webnovel

Surga, Si Nenek Pendoa, dan Negeri Allemant

Semilir angin sepoi-sepoi meniup rambut hitam panjangnya Putri Olivia tatkala dia berjalan di atas pasir putih pantai Loka sendirian, sedangkan Pangeran Matius berdiri dengan melipat kedua tangannya hanya memandang istri cantiknya yang berhidung mancung itu sambil sesekali melihat deburan-deburan ombak sedang menghantam sebuah deretan batu karang dan burung-burung camar sedang mencari ikan di atas ombak-ombak yang sedang bergulung-gulung.

Di dasar pantai Loka itu tampak jelas terumbu-terumbu karang dan beberapa jenis ikan yang sedang berenang di atasnya, karena airnya sangat jernih. Sebuah kereta kuda yang tadi dinaiki Pangeran Matius dan Putri Olivia dan kuda-kuda prajurit berkuda pengawalnya telah terikat di beberapa pohon kelapa. Seorang prajurit pengendara kereta kuda dan prajurit-prajurit pengawalnya menunggu Pangeran Matius dan Putri Olivia di dekat kuda mereka masing-masing yang telah terikat tersebut.

Kini, Putri Olivia sedang mengajak suaminya bersenang-senang di pasir putih pantai Loka dengan saling berkejaran. Dia sekarang menyiprati Pangeran Matius dengan air pantai, lalu Pangeran Matius mengejarnya lagi dengan keduanya tertawa terbahak-bahak hingga Pangeran Matius berhasil menangkapnya. Kemudian, Pangeran Matius memeluknya, lalu mengangkatnya berputar-putar sambil keduanya saling memandang dan tertawa bahagia bersama.

Saat Pangeran Matius menurunkan Putri Olivia perlahan-lahan sambil masih memeluknya, dia menatap kedua mata istrinya itu dengan cinta yang tulus, lalu dia membelai-belai rambut hitam panjangnya yang indah. Tidak beberapa lama kemudian, keduanya saling berciuman di atas pasir putih pantai Loka. Setelah itu, Pangeran Matius membelai-belai rambutnya lagi, lalu mengecup keningnya dengan perasaan cinta yang dalam kepadanya.

Tiga dari lima prajurit hanya tersenyum saja kala menyaksikan Pangeran Matius berciuman dengan Putri Olivia, sedangkan beberapa prajurit yang lainnya sedang asyik mengobrol sambil berjaga-jaga dan mengawasi keadaan di sekitarnya. Tidak beberapa lama kemudian, sunset tiba. Pangeran Matius dan Putri Olivia sekarang menikmatinya dengan duduk berdekatan di atas pasir putih pantai Loka. Kala itu, Putri Olivia menyandarkan kepalanya di atas bahu suaminya itu dengan manja. Setelah puas menikmati sunset, Pangeran Matius dan Putri Olivia kembali ke kerajaan Tanibar dengan naik kereta kuda dan dikawal oleh prajurit-prajurit berkuda di semua posisi, yaitu kanan, kiri, depan, dan belakang.

Di suatu malam di kerajaan Tanibar, Pangeran Matius sedang ngobrol-ngobrol dengan Raja Phillip di meja makan setelah usai bersantap malam. Mereka berdua membicarakan nasib kerajaan Tanibar ke depannya mengingat satu bulan lagi Raja Phillip usianya sudah genap berkepala delapan. Tak ketinggalan, Ratu Emillia dan Putri Olivia juga ikut berdiskusi mengenai hal tersebut. Raja Phillip menginginkan Pangeran Matius dan Putri Olivia tinggal di kerajaan Tanibar dan kelak menggantikannya.

Tetapi, Pangeran Matius sangat keberatan dengan apa yang telah dikatakan oleh ayah mertuanya itu, karena ayah angkatnya hidup seorang diri di kerajaan Zanzibar. Keesokan harinya, Pangeran Matius dan Putri Olivia pergi ke danau Buena untuk membicarakan hal ini, tapi masih belum menemukan titik terang.

Di suatu sore yang cerah, Pangeran Matius dan Putri Olivia pergi ke bukit Rösenhill dengan naik kereta kuda dengan dikawal beberapa prajurit berkuda pilihan untuk menikmati pemandangan di sana. Bukit Rösenhill merupakan salah satu keindahan alam yang dimiliki kerajaan Tanibar. Di bukit yang berketinggian sekitar 2500 meter di atas permukaan air laut itu, berbagai jenis mawar tumbuh di puncaknya, sedangkan di bawahnya terdapat pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi.

Di bukit itu, ada juga bunga-bunga Edelweiss yang hidup di bawah hutan pinus, tapi jumlahnya sangat sedikit, entah mengapa Edelweiss-edelweiss itu tidak begitu banyak tumbuh di bukit Rösenhill. Dari puncak bukit Rösenhill, terlihat tiga pulau kecil berbentuk seperti batu lancip yang ditumbuhi pohon oak dan dikelilingi air laut yang warnanya berbeda-beda. Perbedaan warna air laut tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat kedalamannya. Barisan pulau kecil yang masih milik kerajaan Tanibar itu bernama pulau Axel.

Konon katanya, pulau Axel dijadikan tempat bertapa oleh orang-orang yang mendalami ilmu sihir. Si nenek pendoa dari suku Hutlacan juga pernah bertapa di pulau Axel tersebut. Dia bertapa bukan untuk mendalami ilmu sihir, tapi untuk memantapkan doa-doanya selama beberapa minggu di pulau Axel yang tengah.

Mengenai bukit Rösenhill, bunga-bunga mawar berbagai jenis tidak bisa ditanam di daerah-daerah lain. Pemuda yang sedang jatuh cinta kepada seorang perempuan pujaannya acapkali memetiknya sebagai tanda cintanya kepadanya. Bukit Rösenhill diperuntukkan hanya bagi penduduk kerajaan Tanibar saja. Raja Phillip dulu sering mengajak Ratu Emillia ke bukit puncak bukit itu.

Di dalam kamar Raja Phillip, Ratu Olivia, dan meja istana kerajaan Tanibar terdapat beberapa bunga mawar biru, putih, dan merah dari bukit Rösenhill yang sudah diawetkan untuk dijadikan hiasan. Karena kelangkaannya, penduduk kerajaan Tanibar sempat menjualnya di pasar-pasar tradisional kerajaan Tanibar dan sebagai penghias ruangan rumahnya.

Namun, Raja Phillip segera melarangnya untuk melindungi kelestarian mawar-mawar di bukit itu. Sekarang, hanya atas izin Raja Phillip, penduduk kerajaan Tanibar boleh mengambil dan memetiknya. Di atas bukit Rösenhill tersebut, istana kerajaan Zanzibar bisa dilihat, tapi tidak begitu jelas karena letaknya yang cukup jauh. Selain itu, kerajaan Tanibar juga dikaruniai oleh Tuhan sebuah air terjun yang indah.

Air terjun yang letaknya tidak begitu jauh dari pantai Loka itu bernama Kawai. Di sekitar air terjun Kawai yang tingginya sekitar 25an meter itu terdapat beberapa tanaman anggrek yang bunganya putih dengan bintik-bintik biru di kelopak-kelopak bunganya. Anggrek-anggrek itu tumbuh menempel di batang-batang pohon pinus yang menjulang tinggi. Anggrek bukanlah tanaman parasit.

Dengan kata lain, anggrek tumbuh di inangnya saja tanpa mengambil makanan inangnya dan inangnya tidak mendapatkan keuntungan atau kerugian darinya. Untuk hubungan ini dalam biologi disebut sebagai komensialisme, tidak menguntungkan dan tidak merugikan. Penduduk kerajaan Tanibar sudah tidak menganggap anggrek sebagai tanaman langka, karena mereka sudah bisa menanam dan membudidayakannya di halaman-halaman rumahnya. Penduduk kerajaan-kerajaan lainnya masih belum mengenal anggrek tersebut, karena anggrek tersebut hanya ada di alam dan pekarangan-pekarangan rumah penduduk kerajaan Tanibar saja.

Air terjun Kawai mengalir ke satu sungai yang berkelok-kelok ke sungai-sungai lainnya. Dulu, Raja Matius menceburkan diri ke air terjun tersebut dengan meninggalkan kuda kesayangannya, Phoenix, saat dikejar prajurit-prajurit berkuda kerajaan Tanibar dan pasukan-pasukan berkuda Negeri Allemant hingga akhirnya terbawa arus deras sungai itu dan diselamatkan oleh beberapa orang suku Mamodu saat mencari ikan dengan tombak dan panah di sungai.

Dalam mencari ikan, orang-orang suku Mamodu akan memanahnya apabila ikan terlihat mengambang dari jarak cukup jauh, lalu diselami untuk diambil, sedangkan ikan yang berada di dekatnya akan ditombak saja. Orang-orang suku Hutlacan juga memiliki cara yang sama dalam berburu ikan. Namun, ada satu yang berbeda, yaitu orang-orang suku Hutlacan terkadang mengepung dulu dengan menceburkan diri ke sungai dan akhirnya menombak dan atau menangkap dengan tangan ikan-ikan yang tampak di depan mata atau menyenggol salah satu anggota tubuh. Kedua suku itu masih belum mengenal kail, jala, jaring, dan peralatan-peralatan tradisional lainnya dalam mencari ikan, karena peradabannya masih tertinggal.

Di puncak bukit Rösenhill pada sore hari itu, Pangeran Matius dan Putri Olivia sedang memandang pulau Axel setelah berjuang sekuat tenaga mendakinya. Di puncak bukit Rösenhill, jari telunjuk kanan Putri Olivia menunjuk sebuah pulau Axel yang terkecil sambil mengucapkan beberapa kata kepada suaminya yang berdiri di samping kanannya. Pada waktu itu, angin bertiup dengan sangat kencang hingga terdengar deru ombak menghantam beberapa deret karang yang ada di bawah bukit Rösenhill.

Hanya pulau Axel terkecil yang separuhnya ditumbuhi pohon-pohon oak dari tengah hingga ke atas pulaunya, sedangkan separuhnya lagi dari tengah ke bawah terlihat relief-relief batunya yang tidak begitu teratur akibat gerusan-gerusan ombak laut. Pulau Axel merupakan habitat burung camar. Hanya di pulau Axel terkecil yang paling banyak dihuni burung camar dengan bersarang di sela-sela batu.

Suatu hari nanti, Pangeran Matius akan mengunjungi pulau Axel tersebut. Demikian apa yang telah disampaikan ke istrinya pada saat itu di atas puncak bukit Rösenhill. Namun, Putri Olivia tidak mau ikut. Pangeran Matius akan mengunjungi pulau itu bersama dengan prajurit-prajurit pengawalnya dengan naik perahu bercadik. Sebelum mengutarakan keinginannya kepada istrinya yang cantik jelita itu, Pangeran Matius telah menyelipkan sekuntum mawar biru yang dia petik di dekatnya ke telinga kanannya.

Putri Olivia tidak memetik sekuntum bunga mawar pun, karena beberapa bunga mawar dari berbagai jenis yang telah diawetkan sudah ada di dalam kamarnya. Dia hanya melihat bunga-bunga mawar sambil menyentuhnya dan berdecak kagum saja. Putri Olivia dan Pangeran Matius tidak ingin menikmati sunset di atas puncak bukit Rösenhill, karena yang dikuatirkan adalah keadaan telah menjadi gelap gulita saat menuruni bukit tersebut dan serangan-serangan binatang buas, seperti serigala dan ular berbisa.

Sebelum sore itu berubah menjadi malam, Pangeran Matius dan Putri Olivia bersama dengan beberapa prajurit berkuda pengawalnya pulang ke istana kerajaannya. Bukit Rösenhill dihuni serigala dan ular berbisa yang hanya menampakkan diri saat menjelang malam. Serigala-serigala akan turun ke hutan-hutan yang ada di bawah untuk mencari mangsa saat malam tiba. Setelah itu, mereka akan naik ke bukit Rösenhill lagi, lalu bersembunyi di tempat peraduannya saat hari menjelang fajar. Kadangkala, binatang-binatang ternak penduduk kerajaan Tanibar menjadi santapan serigala-serigala tersebut bila mereka sulit menemukan rusa, babi hutan, dan binatang-binatang lainnya yang menjadi makanan sehari-harinya. 

Keesokan harinya di sebuah pasar tradisional di dalam area kerajaan Tanibar, Pangeran Matius tengah berdialog dengan salah seorang pedagang roti gandum panggang. Setelah membeli beberapa roti gandum panggang yang berbentuk bulat dan panjang darinya, Pangeran Matius kembali melanjutkan perjalanan kelilingnya dengan berjalan kaki bersama beberapa prajurit pengawalnya sambil melihat barang-barang dagangan yang diperjualbelikan di sebuah pasar tradisional tersebut.

Selain pedagang, ada juga pertunjukan musik ala kadarnya, penyair yang membacakan syair-syairnya yang berdiri di atas sebuah balok kayu yang di bawahnya juga ditaruh sebuah wadah untuk menampung uang receh pemberian dari penonton. Ada juga permainan akrobat oleh badut-badut seperti halnya pemain musik dan penyair tersebut, yaitu salah satu badutnya menyodorkan sebuah wadah berkeliling ke pengunjung-pengunjung yang mengerumuninya untuk mengumpulkan uang receh juga. Beberapa pencopet yang sudah dalam satu kelompok acapkali menyelinap di sela-sela penonton akrobat, musik, dan syair tersebut. Seringkali orang yang memergokinya meneriakinya dan kemudian mengejarnya. Apabila tertangkap, maka akan diserahkan ke istana kerajaan Tanibar untuk diadili dan kemudian dihukum oleh Raja Phillip sendiri.

Kini, Pangeran Matius melangkahkan kedua kakinya ke kebun-kebun anggur milik penduduk kerajaan Tanibar. Tampaknya, tidak beberapa lama lagi petani-petani anggur akan memanen anggur-anggurnya. Penduduk kerajaan-kerajaan lainnya juga memiliki kebun anggur karena anggur mudah tumbuh di Negeri Abad. Buah-buah anggur dari Negeri Abad juga diperdagangkan di Negeri Dakan.

Selain sebagai buah hidangan Raja, dijual kembali di pasar-pasar tradisional, dan dikonsumsi sendiri, buah-buah anggur juga dijadikan minuman. Seringkali, Raja-raja menjamu tamu-tamunya dengan minuman anggur. Buah dan minuman anggur yang paling enak adalah dari kerajaan Tanibar, karena kerajaan Tanibar datarannya paling tinggi diantara semua kerajaan di Negeri Abad dan Negeri Dakan.

Perjalanan Pangeran Matius berikutnya adalah menuju ke pertambangan besi dan emas masih di dalam area kerajaan Tanibar. Sektor pertambangan mengalami perluasan dan sedikit kemajuan ketika kerajaan Tanibar dikuasai oleh Negeri Allemant. Namun, kemajuan itu tidak diikuti di sektor pertanian, karena Negeri Allemant hanya mengeruk hasil-hasil pertambangannya saja. Banyak teknologi baru pertambangan dan tekniknya yang diperkenalkan oleh penjajah tersebut kepada penduduk kerajaan Tanibar yang dipekerjakan sebagai penambang secara paksa.

Dulu, pertambangan hanya dilakukan dengan cara-cara yang sederhana beserta pengolahannya sebelum penjajah itu bercokol di kerajaan Tanibar. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri bagi kerajaan Tanibar. Namun, tak sedikit pertambangan tersebut memakan korban karena tiang tambangnya terjatuh menimpa kepala-kepala orang di sekitarnya disebabkan ada kesalahan penerapan teknik dalam memasang tiang-tiangnya dan penambang-penambangnya tertimbun tanah karena tanah pertambangannya ambruk yang disebabkan oleh kurangnya perhitungan yang cermat. Insiden-insiden tersebut lebih dikarenakan oleh paksaan kepada pekerja-pekerja tambang atas kepentingan penjajah yang menginginkan semuanya cepat terselesaikan dan mendapatkan hasil yang banyak.

Pada waktu itu, kondisi penduduk masih awam terhadap teknologi-tekonologi baru yang diperkenalkan penjajah. Pekerja-pekerja paksa diancam akan dicambuk dan bahkan langsung ditembak mati di tempat bila tidak mematuhi atau melawan perintah-perintah pasukan Negeri Allemant yang menjaga pekerja-pekerja paksa tersebut. Semua itu merupakan pengalaman tersendiri dan kenangan yang tak terlupakan bagi para pekerja paksa yang hingga sekarang masih hidup.

Ada pula beberapa penduduk kerajaan Tanibar yang menjadi pasukan Negeri Allemant atau prajurit kerajaan Tanibar membela penjajah hanya demi menyelamatkan diri dan keluarganya. Teknik-teknik dan teknologi-teknologi pertambangan yang baru kini diteruskan dan rencananya akan dikembangkan lagi oleh Pangeran Matius. Dulu, kerajaan Tanibar hanya dikuasai pasukan-pasukan Negeri Allemant yang berlangsung selama sekitar beberapa minggu saja.

Kini, Pangeran Matius kembali ke istana kerajaannya bersama prajurit-prajurit pengawalnya saat mentari tepat di atas kepala. Saat ini, Putri Olivia sudah menyiapkan makan siang suaminya itu dengan dibantu oleh pelayan-pelayan istana kerajaan. Setibanya di istana kerajaan, Pangeran Matius segera menuju ke meja makan. Putri Olivia yang sedang hamil tiga minggu itu pun menemani suaminya makan siang. Pangeran Matius membicarakan mengenai rencana ke depannya kerajaan Tanibar bersama istri tercintanya itu. Kali ini, Ratu Olivia tidak ikut makan siang bersama putri tunggal dan menantunya tersebut. Dia sedang berada di sebuah kebun di belakang istana kerajaan Tanibar.

Keesokan harinya saat mentari belum seberapa lama membelalakkan kedua matanya, Pangeran Matius bersama dengan beberapa prajurit pengawalnya berangkat menuju ke pulau Axel. Mereka harus menyusuri pantai Loka terlebih dahulu sebelum dapat menuju ke pulau Axel dengan naik perahu-perahu bercadik. Beberapa kuda dan sebuah kereta kuda diikat di batang-batang pohon kelapa dengan dijaga oleh beberapa prajurit pengawal lainnya. Setelah tiba di pasir putih di sekitar pulau Axel, Pangeran Matius bersama para prajurit pengawalnya langsung menuju ke puncak pulau Axel yang paling tengah dengan mendakinya terlebih dahulu.

Ketika berada di puncaknya, Pangeran Matius dan beberapa prajurit-prajuritnya bertemu dengan seorang pertapa yang berambut dan berjenggot hitam panjang dari suku Hazmit yang tinggal di sebuah hutan di wilayah Negeri Dakan. Rupanya, dia sedang mendalami ilmu sihir. Karena kedatangan Pangeran Matius dan prajurit-prajurit pengawalnya telah mengusik bertapanya, si pertapa itu mengusir dengan membentak mereka hingga terjadilah perkelahian antara si pertapa dan beberapa prajurit pengawal Pangeran Matius.

Karena tidak mempan dengan sabetan-sabetan pedang prajurit-prajurit pengawalnya, si pertapa yang hanya bertelanjang dada itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian, beberapa prajurit pengawal tersebut terpelanting karena ilmu kanuragannya yang dia keluarkan dengan kedua telapak tangannya. Tanpa banyak basa-basi, Pangeran Matius segera menusukkan pedang pemberian Raja Phillip yang sudah dibacakan mantra-mantra oleh si nenek pendoa dari suku Hutlacan saat menghadiri acara pernikahan Pangeran Matius dengan Putri Olivia ke punggungnya.

Saat si pertapa itu menjerit kesakitan karena tertusuk pedang, sebuah bayangan berwarna merah keluar dari badannya. Akhirnya, si pertapa itu ambruk tak bernyawa, lalu beberapa prajurit pengawal segera mengangkat dan membuang mayatnya ke laut atas perintah Pangeran Matius. Di sore harinya, Pangeran Matius dan beberapa prajurit pengawalnya kembali ke istana kerajaan Tanibar.

Dalam perjalanan pulang ketika berada di sebuah perahu bercadik, Pangeran Matius mengakui dalam hatinya keampuhan doa si nenek dari suku Hutlacan tersebut. Besok pagi, Pangeran Matius berencana mengunjungi suku Hutlacan untuk menjalin komunikasi dan menemui si nenek pendoa itu. Pangeran Matius masih belum tahu siapa nama si nenek pendoa tersebut.

Keesokan harinya, Pangeran Matius dan beberapa prajurit berkuda pengawalnya kemarin dengan semuanya mengenakan pakaian kebesaran kerajaan Tanibar, membawa pedang, dan memakai topi besi, berangkat menuju ke sebuah hutan tempat tinggal suku Hutlacan dengan menerobos beberapa hutan dan menyeberangi sebuah sungai berkelok-kelok yang airnya berasal dari air terjun Kawai.

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya Pangeran Matius dan prajurit-prajurit pengawalnya tersebut sudah tiba di perkampungan suku Hutlacan. Karena sudah tahu sebelumnya siapa yang datang, orang-orang suku Hutlacan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat, termasuk Jimo si kepala suku Hutlacan. Setelah mengobrol cukup lama dengan Jimo tentang Sati si nenek pendoa itu dan hal-hal lainnya di bawah sebuah pohon yang rindang di sebelah rumahnya, Jimo mengantarkan Raja Matius untuk menemui Sati di rumahnya yang berlokasi di atas sebuah tanah yang berdataran cukup tinggi.

Setelah sedikit bersusah payah mendaki sebuah jalan setapak yang sedikit basah karena hujan semalam dan menanjak ke rumah Sati, akhirnya Pangeran Matius, beberapa prajurit pengawalnya, dan Jimo, berhasil menjejakkan kaki-kakinya di sebuah halaman rumah Sati yang di depannya terdapat sekumpulan arang sisa api unggun semalam yang berfungsi sebagai penghangat badan, pengusir nyamuk, pemanggang, dan perebus bahan-bahan makanan.

Di atas tanah yang berdataran cukup tinggi tersebut terdapat tiga deret rumah yang semuanya berdinding batang-batang kayu yang saling diikat dengan kulit-kulit pohon dan beratap alang-alang kering. Rumah Sati berada di tengah dari ketiga deret rumah tersebut. Semua penduduk suku Hutlacan memiliki bangunan rumah yang sama dengan rumah Sati yang juga di depannya setiap malam selalu ada api unggun yang fungsinya sebagaimana disebutkan di atas.

Tetapi, sebelum beranjak tidur, si empunya api unggun harus mematikan apinya untuk menghindari terjadinya kebakaran. Sati hidup bersama dengan beberapa anggota keluarga dan kerabatnya. Tetapi, Sati hanya tinggal sendiri di rumahnya itu. Pada saat itu, Sati sedang tidak ada di rumah. Dia ada di sebuah hutan yang tak jauh dari rumahnya untuk mencari kayu bakar dan dedaunan untuk dijadikan sayur-sayuran. Seorang cucu laki-lakinya yang masih balita dari tadi berdiri bersandar di sebuah pintu rumah di deretan yang ketiga.

Dia sedang mengamat-amati beberapa orang yang sedang ngobrol-ngobrol di depan halaman rumah buyutnya itu sambil mengulum jari telunjuk kanannya. Ternyata, yang menemui Pangeran Matius dan Jimo saat itu adalah anak perempuannya Sati yang tertua. Dia adalah calon penerus pendoa suku Hutlacan setelah Ibunya nanti tiada. Setelah diberitahukan oleh putri sulungnya itu mengenai keberadaan Ibunya, Pangeran Matius, beberapa prajurit pengawalnya, dan Jimo mencarinya.

Tidak beberapa lama kemudian, di suatu tempat di sebuah padang rumput yang tak begitu luas di sebuah hutan cemara, Sati, Raja Matius dan beberapa prajurit pengawalnya, dan Jimo pun bertemu dan mereka duduk melingkar untuk mendengarkan cerita-cerita dari Sati. Semuanya mendengarkan dengan serius apa yang diceritakan oleh si nenek pendoa yang masih tidak pikun dan tidak bungkuk tersebut mengenai pengalamannya dahulu.

Tak lupa, Pangeran Matius juga menceritakan apa yang telah dialaminya di pulau Axel kemarin dengan pedang pemberian mertuanya kepada Sati yang dulu telah dibacakan mantra-mantra olehnya saat menghadiri acara pernikahannya di kerajaan Tanibar. Mengenai pulau Axel, Sati juga menceritakan pengalamannya bertapa di situ selama beberapa minggu saat masih perawan dulu.

Dia dulu berangkat menuju ke situ hanya seorang diri dengan berenang untuk memantapkan doa-doanya. Sati bukanlah seorang nenek sihir, tetapi seorang pendoa yang mendapatkan warisan doa-doa dari Almarhumah Ibunya dulu. Dia adalah generasi penerus kedua pendoa suku Hutlacan. Pangeran Matius menemui si nenek pendoa yang masih sehat itu bukan untuk meminta mantra-mantra atau jimat, tapi untuk mengenal lebih jauh tentangnya.

Tanpa diminta oleh Pangeran Matius, Sati meramalkan beberapa garis besar apa yang terjadi di kerajaan Tanibar di masa mendatang di akhir ceritanya yang harus diwaspadai oleh Pangeran Matius. Setelah itu, Pangeran Matius dan prajurit-prajurit pengawalnya pamit pulang kepada Jimo dan Sati. Seorang prajurit pengawal membawakan tumpukan ranting-ranting dan batang-batang pohon cemara kering yang telah diikat dengan beberapa alang-alang dan seorang prajurit pengawal lainnya membawakan beberapa akar alang-alang untuk disimpan sebagai bahan obat sakit perut bila diperlukan ke rumah Sati atas perintah Pangeran Matius ketika dalam perjalanan pulang.

Mengenai Negeri Allemant, sebagian penduduknya bertempat tinggal di balik sebuah bukit Gori yang jaraknya cukup jauh dengan kerajaan Tanibar. Penduduk-penduduk Negeri Allemant yang berperadaban lebih maju daripada Negeri Abad dan Negeri Dakan tersebut diungsikan oleh pemerintahnya sebagai upaya untuk mengurangi kepadatan populasi dan langkah awal untuk mengekspansi Negeri lainnya. Perkampungan pengungsian penduduk Negeri Allemant tersebut tidak berada di wilayah kerajaan Tanibar, tapi berada di wilayah Negeri Dakan.

Negeri Dakan juga dihuni oleh beberapa suku primitif dan dua kerajaan, yaitu kerajaan Gilbar dan Zilbar, sedangkan suku-suku primitifnya adalah suku Hiki dan suku Hazmit. Negeri Abad dan Negeri Dakan berada dalam satu pulau besar bernama pulau Barbatos. Kerajaan Gilbar dan Zilbar belum mengetahui adanya perkampungan pengungsian penduduk Negeri Allemant karena letaknya sangat jauh dari masing-masing kerajaan tersebut.

Di setiap sudut perkampungan penduduk Negeri Allemant telah dibangun pos-pos penjagaan dan barak-barak pasukan sebagai keamanan dan pertahanan. Dahulu, Kapten Pieter berkenalan dengan Rosario di bukit Gori saat keduanya bersama-sama dengan beberapa prajurit dan pasukannya masing-masing berburu rusa. Setelah itu, Rosario sering mengunjungi perkampungan penduduk Negeri Allemant bersama beberapa prajurit-prajurit berkudanya untuk melihat-lihat keadaan dan mengawasinya atas perintah Raja Phillip sendiri.

 Kedatangan Rosario dan prajurit-prajuritnya disambut baik oleh Kapten Pieter sebagai kedoknya hingga akhirnya terjalinlah persahabatan. Kapten Pieter pernah berkunjung ke istana kerajaan menemui Raja Phillip. Tetapi, kunjungannya hanya sekali saja untuk sekedar berbasa-basi dengan Raja Phillip.

Dalam obrolannya tersebut, Kapten Pieter pernah mengajak Raja Phillip berbisnis dengan mendatangkan produk-produk dari Negeri Allemant asal untuk dijual di pasar tradisional kerajaan Taibar, sedangkan hasil-hasil alam dan pertanian dari kerajaan Tanibar, Kapten Pieter mengatakannya akan mengirimkannya ke perkampungan pengungsiannya dan ke Negeri Allemant asal dengan diangkut oleh kapal-kapal dagang setelah produk-produknya dikirimkan ke kerajaan Tanibar. Raja Phillip menolaknya.

Setelah itu, Kapten Pieter tidak pernah berkunjung ke kerajaan Tanibar lagi. Raja Phillip sangat mewaspadai adanya perkampungan penduduk Negeri Allemant di balik bukit Gori tersebut. Menurut Rosario, mereka sangat ramah, tapi Raja Phillip meminta kepada Rosario untuk terus mengikuti perkembangannya dan mengawasinya. Raja Phillip juga pernah berkunjung ke perkampungan pengungsian tersebut, tapi tidak menemui Kapten Pieter. Dia hanya melihat-lihatnya saja. Perkampungan itu diperkirakan sudah lama ada semenjak satu dekade yang lalu. Penduduk dan pasukan-pasukan Negeri Allemant belum pernah sekalipun membuat keributan atau keonaran dengan penduduk kerajaan Tanibar maupun dengan penduduk kerajaan Gilbar dan Zilbar.

Penduduk Allemant pengungsian tersebut hidup dengan bertani gandum, berkebun sayur-sayuran, dan sesekali makan dari hasil berburu rusa di bukit Gori. Setelah pertempuran itu, pasukan-pasukan yang selamat melarikan diri ke perkampungan pengungsian tersebut untuk melanjutkan kembali kehidupan. Pemerintah Negeri Allemant di Negeri asalnya ingin membalas kekalahannya atas kerajaan Zanzibar, tapi menunggu saat yang tepat. Saat ini, kepemimpinan di perkampungan pengungsian tersebut dipegang oleh Kapten Hanz.

Sebenarnya, Negeri Allemant ingin menaklukkan kerajaan-kerajaan di Negeri Abad dan Negeri Dakan satu per satu. Namun, pemerintah negerinya menunggu untuk memperluas perkampungan-perkampungan terlebih dahulu di wilayah Negeri Abad dan Dakan asalkan kehidupan penduduknya tidak diganggu dan memperbanyak jumlah pasukan-pasukannya, sungguh sebuah langkah yang setahap demi setahap tapi menusuk jantung. Penaklukan-penaklukan tersebut hanya menunggu waktu saja.