Bang Fahri selalu memberiku nasehat untuk selalu menanamkan sifat sabar. Dalam berbagai keadaan dan kondisi, sebisa mungkin aku harus bisa mengendalikan diri dengan tetap bersabar. Tapi, sebesar apa rasa sabar yang harus kupunya ketika adikku sendiri sudah mengeecap-ku sebagai wanita perenggut kebahagiaannya?
"Aku sudah menerima semuanya, tapi tidak dengan anakku. Aku tahu ini bukan kesalahnmu, tapi tidak bisakah kamu menghargai perasaanku? Belum genap sebulan aku kehilangan anakku, dan sekarang kamu sudah berencana punya anak. Kenapa kamu sangat jahat? Kenapa kamu berbuat jahat padaku, Mbak?" kata Farida sebelum kami bersalaman saat aku dan Habib hendak kembali ke rumah.
Acara syukuran sudah selesai, aku dan Habib juga harus kembali kerumah kami untuk siap-siap, karena besok kami harus terbang ke Padang. Namun kata-kata Farida seolah secara tidak langsung, sudah menyebutku sebagai perenggut kebahagiaannya. Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
Soutenez vos auteurs et traducteurs préférés dans webnovel.com