webnovel

Adik Malangku Sayang (19)

Seharian ini Dirman menatap langit yang biru di matanya. Mungkin biru juga di mata semua orang? Tanda-tanda ia kembali ke masa lampau adalah langit yang warnanya sepia, mungkin hanya di matanya semata. Dirman ingin bertanya, tetapi khawatir dianggap kurang waras.

Kebetulan hari ini, Dirman dapat perhatian khusus dari Peter Pan, rekan kerjanya di Sekolah Jaya Mada yang keramat. Buku tak jelas juntrungannya itu, Fate Grant Order bersarang di situ. Keajaiban buku yang mestinya mustahil, mengabulkan kemauan Dirman mengoreksi masa lalunya. Nyatanya, masa lampau bisa kembali disambangi olehnya, seperti ketika Dirman kembali berusia 13 tahun dan lalu menyelamatkan kakaknya dari kematian di usia remaja.

"Man, elo liatin ke langit terus. Napa? Ada duit jatuh dari langit? Apa ada orang jatuh dari angkasa, gitu?" Peter Pan menghujani Dirman dengan cecaran banyolan konyol.

"Bukan, Pet. Itu warna langit biru apa, ya?"

"Jelas biru, lah. Masak warnanya merah? Nanti dikiranya dah mau kiamat, dong."

"Wait. Wait, elo mau nanya gue, ini hari dan tanggal berapa, betul gak?" Peter Pan memotong, ogah berbasa-basi yang katanya busuk.

Untungnya kali ini Dirman merasa penanggalan cocok dengan ingatannya, dan sepertinya ia berada di masa kini yang nyata. Kakak tersayangnya masih hidup, karena di almanak rumahnya Dirman mencatat tanggal kunjungan ke pusat perawatan terpadu, juga ada jadwal mengingatkan sang bibi bidan untuk membayarkan biaya bulanan perawatan Izinuddin, kakak Dirman.

"Gue cuma mau nanya, elo ultah ya hari ini?" Dirman menodong Peter Pan yang kontan tersedak pisang goreng favoritnya.

Jam istirahat siang ini, Dirman dan Peter Pan bercengkerama di bawah pohon sawo rindang. Sawo-sawo matang baunya enak, meski ada yang bilang hawa kleniknya menakutkan. Yang ada di pikiran Dirman, kakaknya Izinuddin gemar makan jus sawo sedari kecil. Namun, Dirman tak tahu apakah pihak pusat perawatan sudah menyediakan jatah sawo atau belum.

Masih batuk-batuk, Peter Pan menggebuk bahu Dirman. "Sejak kapan elo perhatian ama ultah temen. Elo kesambet, Man? Bukannya elo tuh pelitnya setengah mate?"

Pelit atau hemat, ya? Kalau menurut Dirman sih, dia prihatin. Terpaksa jadi pelit karena keadaan menuntut demikian. Kalau ia berpunya, mungkin ia pun tidak akan pelit. Kan sifat dasarnya lumayan murah hati dan penolong? Bisa jadi, teman biasa macam Peter Pan pun sudah ditraktirnya makan enak di restoran Prancis, kalau kebetulan Dirman berulang tahun.

"Pelit itu pangkal kaya, Pet." Dirman menjawab sekenanya saja.

"Kaya monkey. Kaya monyet, maksud gue. Kalo pelitnya gak ada duit, mau kaya dari mana. Orang pelit bisa banyak duit tuh karena emang dasarnya ada duit. Kalo kayak kite, apanya bisa kaya. Duitnya tahu tuh di mana."

Masuk akal sih, memang. Miskin selamanya akan miskin, biar kamu pelit pun takkan membantu. Paling-paling cuma survive doang. Emangnya dengan pelit, duitmu bisa datang sendiri? Lagi, Dirman dihantui besaran biaya perawatan Izinuddin, yang mungkin akan dibayarnya kelak setelah bibinya tak sanggup lagi bekerja.

"Seandainya duit bisa dipetik kayak daun, alangkah enaknya ya, Pet." Dirman menengadah, berkhayal pada kerimbunan daun sawo.

"Malah gak enak. Nanti semua orang punya duit banyak, gak terbatas. Akhirnya duit jadi kagak ada nilainya lagi. Ogah ah, jadi gak lucu entarnya. Misalnya Bu, saya beli pisang goreng harganya berapa daun, ya?"

Lagi-lagi Peter Pan benar pikirannya. Dirman mengusap dada, berusaha tak kentara menyesali diri. Kemudahan instan mendatangkan mudarat belaka, karena sudah banyak kasusnya, mereka yang kaya secara gampang akhirnya dicelakai hartanya sendiri. Semuanya harus berproses, seperti masukan dari Pak Dewan, kepsek baik yang kebapakan itu.

Mengapa proses itu selalu menyakitkan, terutama bagi orang miskin dan tak terdidik seperti Dirman dan Peter Pan? Ah, proses apa pun yang dijalaninya, hanya seperti membakar tenaga saja. Akhirnya cuma jadi abu dan debu. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Bagi orang tak berpunya, berproses itu akhirnya tetap menyesakkan. Unggul ataupun kalah bersaing, tetap saja tidak berakhir dengan bahagia.

Dirman tidak sebatang kara, tapi malah dipusingkan biaya perawatan kakaknya. Berproses memang menyakitkan buat orang yang tak punya apa-apa, ya?

danirasiva80creators' thoughts