webnovel

13. Konferensi pers

Di ballroom hotel para wartawan sudah siap di mejanya masing-masing dengan laptop yang menyala.

Di sana suasana tampak sibuk. Entah itu disebabkan oleh bincang-bincang sesama rekan wartawan, atau para panitia yang terus berkoordinasi mau pun mondar-mandir untuk menyiapkan acara. Kamera pun sudah ada di mana-mana. Siap memotret.

Di ruang tunggu Nadhira tampak tegang, terus menghela nafasnya untuk menghilangkan kegugupan yang sedang menderanya.

Nadhira menggunakan gaun putih dengan perpaduan brokat dan tulle yang panjang melewati lututnya.

Dengan gaya make up ala korean style dan rambut yang dibiarkan tergerai dan dibuat sedikit bergelombang membuat Nadhira tampak bersinar dan sangat cantik meski sekarang sedang cemas, berdiri di depan cermin dengan terus menghela nafas dan mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

Heru yang hendak masuk ke dalam ruangan itu menghentikan langkahnya di depan pintu saat melihat pantulan Nadhira dari cermin yang ada di dalam.

Matanya menatap lekat Nadhira tanpa berkedip sedikit pun, mulutnya pun sedikit ternganga.

Untuk beberapa saat Heru bergeming di sana. Terpesona oleh kecantikan Nadhira yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.

Setelah beberapa saat Heru berusaha menyadarkan dirinya. Menghela nafas kasar untuk mengendalikan perasaannya lalu masuk ke dalam menghampiri Nadhira.

Di sana Nadhira masih terus menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Seperti itu terus menerus.

Heru yang melihatnya dibuatnya tersenyum. Nadhira tampak sangat lugu.

"Apa kau sangat gugup?"

Suara yang terdengar membuat Nadhira membalikkan tubuhnya. Nadhira tersenyum seraya mengangguk.

Heru tersenyum.

"Rasa gugup merupakan respons tubuh terhadap sesuatu yang mengganggu pikiran. Menurut studi yang dilakukan pada tahun 2014 menunjukkan, berbagi perasaan dengan orang lain, dapat mengurangi stres dan membuat merasa lebih positif," terang Heru.

"Jadi, maksudmu aku..." jawab Nadhira tak yakin.

"Benar. Jika kau tidak keberatan, berbagilah denganku. Katakan apa yang sangat membuatmu khawatir," lanjut Heru hati-hati.

"Benarkah? Apa itu bisa membantu?"

"Entahlah, tapi kenapa kamu.. tidak mencoba untuk mengetahui jawabannya," usul Heru tak yakin Nadhira akan mengikutinya.

"Baiklah, akan ku coba," sahut Nadhira pelan di dahului dengan menghela nafas. Heru lagi-lagi tersenyum.

Nadhira menunduk, membutuhkan waktu untuk bisa bicara di tengah rasa canggungnya.

Heru melihat pada Nadhira yang menunduk. Heru hanya akan menunggunya. Tidak akan memaksanya.

"Aku sebenarnya takut akan pendapat orang terhadapku. Aku takut, aku hanya akan mempermalukan Kakekku," ucap Nadhira perlahan.

Mendengar kekhawatiran Nadhira, Heru tersenyum.

"Tidak akan. Itu tidak akan terjadi. Di sana kau cukup menjadi dirimu sendiri. Dengan sikap dan kepribadianmu itu, aku yakin kau akan memukai para awak media," ujar Heru penuh keyakinan.

"Benarkah?"

"Sungguh."

Nadhira menghela nafas, "baiklah," sahut Nadhira kemudian.

"Apakah kau sudah merasa lebih baik?"

"hm," jawab Nadhira singkat.

Heru melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Baiklah, kalau begitu ayo kita keluar. Acaranya akan berlangsung sebentar lagi," ajak Heru kemudian mulai beranjak dari tempatnya."

"Tunggu!"

Panggilan Nadhira membuat kaki Heru yang hendak melangkah diurungkan. Heru pun menoleh kembali.

"Ada apa? tanya Heru kemudian.

"Tapi di mana Kakek?"

"Oh. Pak Joko sedang mengurus sesuatu, makanya Pak Joko memintaku untuk membawamu ke ballroom,"

"Oh, baiklah kita pergi sekarang," sahut Nadhira canggung.

Heru berjalan lebih dulu. Sedang Nadhira di belakang.

Namun Nadhira sepertinya ada dalam masalah. Dia yang tidak biasa memakai heels, jadi kesulitan berjalan. Dia harus berjalan pelan-pelan, dan terkadang bahkan hampir terjatuh.

Heru yang sudah sampai di depan pintu ruang tunggu berhenti dan melihat Nadhira sudah sampai di mana. Namun tawa tak bisa ia sembunyikan saat dia melihat Nadhira kesulitan berjalan karena heelsnya. Heru pun lalu berbalik menghampiri Nadhira. Menyodorkan telapak tangannya tepat di depan Nadhira.

"A..apa?" Nadhira tergagap karena gugupnya. Dia tidak mengerti maksud Heru yang menyodorkan tangannya.

"Jika kau kesulitan berjalan, pegang tanganku" ujarnya sambil menggerakkan tangan yang disodorkannya.

"T..tidak usah. Aku bisa jalan sendiri." Tolak Nadhira merasa canggung.

Heru menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.

"Sudah ku duga," gumamnya lirih.

"Apa?" sahut Nadhira yang merasa tidak kedengaran.

"Tidak. Bukan apa-apa," bohongnya kemudian tersenyum.

"Tapi apa kau yakin tidak memerlukan bantuan? Jika kau berjalan seperti itu kau akan lama sampai di sana," terang Heru, kemudian dia menghela nafas frustasi.

"Baiklah, jika kau tidak mau dengan telapak tanganku, aku bisa menawarkan yang lain. Kau bisa melingkarkan tanganmu di lenganku. Atau, jika tidak mau juga, kau boleh memegang jas ku. Silahkan kau pilih yang mana?

Sejenak Nadhira tampak berpikir.

Dan Nadhira akhirnya memilih berjalan dengan memegang erat jas Heru dengan kelima jarinya. Kini Nadhira bisa berjalan lebih baik dari sebelumnya.

Seraya terus berjalan, Heru yang melihat pilihan Nadhira hanya mampu tersenyum sambil menoleh pada Nadhira yang tengah menunduk.

***

Di ballroom, Nadhira, Kakek, sekretaris serta pengacaranya duduk di meja panjang yang ada di depan.

Kilatan cahaya tak henti-hentinya menyorot ke arah Nadhira dan Kakeknya.

Di tempat duduknya para wartawan sudah siap di depan laptop dan menaruh jemarinya di atas keyboard mereka masing-masing.

"Selamat siang. Sebelumya saya mau mengucapkan terima kasih karena telah mau menyambut kami dengan hangat. Dan terima kasih pula karena sudah mau bekerja sama," ujar Pak Joko membuka pembicaraan di depan miknya.

Kilat kamera semakin banyak dan menyilaukan.

"Keberadaan saya di sini adalah untuk berbagi kabar bahagia. Semoga kalian juga bahagia mendengarnya." Pak Joko berhenti sejenak.

"Ya, seperti yang kalian lihat sekarang di samping saya, sebuah keajaiban menghampiri hidup saya. Setelah enam belas tahun menghilang kemudian dinyatakan meninggal, ternyata cucu saya masih hidup dan tumbuh sangat baik dan cantik. Biarkan cucu saya menyapa kalian semua," jelas Pak Joko.

Kilatan cahaya terus menyorot.

Nadhira meremas dress bagian bawahnya. Dia merasa sangat gugup.

Pak Joko yang melihat itu menggenggam tangan Nadhira yang tengah meremas dress nya.

Merasakan itu Nadhira menoleh. Pak Joko kemudian tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pelan pada Nadhira. Seolah berkata jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja.

Nadhira merasakan kehangatan itu. Dia lalu tersenyum pada Pak Joko, lalu menghadapkan wajahnya lagi lurus ke depan. Nadhira menghela nafas pelan. Rasa gugupnya kini sudah mulai mereda.

"Ayo Nadhira, kamu pasti bisa!" gumam Heru lirih di depan pintu masuk ballroom.

Semua mata kini tertuju pada Nadhira. Menunggu Nadhira bicara.

"Hallo, selamat siang. Senang bisa bertemu dengan semua yang ada di sini," salam Nadhira di akhiri dengan sedikit menundukkan kepalanya.

"Sama yang seperti Kakek bilang, keajaiban juga menghampiri hidup saya. Saya tidak pernah menyangka sebelumya, bahwa saya ternyata cucu dari orang yang sangat luar biasa yang sudah sejak lama saya kagumi karena kebaikan dan kemurahatiannya." Nadhira menjeda kalimatnya. Dan Pak Joko menoleh padanya. Merasa terharu.

"Perkenalkan Nama saya, Nadhira Alya Cantika. Saya harap, saya tidak mempermalukan Kakek saya dan merusak nama baiknya. Saya sangat menghormatinya bahkan sebelum saya kenal beliau. Dan saya berharap juga, kalian akan selalu mendukung apa pun yang Kakek saya kerjakan. Sekian, terima kasih." Nadhira menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.

Melihat dan mendengar itu Kakeknya dan juga Heru tersenyum, kagum. Keanggunan yang berbalut ketulusan tampak jelas di wajah Nadhira.

Sementara para wartawan masih tampak serius mengetik di laptopnya.

Sesi tanya jawab pun dibuka. Beberapa wartawan diperbolehkan untuk bertanya.

"Yang saya tahu, nama cucu Bapak dulu adalah Valencia Gardenia. Bagaimana dengan nama itu sekarang? Apa Nadhira akan mengganti namanya menjadi Valencia Gardenia?" tanya salah satu wartawan setelah terlebih dulu menyebutkan nama dan tempatnya bekerja.

"Saya tidak akan mempermasalahkan sebuah nama. Itu terserah cucu saya, memilih nama yang mana yang membuatnya nyaman," jawab Pak Joko tulus.

Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar dari beberapa wartawan lainnya. Adakalanya Pak Joko yang menjawab. Ada kalanya juga Nadhira yang menjawab. Tergantung pertanyaan ditujukan pada siapa.

Namun yang pasti Nadhira menjawabnya dengan lancar. Di setiap kalimatnya terlihat ketulusan yang membuat Nadhira menerima banyak simpati dari para wartawan di sana.

Heru yang terus menyaksikan dari depan pintu ballroom hanya bisa tersenyum lebar seraya menyilang kan kedua tangannya di depan perutnya. Sejak awal Heru sudah bisa menebaknya, bahwa Nadhira pasti akan bisa merebut simpati banyak orang.