webnovel

ELYANA

Ini tentang Elyana, atau biasa dipanggil Eli yang menyukai kakak tirinya sendiri yaitu William Martinez, dengan kenyataan bahwa pria itu sangat membencinya karena pernikahan orang tua mereka. Eli sadar, mau sampai kapanpun mungkin William akan membencinya dengan terbukti sikap kasar yang sering pria itu berikan kepadanya entah melalui tindakan verbal maupun non verbal. Tapi Eli bisa apa, hal itu bahkan tidak bisa menghapus perasaannya kepada kakak tirinya itu. Karena bagi Eli, William adalah potret sempurna dari tipikal pria idamannya selama ini. Mungkin kata Jane memang benar, sahabatnya itu suka sekali menyebut ia bodoh karena sudah jatuh cinta dengan pria yang bahkan tidak pernah memikirkan perasaannya. Lagi-lagi Eli bisa apa? Namun sepertinya, prinsipnya yang ia pegang teguh itu membuahkan hasil. Atau mungkin, memang sejak dulu William memang menyukainya, namun tidak pernah dia tunjukkan karena sebuah alasan. Ya, dan alasan itulah yang akhirnya mengungkap rahasia kelam yang selama ini Papa Eli tutupi mengenai kematian Mamanya dan juga rahasia-rahasia besar lainnya. Darisana Eli sadar, bahwa selain mendiang Mamanya, William yang selama ini secara terang-terangan membencinya justru menjadi orang kedua yang peduli padanya. Dan justru bukan Papanya yang selama ini ia banggakan, ataupun Mama tirinya yang Eli pikir benar-benar baik kepadanya.

Shawingeunbi · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
113 Chs

Chapter 6

"Kau yakin mau pulang ke sana?" tanya William lagi kepada Eli yang entah sudah ke berapa kali.

"Kak Wil, aku hanya ingin bertemu Papa." ujar Eli kepada William.

"Tidak mungkin, apakah kau benar-benar akan menanyakan sendiri kepadanya, El?" ucap William tidak percaya. Padahal ia sudah menjelaskan semuanya secara jelas, apakah Eli pikir Sean akan mengaku?

"Kak, aku hanya ingin Papa mengakui kejahatan yang sudah dia perbuat--"

"El, kau gila ya? Apakah kau pikir maling akan mengaku jika dia mencuri?"

Eli menggeleng dan berusaha melepaskan cekalan tangan William barusan yang berusaha menghentikan niatannya. Ia mengenal Papa-nya, dia pasti akan jujur kepadanya. Ia saat ini masih berada di apartemen William dan ketika ia berniat akan pulang, William berkali-kali mencegahnya.

"Lepas kak! Biarkan aku menemui Papa dan Mama Lea."

"El, Elyana. Tenangkan dirimu. Mau sampai kapanpun Sean tidak akan pernah mengaku jika dia sudah membunuh istrinya sendiri! Kau pikir setelah berbuat kejahatan, dia akan menyerahkan dirinya begitu saja? tentu dia tidak akan tinggal disini sekarang, melainkan di penjara jika dia benar-benar merasa bersalah dan menyesali perbuatannya."

Eli menangis, William pun memeluknya bermaksud menenangkannya. Ia tahu masih terlalu sulit bagi gadis itu untuk mempercayai semua ini.

"Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa bertemu dengan mereka seperti biasanya lagi. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana kak."

Suasana berubah hening, Eli maupun William sama-sama menyimpan pikirannya masing-masing. Eli dengan masalahnya, dan William yang berusaha mencari solusi yang tepat untuk masalah Eli. Meski pria itu sudah merencakan aksi balas dendamnya dari awal, jadi William pikir Eli memang harus ikut melakukannya untuk membuat Sean dan Mama-nya menyesal.

"Kau bisa." ucap William.

"Apa?"

William yang tadinya duduk berjarak dua sofa dari posisi sofa Eli pun mendekat hingga mengikis jarak diantara mereka. Eli yang tidak menduga aksi William barusan pun dibuat terkejut.

"Kak Wil?" pekik Eli panik berniat akan beranjak mundur, namun dengan sigap William menarik tangannya sampai akhirnya bokongnya mendarat di atas pangkuan pria itu.

Eli maupun William sama-sama terhenyak dengan posisi tidak terduga ini, namun ketika Eli berniat beranjak pergi untuk kedua kalinya, kali ini William menahannya. Tatapan mereka bertemu, dada Eli dibuat berdegup dengan kencang, mungkin sekarang bukan hanya dirinya yang bisa mendengar degupan keras ini, bisa jadi William juga bisa mendengarnya.

"El, fokus!" kata William memperingatkan.

"Kita harus membuat rencana." ujar William yang masih memangku Eli dan seakan mengabaikan posisi itu.

"Membuat rencana apa?" kata Eli tidak mengerti akan maksud pria itu.

William memajukan wajahnya mendekati wajah Eli, kurang beberapa senti saja hidung mereka hampir saja saling bersentuhan. Eli meneguk ludahnya susah payah, ia suka minum air putih, tapi mengapa tenggorokkannya terasa kering? Ia tidak sedang dalam keadaan dehidrasi mendadak kan?

"Kak, bisakah kau sedikit menjaga jarak?"

"Memangnya kenapa?"

"Po--posisi ini membuatku tidak nyaman." jawab Eli terbata-bata.

Bukannya semakin menjauhkan jangkauan wajahnya dari wajah Eli, justru kini William benar-benar mengikis jarak diantara mereka, namun gadis itu begitu pintar dengan memalingkan wajahnya sehingga kini William terlihat hanya mencium pipinya, bukan bibirnya yang menjadi sasaran awal.

"Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan-- aw!"

Eli meringis ketika William meraup dagunya agar mau menatapnya. Tatapan mereka pun bertemu kembali.

"Kau harus banyak belajar, El. Nanti, setiap waktu kita harus melakukan skinship, berciuman, dan bahkan lebih dari sekedar skinship ataupun berciuman." tegas William.

"Apa maksudmu, kak?" intonasi suara Eli mulai meninggi, yang artinya dia sudah mulai kesal saat ini.

"Mengapa kau terlihat kesal? bukankah sepertinya kau sangat bersemangat ketika aku menciummu tadi?"

Blush.

Kekesalan Eli langsung menguap begitu saja digantikan oleh perasaan malu yang tiba-tiba muncul. Mungkin pipinya sekarang sudah bewarna seperti tomat busuk. Eli akui ciuman William memang begitu memabukkan, ditambah lagi dengan pesonanya yang tidak bisa dihindari. Jika ia tidak naksir dengan pria ini, pasti dia sudah tidak normal. Dan ya, dirinya memang tidak normal dan sinting lebih tepatnya karena sudah menaruh perasaan lebih kepada kakak tirinya sendiri.

"Itu tidak seperti yang Kak Wil pikirkan." elaknya.

William berdecih, "Dan kau pikir apa yang harus aku pikirkan ketika kita sibuk membalas ciuman?"

"Kak Wil?!" teriak Eli sambil memukul bahu pria itu sehingga membuat William tertawa. Ini kali pertama mereka bercanda dan ada perasaan haru di dalam diri Eli.

"El, penawaranku masih berlaku. Jadilah kekasihku untuk membalas dendam mereka."

"Tapi Kak--"

"Mereka harus mendapatkan balasan dari perbuatan mereka, El."

Eli diam, gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Dia memang masih belum terima setelah mengetahui fakta yang sulit dipercayai, tapi Eli juga tidak bisa mengelak jika ternyata selama ini Papa-nya menyembunyikan hal ini kepadanya. Eli pun sudah memutuskan, dia akan menerima tawaran William.

"Baiklah, aku ikut."

William tersenyum sumringah, akhirnya rencananya berhasil. Dengan begini akan jauh lebih mudah membalas dendam mereka.

"Tapi kak, mengapa harus menjadi sepasang kekasih?" tanya Eli penasaran.

"Kita lihat bagaimana reaksi mereka ketika mengetahui anak mereka menjadi sepasang kekasih."

Ugh! Eli merasa William tidak main-main dengan apa yang sudah ia rencanakan. Eli yakin pasti William sudah merencanakan hal ini dari lama, dan ia jadi merasa kasihan pada pria itu.

"Aku sudah selesai menjelaskannya padamu kan? Sekarang turunlah dari pangkuanku. Dasar gendut!"

Eli menatap William kesal, "Bukankah kau yang menarikku sampai aku berakhir duduk di pangkuanmu? dan ngomong-ngomong tolong tarik kembali ucapanmu barusan jika aku gendut! Itu namanya bodyshaming tahu. Ah, menyebalkan."

William mengeluarkan smirknya, "Sepertinya rasa takutmu itu sudah menghilang terhadapku."

Eli berdehem ia pu buru-buru bangkit, namun dengan mudahnya William menahannya. Sebenarnya mau pria ini apa sih?

"Kak?"

William menyentuh dagu Eli sehingga kini mereka saling menatap satu sama lain. Dan Eli hanya diam dan berusaha mengantisipasi segala kemungkinan terburuk, namun dugaannya salah. Justru William malah tersenyum ke arahnya lalu mengacak rambutnya.

"Bagus, El. Kau tidak perlu takut kepadaku dan terima kasih sudah mempercayaiku. Mari membalas dendam dan membuat mereka menyesali perbuatannya." setelah mengatakan hal itu panjang lebar, William menurunkan Eli kembali ke atas sofa dan meninggalkannya sendirian disana.

Sepeninggal William, Eli hanya bisa melongo. Hari ini ia benar-benar mengetahui sisi-sisi lain seorang William. Entah ia harus bangga atau syok karena hal tersebut.

Sementara itu, William yang baru saja masuk ke dalam kamar mandi lagi-lagi harus melepaskan sesuatu dibawah sana yang sudah terasa sesak sejak tadi. Dan ini adalah kali kedua setelah kejadian di kantornya waktu itu.