"Kau kemana saja, El? Kami mengkhawatirkanmu." ucap Lea menyambut Eli yang baru saja pulang ke rumah.
"Aku semalam menginap di rumah temanku."
"Ah benarkah? Tapi mengapa nomormu tidak bisa dihubungi? Kami pikir ada sesuatu hal terjadi padamu."
Eli terdiam, ucapan Lea benar, memang sudah terjadi sesuatu padanya karena kini Ia mengetahui kebusukan wanita di depannya itu dan mengenai kebenaran dibalik kematian Mama-nya. Tanpa sadar ia mengepalkan tangannya kuat menahan amarahnya, ia berusaha mengontrol dirinya sendiri, karena jika dirinya gegabah dan seakan menunjukkan kemarahannya kepada Lea, rencananya dengan William akan gagal.
"El, kau sudah pulang?" tiba-tiba seseorang muncul. Ya, dia adalah Sean, Papa Eli.
Dulu, ketika Sean menyambutnya dengan senyum itu, Eli akan senang dan langsung memeluknya. Tapi sekarang, setelah ia mengetahui semuanya tentang apa yang sudah dilakukan Sean bersama Lea dulu, ia jadi tidak menyukai keberadaannya.
"Sepertinya aku tidak enak badan, aku mau istirahat di kamar." ujar Eli kepada Sean.
"Kau sakit? mau ku panggilkan dokter?" tanya Lea terlihat khawatir.
Eli menggeleng, "Tidak perlu."
Ia pun pamit pergi untuk ke kamarnya. Sepeninggal Eli, Sean merasa aneh dengan sikap putri semata wayangnya itu. Lea yang mengetahui keresahan suaminya pun mendekatinya.
"Sepertinya dia memang sedang tidak enak badan, aku akan memberinya beberapa ramuan nanti untuk membuatnya sehat kembali. Sayang, jangan terlalu dipikirkan." ucap Lea menenangkan Sean.
Sean mengangguk, ia pun mencium kening Lea dan berterima kasih. Istrinya itu memang selalu memahaminya, makanya ia sangat mencintai Lea lebih dari apapun.
"Ayo sarapan." katanya mengalihkan pembicaraan.
************
"Apa rencanamu berjalan dengan baik, sir?"
William menghisap puntung rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke udara sampai mengepul di sekitarnya. Pria itu suka merokok, tapi bisa dibilang William hanya melakukannya ketika sedang ingin saja, makanya bibirnya tetap terlihat alami tidak seperti seorang perokok.
"Tentu saja, sudah kubilangkan? wanita itu mudah dibodohi."
"Tapi sir, apakah kau tidak merasa kasihan padanya?" tanya pria yang duduk bersebrangan dengan William itu.
"Kasihan? Christ, kau tahu aku kan? Jangan melibatkan perasaan ketika membahas bisnis!"
Asisten William itu mengangguk lalu meminta maaf, "Maafkan saya, sir. Maksudku, dia adalah gadis yang polos, jika nanti dia tahu kalau kau sedang mempermainkannya, pasti dia akan sedih."
"CHRIST! KAU ANGGAP UCAPANKU BARUSAN MAIN-MAIN? MAU KUPOTONG BONUS AKHIR TAHUNMU NANTI?!" ancam William pada asistennya itu.
"Ehehehe, ti-tidak sir. Anggap saja saya tidak mengatakan apapun yang menyinggung perasaan anda barusan." balas Christ berusaha menenangkan William.
"Jika sudah menyangkut gaji saja kau diam tak berkutik." sindirnya.
Lagi-lagi Christ hanya menyengir, "Tentu saja anda tahu jika uang itu adalah segalanya."
William berdecih, "Terserah, hei, lagipula kau juga harus tahu. Gadis itu bagiku seperti baju, jika sudah bosan ya harus ganti yang baru."
"Apakah anda akan menganggap adik tiri anda seperti--"
"Ya! Dia akan aku tiduri sama seperti wanita-wanita itu." tegas William pada Christ. Aktingnya kemarin memang ciamik, bisa-bisanya dia dengan mudah diperalat. William memang dendam dengan Sean dan Mama-nya, dan ia menggunakan Eli untuk menghancurkan pria itu.
"Lalu tentang nyonya Lea bagaimana?"
William mengedikkan bahunya tidak peduli, "Sekarang targetku hanya gadis itu karena mau bagaimana pun dia adalah anak kandung Sean. Tapi aku jauh lebih menginginkan bagaimana rasanya mencicipi tubuh jalang itu."
Christ terdiam, ia merasa aneh dengan tuannya itu. Pasalnya dirinya sudah bertahun-tahun bekerja dengannya dan tidak pernah melihat William melakukan rencana gila hanya untuk menjebak seorang perempuan untuk bisa ditiduri. Apalagi William itu tampan dan mapan, hanya dengan mengedipkan mata saja dia bisa mendapatkan wanita-wanita cantik diluar sana dengan mudah. Tetapi dengan Elyana, William bersikap berbeda.
Apa jangan-jangan, William mulai menyukai Elyana yang notabenenya adik tirinya sendiri?
"Christoper!"
"I-iya sir?"
"Apa yang sedang kau pikirkan? Aku memanggilmu sejak tadi masa kau tidak dengar?!" kesal pria itu.
"Ma--maafkan saya sir, apakah anda butuh sesuatu?"
"Besok, atur ulang jadwalku, aku mau mengajak El ke kapal pesiar."
Christ merasa takjub, "Anda akan menidurinya besok?"
William menunjukkan smirk-nya, "Bukankah lebih cepat lebih baik? Lagipula aku sudah lelah harus terus-terusan menggunakan sabun sebagai alat dan tidak bisa bercinta dengan siapapun karena terus memikirkannya."
**********
"El, kudengar kau sakit." tanya seorang gadis berambut kecoklatan itu.
"Tidak apa-apa, aku sudah merasa lebih baik Lily."
Gadis bernama Lily itu terlihat memperhatikan gerak-gerik Eli kemudian menghembuskan nafasnya. Ia tahu hanya sekali melihatnya jika ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.
"Apakah ada yang berusaha kau sembunyikan dariku?" tanya Lily menghentikan aktivitas Eli yang sedang membaca buku.
Eli terdiam, ia lupa. Mau seberapa kali dirinya berusaha menyembunyikan masalah dari saudara tirinya itu, dia pasti akan tahu karena Lily merupakan mahasiswi psikologi. Dan selama ini ketika ia dihadapkan oleh masalah, Lily-lah yang menjadi psikolog dadakan untuknya. Dan gadis itu juga pandai sekali membaca gerak-gerik seseorang.
Ia bimbang apakah akan menceritakan masalahnya padanya, karena Eli tahu Lily tidak ada sangkut pautnya dengan perselingkuhan dan kematian Mama-nya.
"Lily, terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku benar-benar baik-baik saja dan tidak ada yang berusaha aku sembunyikan darimu. Dan ah, seharusnya sekarang akulah yang berkata jika kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku." ujar Eli mengalihkan pembicaraan.
Eli terdiam, ia tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ka--kau sudah mendengarnya ya?"
Eli melipat tangannya di depan dada meminta penjelasan, "Tega sekali kau, masa iya aku harus mendengar kabar itu dari gosip yang beredar kalau akhirnya kau jadian dengan Daniel."
"El, kau tahu kan hubunganku dengan Daniel berjalan sangat rumit? Dia seorang publik figur, tentu saja dia harus menjaga image keartisannya, terlebih lagi penggemarnya yang sangat banyak. Kami sama-sama merahasiakan hubungan ini dan berkencan diam-diam, tapi tidak aku sangka berita itu merebak begitu cepat." aku Lily frustasi.
"Astaga, Lily. Kuharap kau juga turut berhati-hati karena penggemar Daniel tidak akan tinggal diam mengetahui idolanya berpacaran."
Lily mendesah, lalu mengangguk setuju. Apa yang Eli katakan memang benar, fans Daniel memang dikenal begitu fanatik dan seenaknya.
"Aku tahu, tapi Daniel bilang dia akan menjagaku. Jadi aku tidak akan khawatir akan hal itu."
Disaat Eli dan Lily masih sibuk berbincang, tiba-tiba Lea dan Sean datang untuk bergabung.
"Sepertinya dua putri kami sedang membicarakan hal penting." sambung Sean dengan senyum kebapakannya.
Eli yang mengetahui kedatangan Lea dan Sean Tampak tidak senang, "Maaf, tiba-tiba kepalaku pusing. Apakah kalian bisa keluar dari kamar ini? Aku mau beristirahat."
"El?"
"Mama Lea, tolong."
Lea mengangguk mengerti, meski ia tidak tahu mengapa sikap Eli berubah hari ini, tapi ia berusaha memakluminya.
"Baik, ayo keluar." ajaknya pada Sean.
"Lily, kau juga ya?"
Lily mengangguk, ia pun turut beranjak pergi. Namun disaat ia berada diambang pintu, ia kembali menatap Eli yang terlihat memiringkan tubuhnya membelakanginya.
Sepertinya memang ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya. Batinnya mulai yakin.
Sepeninggal Lily, Eli kembali bangkit untuk duduk. Ia memandang pintu yang baru saja ditutup, ia menghela nafas sambil memukul-mukul dadanya pelan berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba datang.
Entah mengapa setiap melihat Lea dan Sean, bayangan perselingkuhan mereka ditambah ekspresi kekecewaan Mama-nya tercetak jelas.
"Ma, aku tidak bisa tidur. Aku terus-terusan memikirkanmu." lirihnya.
Tring~ tring~
Dering ponselnya tiba-tiba berbunyi sehingga membuyarkannya. Dahi Eli mengernyit melihat pesan masuk diponselnya dengan nomor tidak dikenal.
Besok sepulang kuliah tunggu aku di depan, aku akan menjemputmu.
"Siapa? apakah ini Kak William?"
Eli pun segera mengirim balasan pesan darinya.
Apakah ini Kak William?
Ia sudah mengirimkan pesannya, namun beberapa menit berlalu pesan itu tak kunjung dibalas kembali. Eli duduk dengan gelisah, dirinya bertanya-tanya akan siapa pengirim pesan itu. Apakah dia bukan William? tapi siapa? Karena di dalam kepalanya kini hanya terngiang wajah William.
Tiba-tiba ponselnya kembali berdering dan Eli pun segera membukanya.
Iya, ini aku. Sampai berjumpa besok, sayang. Mimpi indah.
Boleh tidak saat ini dirinya berteriak?
Sayang? ah, yang benar saja.