webnovel

Eight

"Lelucon macam apa ini? Apa saya keliatan murahan di mata kamu?"

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Wanita itu menatap tajam pria yang duduk di hadapannya. Pria itu balas menatapnya, terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya.

"A-apa...maksud kamu apa?"

Dimas tergagap, mencoba mengembalikan kesadarannya. Dia tidak menyangka kalau Ayu akan bereaksi seperti itu. Benar-benar di luar harapannya.

"Sejak awal saya ini hanya lelucon ya buat kamu? Aneh banget kan, ada cowok kayak kamu ngajak kenalan cewek biasa kayak saya, sampe beliin hadiah mahal.. dan sekarang...ta'aruf?"

Ayu mengernyitkan dahinya beranjak dari duduknya, sementara Dimas yang kembali shock dengan kata-kata yang diucapkan Ayu hanya terdiam sambil menatap wanita itu.

"Saya permisi. Assalamualaikum."

Ayu segera berlalu meninggalkan Dimas. Tubuh pria itu lunglai, seolah jiwanya sudah pergi bersama Ayu. Dia mendesah, perasaannya campur aduk. Dia tahu apa yang dia lakukan tadi terlalu terburu-buru, tapi reaksi Ayu itu di luar dugaan.

Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Kepalanya terasa berdengung. Dadanya sesak. Dia sudah ditolak mentah-mentah. Tapi entah kenapa hatinya menolak untuk mundur.

"Gini ya rasanya ditolak.."

Frustrasi dengan yang baru saja terjadi, Dimas memutuskan untuk pulang. Kejadian tadi lebih menguras tenaga dan pikirannya dari pada rapat seharian di kantor Gubernur.

@@@

"Yu? Ayu?!"

Nadya mengguncang tubuh Ayu yang duduk di sampingnya. Sahabatnya itu sudah melamun sejak awal hingga pertengahan acara. Ayu segera tersadar, menatap Nadya.

"Apaan sih Nad?! Ngagetin aja.."

"Kamu kenapa sih? Kayaknya pas balik dari kantor si Dimas itu kamu jadi ngelamun terus. Ada apa?"Tanya Nadya penasaran. Ayu memang belum mengatakan apapun tentang yang terjadi di kantor Dimas.

"Mmm...ga papa.."Ayu belum siap untuk menceritakannya pada Nadya. Tapi, hanya Nadya lah yang bisa diajak tukar pikiran untuk saat ini. Dia menimbang-nimbang sejenak kemudian menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Nadya menatap sahabatnya. Sepertinya ada sesuatu yang Ayu sembunyikan darinya. Ayu memang tidak pintar berbohong. Semua tergambar jelas di wajah wanita itu. Tapi Nadya tidak mau mendesak Ayu.

"Ya udah.. makan yuk. Temen-temen yang laen udah pada ngantri tuh."

Ayu beranjak mengikuti langkah Nadya menuju ke luar ruangan. Di sana sudah disediakan makanan di atas meja panjang yang diletakkan tak jauh dari pintu keluar. Teman-temannya sudah berkerumun di sana. Makanan disajikan secara prasmanan.

Mereka pergi mengambil piring, kemudian ikut mengantri. Ayu tidak tahu bagaimana acara itu berlangsung. Dia terlalu asik dengan pikirannya sendiri. Ada banyak pertanyaan bergelayut di sana, membuatnya melamun di sepanjang acara.

"Eh liat tuh! Pak Arya!"

Ayu mendengar teman-teman wanitanya berbisik-bisik sambil menunjuk ke arah meja bundar di dekat balkon. Ayu melayangkan pandangannya ke sana. Kursi-kursi kayu berwarna coklat mengelilingi meja itu.

Di sana duduk wajah-wajah familiar yang selalu dilihatnya setiap hari. Ada bu Lina, pak Gito, pak Tommy, bu Agatha, dan.. ada 1 wajah baru di sana.

"Itu siapa Nad?"

Nadya yang sedang mengambil sesendok penuh semur daging segera menghentikan aktifitasnya itu, kemudian menoleh ke arah yang ditunjuk Ayu.

"Ya ampun...jadi kamu selama acara tadi ngapain aja? Itu kan Pak Arya.. kacab baru." Jawab Nadya, melanjutkan menyendok makanan di hadapannya.

Ayu menatap Pak Arya yang sedang berbincang dengan pak Gito. Pria itu masih muda. Dia memakai kemeja putih yang lengannya digulung sampai sikut. Dipadu dengan celana bahan hitam dan sepatu sport putih. Wajahnya juga tampan dan terlihat ramah.

Merasa sedang diperhatikan, Arya menoleh sehingga matanya bertemu dengan mata Ayu. Wanita itu segera memalingkan wajahnya, pura-pura sibuk mengambil makanan. Arya tersenyum melihat Ayu yang salah tingkah. Dia terus menatap wanita itu, mulai dari meja prasmanan sampai wanita itu duduk di meja bundar lain di seberang meja Arya.

"Di sini banyak karyawan yang masih muda ya."ujar Arya sambil sesekali melirik meja di seberang.

"Iya.. pas kan dengan kamu, Lina, Tommy, dan Agatha."balas pak Gito sambil membetulkan posisi duduknya.

"Ada beberapa karyawan senior. Tapi hanya 3 sampai 4 orang. Itu mereka masa kerjanya sudah di atas 10 tahun. Nah, kalo yang duduk di meja itu mereka rata-rata masa kerjanya sudah di atas 5 tahun. Jadi untuk proses kerja kamu udah ga perlu khawatir. Mereka semua sudah tahu tanggung jawab masing-masing. Cukup diarahkan saja biar tetap on track.. Dan kamu harus pintar bergaul dengan mereka." Jelas pak Gito panjang lebar.

Arya mengangguk, mendengarkan penjelasan seniornya dengan seksama. Arya sudah bekerja 7 tahun di perusahaan ini dan sudah pernah memegang beberapa jabatan berbeda. Tapi ini pertama kalinya dia menjabat sebagai kepala cabang. Ini tantangan baru baginya. Apalagi dia harus bisa merangkul seluruh karyawan di kantor. Itu bukanlah hal yang mudah.

"Terima kasih buat penjelasannya bang. Awalnya saya ragu saat diminta pindah ke sini karena saya memang ga pernah ke Manado kan. Tapi pas nyampe dan ketemu teman-teman, rasanya saya akan betah di sini.."

"Bagus kalo gitu. Kamu pasti cepetlah adaptasinya."ujar Tommy sambil menepuk pundak Arya. Pria itu tersenyum, lega dengan sambutan hangat dari teman-teman barunya. Tapi dari sekian banyak orang yang ada di sana, sosok wanita itu lah yang paling menarik perhatiannya.

Wanita berhijab yang tadi menatapnya dengan mata bulat indahnya itu sedang memainkan makanan di piringnya. Sepertinya wanita itu sedang memikirkan sesuatu.

"Yu! Kok ga dimakan sih?!"

Ayu menoleh ke arah Nadya yang sudah menghabiskan isi piringnya.

"Ga nafsu makan."

"Tumben..biasanya kalo ada acara kantor kayak gini kamu semangat banget.. ini kok lemes.. emangnya abis diapain kamu sama Dimas?"

Ayu berhenti memainkan makanannya. Tangannya yang memegang sendok menggantung di udara. Dia menatap Nadya yang penasaran dengan perubahan sikapnya itu.

"Sebenarnya..."Ayu meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. Kemudian melanjutkan dengan setengah berbisik.

"Tadi...Dimas... dia... "

"Iya.. Dimas kenapa?"putus Nadya tak sabar. Kalo sampai pria itu melakukan hal yang tidak-tidak pada sahabatnya dia tak akan membiarkan pria itu hidup tenang.

"Dia... ngajak.."

Nadya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya terbelalak, telinganya bersiap untuk mendengarkan kelanjutan cerita Ayu.

"Dimas ngajakin aku ta'aruf..." Ayu menyelesaikan kata-katanya. Sementara Nadya mencoba mengendalikan dirinya setelah mendengar kata-kata sahabatnya.

"Ta'aruf..? Trus, trus.. kamu terima?"

Ayu menggeleng pelan. Nadya membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu tapi otaknya masih berusaha memilih kata-kata yang pas untuk dikatakan.

Ayu menolak pria seperti Dimas?! Yang bener aja!

"Kenapa?"hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Pantas saja sejak tadi Ayu melamun dan terlihat tidak fokus.

"Kita baru kenal. Mana tahu dia itu pacar atau suami seseorang kan? Trus dia sedang bosan dan butuh teman buat have fun di sini."

Nadya ternganga mendengar jawaban Ayu. Tapi Benar juga. Mereka baru kenal.

Bukankah terlalu cepat untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius? Bukankah ta'aruf itu biasanya dilakukan sebelum menikah? Berarti Dimas mau nikah sama Ayu dong? Wahh..hebat juga si Ayu. Ujarnya dalam hati.

"Bentar deh.. dia kerja di Gedung Keuangan kan?" Tanya Nadya memastikan. Ayu mengangguk.

"Pamanku juga kerja di situ. Nanti aku tanyain deh. Kamu pokoknya tenang aja ya. Aku bakal bantu kamu untuk cari tahu si Dimas Dimas itu."Nadya menepuk pundak Ayu. Tapi sahabatnya itu menggelengkan kepalanya.

"Kalo pun dia single, dia itu terlalu sempurna buat aku Nad. Kita itu kayak Ayla sama Lamborghini. Jauh banget bedanya. Cowok kaya Dimas itu bisa dengan mudah bikin aku jatuh cinta sama dia, dan bisa dengan mudah nyakitin aku juga. Aku ga mau ah."

Nadya mendengus, mengambil gelas berisi air di depannya kemudian meminumnya sampai tandas.

"Ayla sama Lamborghini kan sama-sama mobil. Sama-sama jalan di aspal. Kenapa kamu harus minder kayak gitu sih? Kalo dia berani ngomong kayak gitu ya berarti ada sesuatu di kamu yang bikin dia tertarik kan.."

Ayu terdiam, memproses kata-kata sahabatnya itu. Memang benar. Tapi dia tidak mau mengambil resiko. Sudah cukup lah hatinya disakiti oleh pria-pria yang dulu pernah dekat dengannya.

Mereka yang akhirnya meninggalkan dia untuk menikah dengan wanita lain. Kalo sampai terjadi lagi, lebih baik dia melajang seumur hidup.

"Yu..sekuat apapun kamu nolak, kalo emang udah waktunya, yang datang akan tetap datang. Mungkin dia itu jawaban dari doa-doa kamu selama ini.. kenapa ga kasih kesempatan dulu untuk saling kenal satu sama lain?"Nadya melanjutkan.

Ayu termenung memikirkan kata-kata Nadya.

Mungkin benar kalau pria itu adalah jawaban dari doa-doanya selama ini.

Kalau memang seperti itu, penderitaannya selama ini akan hilang tak berbekas. Dia akan dengan mudah melupakan kesialan demi kesialan yang menimpa hidupnya.

Tapi, bagaimana kalau ternyata pria itu hanyalah cobaan hidup lain yang akan membuatnya jera dan enggan untuk melanjutkan hidup?