalkan acara makan malam karena suatu urusan yang mendesak dan sangat penting. Dan karena acara makannya baru saja dimulai, Pak Joko menyuruh Heru dan Nadhira untuk tetap tinggal di sana, melanjutkan makannya.

Membiarkan mereka berdua di sana.

***

Heru dan Nadhira sudah duduk bersebelahan di dalam mobil.

Seperti biasa Nadhira yang merasa canggung hanya diam saja.

Heru pun ikut merasa canggung. Dia menoleh pada Nadhira sebentar lalu kembali mengalihkan pandangannya lagi ke depan. Dia bingung harus memulai pembicaraan seperti apa.

Heru dengan ragu menoleh lagi.

"Mau langsung pulang?" tanya Heru membuka percakapan.

Nadhira menoleh, lalu mengangguk seraya tersenyum.

Heru mengarahkan pandangannya ke depan dan kemudian menghela nafas sebelum dia mengutarakan keinginannya.

"Apa... sebaiknya kita jalan-jalan sebentar? Ada tempat bagus di sekitar sini." Saran Heru dengan nada ragu.

"Begitu kah? Tapi aku takut kakek menungguku di rumah," balas Nadhira canggung.

"Jika kau tidak keberatan, aku akan menghubungi kakek mu," jawab Heru.

Nadhira diam. Berpikir dengan perasaan tak enak.

***

Wajah Nadhira tampak sumringah dengan senyum yang mengembang saat melihat area sekitar yang indah karena cahaya lampu yang warna-warni menghiasi setiap wahana.

Melihat ekspresi Nadhira, Heru ikut tersenyum senang. Dia tidak salah membawa Nadhira ke pasar malam. Pikirnya.

Di sana suasana sangat ramai. Banyak orang dan juga jajanan yang dijajakan. Banyak juga wahana yang tersedia. Namun saat Heru mengajaknya untuk menaiki beberapa wahana Nadhira dengan cepat menolak dengan mengangkat kedua telapak tangannya dan menggoyangkannya tak tentu arah. Heru jadi bingung dibuatnya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan di sana.

Sampai akhirnya Heru melihat arah pandang Nadhira yang begitu fokus pada segerombolan orang-orang yang tengah mengantri untuk membeli telur gulung. Heru pun tersenyum.

Setelah menunggu antrian yang lumayan lama, akhirnya Heru dan Nadhira mendapatkan telur gulung juga.

Hunting makanan kemudian terus berlanjut. Setelah telur gulung, sosis bakar pun diburu, lalu baso tusuk, juga jagung keju. Dan sebagai penutup Heru membelikan Nadhira eskrim.

"Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku sangat senang dan menikmatinya," ucap Nadhira setelah melahap satu kali eskrim nya.

Heru tersenyum.

"Kau tidak perlu mengatakan itu. Aku yang senang karena kau menikmatinya. Padahal awalnya tadi aku sudah khawatir kau tidak menyukainya."

Nadhira menoleh kemudian tersenyum tak enak hati.

Tanpa diduga seseorang yang tidak tahu dari mana datangnya tiba-tiba menabraknya hingga membuat Nadhira terkejut dan eskrim yang dipegangnya terjatuh hingga mengenai bajunya.

"Hei, kau..." seru Heru pada orang itu yang terus berjalan tanpa meminta maaf dulu pada Nadhira.

"Sudahlah. Aku tidak apa-apa," sergah Nadhira cepat menghentikan Heru.

"Tapi lihat sekarang, bajumu jadi kotor."

"Benar. Tapi sudahlah, mau gimana lagi," sahut Nadhira dengan kepala menunduk dan wajah tampak lesu seraya membersihkan bajunya.

Heru melepaskan jasnya lalu tanpa diduga memakaikannya di bahu Nadhira yang masih menunduk, membuat Nadhira terkejut hingga menghentikan tangannya yang tengah membersihkan bajunya.

"Kau tidak perlu..." kata Nadhira pelan setelah mengangkat kepalanya."

"Jangan menolak! Jika tidak kau akan menjadi pusat perhatian banyak orang," terang Heru seraya merapihkan jas yang ia pakaikan di tubuh Nadhira.

Nadhira hanya bisa menghela nafas setelah Heru selesai merapihkan nya.

Tepat setelah itu kembang api mekar indah di langit.

Nadhira mendongakkan kepalnya, kemudian disusul Heru dalam beberapa detik kemudian.

Kembang api silih berganti mekar dan pergi. Terus seperti itu sampai beberapa menit ke depan.

"Itulah fungsinya kegelapan, untuk membuat keindahan tampak dengan jelas," gumam Nadhira seraya memandang kembang api yang cantik terus mekar di atas langit.

Heru yang mendengar itu memalingkan tatapannya dari kembang api beralih ke Nadhira.

Tatapannya lekat memandang Nadhira dari samping.

***

Heru dan Nadhira kini sudah meninggalkan pasar malam. Berjalan bersisian di trotoar. Dengan memakai jas Heru, Nadhira terus berjalan tanpa kata.

"Apa duniamu dulu segelap langit malam?" Tanya Heru membuka percakapan.

Nadhira yang mengerti maksud Heru mendongakkan kepalanya ke atas sambil terus berjalan.

"Tidak, tidak segelap itu."

"Apa sekarang duniamu menjadi sedikit lebih terang setelah bertemu dengan kakek mu?" lanjut Heru.

"Entahlah," jawab Nadhira seraya terus berjalan.

Tanpa mereka sadari, di depan terdapat pesepeda yang mengayuh sepedanya cukup kencang dan tampak tak mampu mengendalikannya.

Dalam jarak yang sudah dekat barulah Nadhira dan Heru menyadarinya.

Dan dalam jarak yang sudah semakin dekat itu, Nadhira yang terkejut tidak bisa mengelak lagi dan hanya bisa membelalakkan matanya dengan mulut sedikit menganga. Tubuhnya terpaku di tempat.

Dalam persekian detik saat sepeda akan menerjang Nadhira, Heru yang melihat itu dengan sigap segera menarik tubuh Nadhira ke dalam pelukannya ke arah kanan trotoar.

Untuk beberapa detik posisi tetap seperti itu. Di dalam pelukan Heru tubuh Nadhira membeku.

Tanpa sadar, tangan Heru yang berada di punggung Nadhira bergerak. Heru berniat mengeratkan pelukannya. Namun saat dia sadar dia menghentikan niatnya itu.

Dengan menahan perasaannya Heru melepaskan pelukannya. Suasana menjadi canggung. Beberapa kali heru memalingkan pandangannya ke arah samping seraya memilin bibirnya. Sedangkan Nadhira mengarahkan pandangannya ke bawah, sangat gugup tak karuan.

"Ma...maaf, aku... hanya ingin menghindarkan mu dari sepeda yang akan menerjang mu tadi," ucap Heru dengan gagap karena masih diliputi kecanggungan.

"Oh, i..iya, aku mengerti," sahut Nadhira tergagap pula.

"K..kalau begitu ayo kita pulang," lanjut Nadhira masih tergagap seraya menunjuk ke depan.

Tanpa menghiraukan Heru, Nadhira mulai berjalan, meninggalkan Heru yang masih terdiam di tempat.

Di tempatnya Heru menghela nafas. Dia kemudian membalikkan tubuhnya. Menatap punggung Nadhira yang berjalan.

"Aku menyukaimu," seru Heru menghentikan langkah Nadhira.

Heru menghela nafas. Masih menatap Nadhira dari belakang.

"Aku sudah menyukaimu bahkan di saat pertemuan pertama kita waktu itu di toko."

Nadhira yang mematung meremas dress bagian bawahnya.

"Aku tahu kamu sudah punya seseorang yang kamu cintai, karena itu sejak aku tahu aku berusaha melupakanmu." Heru diam sejenak. Menunduk.

Nadhira masih mematung. Bingung. Tidak tahu harus bagaimana.

"Tapi apakah kamu tahu? Semakin aku berusaha melupakanmu..."

Heru diam lagi. Mendongakkan kepalanya ke atas seraya menghela nafas dalam.

"Aku justru semakin menyukaimu. Dan itu membuat hatiku terasa sangat sakit," sambungnya seraya menatap punggung Nadhira lagi.

Nadhira menggigit bibir bagian bawahnya, lalu menghela nafas dalam.

"Sepertinya, aku tidak bisa melupakanmu."

Mendengar kalimat itu Nadhira memejamkan matanya. Sedikit meringis. Dia bingung sekaligus merasa bersalah.

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Sama-sama bergeming di tempatnya.

Aku tahu, aku tidak bisa menyalahkan siapa pun di sini. Tak ada yang bisa menduga jika tentang hati. Dan rasa kadang hadir tak bisa dikendalikan. Yang ku sesali hanyalah, aku tidak bisa membalasnya dan hanya membuatnya terluka. Maaf, aku pun tak berdaya. Batin Nadhira.