webnovel

Dream Wedding

Nayanika Carissa Salsabilla, perempuan berusia 25 tahun yang memiliki mata indah dan memancarkan daya tarik serta anggun dan mengagumkan seperti mata air surga. Naya hanya punya satu keinginan ... Yaitu sebuah pernikahan yang indah dan romantis. Tapi, apa Naya bisa mewujudkannya bersama pria pilihan Ayahnya, atau mungkin pernikahan impiannya tidak akan pernah terwujud? ♡♡♡

Apipaaa15_ · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
28 Chs

⭕ 28. Tetap Tinggal

Selamat Membaca

...

"Naya berapa usia kandunganmu?" Revan meletakkan teleponnya dan menatap Naya lekat.

"Sebulan Ayah," ujar Naya seadanya.

"Benarkah? Woah cucu Ayah delapan bulan lagi akan lahir kedua ini. Segeralah membersihkan diri, kita akan makan bersama." Revan menepuk pundak Aditya lalu pergi ke dapur untuk memerintahkan pelayan menyiapkan makanan kesukaan Naya.

"Ayo Kak, aku antar ke kamar." Naya berdiri dari duduknya.

"Tunggu."

Naya melirik Aditya, "Ada apa?"

"Apa kamu baik-baik saja?" Aditya meneliti seluruh permukaan wajah Naya.

"Baik, memangnya Kakak berharap keadaan Naya seperti apa?" Naya melirik sinis Aditya, lalu berjalan terlebih dahulu tanpa mengajak Aditya yang menggeleng pelan merasa aneh dengan semua ini.

"Nak Aditya!"

Aditya menoleh menatap Revan dengan pandangan selisik, "Ada apa, Ayah?"

"Ikut saya sebentar."

"Baik."

Aditya mengikuti langkah Revan menuju ruang kerjanya.

"Untuk apa kita kesini, Yah?" tanya Aditya bingung.

"Duduk lah."

Aditya menurut tanpa banyak membantah.

Revan menyatukan kedua tangannya, menatap Aditya dengan serius. "Ceritakan, ceritakan semuanya."

"Apa? Saya harus menceritakan apa?" Aditya mengerutkan kening dalam-dalam. Ada apa semua ini?

Revan mendesah kecewa. "Saya kira kau tidak bodoh, tetapi ternyata saya salah. Kau sangat bodoh, kau pikir dengan mengurung Naya saya tidak akan tau dengan apa yang kau perbuat pada putri saya?!"

Revan berdecih, jika saja Naya sedang tidak hamil anak bajingan ini sudah pasti Aditya tidak akan Revan ampuni.

"Maaf Ayah, saya melakukan semua ini demi kebaikan saya dan Naya." Aditya menatap wajah Revan tanpa rasa takut.

"Kebaikan ya? Kebaikan seperti apa yang kau maksud?!"

"Ayah tidak perlu tahu, itu urusan rumah tangga kami. Ayah tidak berhak ikut campur di dalamnya. Terima kasih. Saya pamit, mungkin saat ini Naya sedang mencari keberadaan saya." Aditya berdiri dari duduknya bermaksud untuk segera meninggalkan ketegangan yang ada di ruangan.

"Pergi! Silahkan, tapi jangan lupa. Saya adalah ayah dari Naya. Saya bisa melakukan apapun demi kebahagiaannya," ujar Revan bersungguh-sungguh tanpa ada unsur candaan di setiap kalimat yang dia lontarkan.

Aditya berbalik, "Kebahagiaan Naya adalah saya. Jika saya dan Naya dipisahkan, lalu kebahagiaan apa yang akan Ayah berikan?"

Revan menghela napas kasar. Penyesalan memang selalu datang di akhir untuk mengajarkan seseorang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

"Buktikan! Buktikan jika benar kau adalah kebahagiaan bagi Naya. Saya beri waktu sampai anakmu itu lahir. Jika sampai saat itu saya tidak melihat kebahagiaan dalam hidup Naya. Jangan salahkan saya jika saya membuat kalian terpisah dengan jarak yang sangat jauh atau mungkin kau tidak akan bisa melihat Naya dan anakmu lagi?" Revan tersenyum simpul melihat reaksi terkejut Aditya atas semua perkataannya.

"Saya tidak akan berjanji, tapi saya akan berusaha melakukannya dan jangan pisahkan saya dengan keluarga saya! Ayah tidak berhak melakukannya," ujar Aditya tegas dan tak terbantahkan.

"Siapa bilang? Selama saya masih hidup, tidak akan saya biarkan anak saya menderita!" Revan berdecih tak percaya dengan sikap kelabilan dari menantu yang telah dia percaya selama ini.

Apa Revan yang salah memilih orang? atau memang ini sudah menjadi takdir keduanya?

Sifat manja dan sifat labil di satukan dalam sebuah ikatan. Apa benar itu adalah sebuah takdir? Kedengarannya sangat konyol.

"Ayah!! Ayah di mana?"

Teriakan dari Naya memecah kecangungan yang ada. Baik Aditya dan Revan berjalan keluar dari ruangan seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Ayah di sini Naya!" Revan segera mencari keberadaan Naya.

Naya berjalan mendekati Revan sambil mengeluarkan perutnya. "Fyuh, Ayah kemana saja?"

"Ayah baru saja membahas masalah bisnis dengan suamimu," ujar Revan sambil menoleh kebelakang menatap Aditya.

"Iya benar," ucap Aditya menambahkan.

Naya mengangguk pelan. "Baiklah, ayo Ayah kita ke dapur. Oh iya, Kakak bisa mengganti pakaian di kamarku. Letaknya ada di atas," ucap Naya.

"Iya."

Naya kemudian menggandeng tangan Ayahnya dan berceloteh ria sambil berjalan ke dapur tanpa menghiraukan Aditya.

Aditya tersenyum tipis. "Apa saya tidak terlihat?"

...

Naya menatap pelayan yang sedang memasak dan menyajikannya di atas meja.

"Apa yang Ayah lakukan pada Kak Aditya?" Naya menoleh menunggu jawaban dari Ayahnya.

"Kenapa bertanya dengan pertanyaan yang kamu sendiri sudah tau jawabannya?" ujar Revan mengelus rambut Naya seperti yang sering dia lakukan sejak Naya masih kecil.

"Ternyata Ayah masih seperti dulu. Selalu tau apa yang Naya alami." Naya menoleh kebelakang merasakan kedatangan dari seseorang.

"Ayah dia datang," bisik Naya.

"Ayah tau diamlah," ujar Revan memperingati Naya.

"Makanan sudah siap, Tuan."

Revan mengangguk dan melirik pada Aditya, "Kamu datang di waktu yang tepat, bukan begitu Naya?"

"Iya benar Ayah, silahkan duduk Kak."

"Baiklah mari kita makan, sebelum itu kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa di mulai."

"Aamiin. Berdoa seles---"

"---MARI KITA MAKAN!!!" teriak Naya memotong perkataan Revan.

"Ck! anak ini," ujar Revan berdecak, kebiasaan lama Naya ternyata belum juga hilang.

Aditya lagi-lagi tersenyum tipis. Apa ini yang dirasakan oleh Naya saat berada di rumah neneknya. Mungkin saja.

"Makan Kak, kenapa diam saja?" tegur Naya melihat Aditya belum menyentuh apapun.

Aditya menoleh, "Iyaa."

"Naya apa makanannya enak?" tanya Revan.

Naya menoleh, "Enak Ya, ini makanan kesuka--- Huek!"

Naya segera berlari menuju wastafel untuk muntah. Perutnya terasa seperti saling beradu bagai ombak yang kapan saja bisa memecahkan perutnya.

"Huek! Huek! Huek!"

Naya merasakan tangan seseorang mengambil anak rambutnya dan dipengangi agar tidak menghalangi.

"Huek! Huek! Huek!" Naya menutup matanya merasakan kenyamanan di sekitar pundaknya.

"Apa masih ingin muntah?" Aditya dengan telaten memijat leher Naya agar bisa leluasa memuntahkan makannya.

"Me-menjauh ini terlihat menjijikkan. Apa Kakak tidak merasakannya?"

"Shut! diamlah." Aditya kembali memijat leher Naya.

Naya menopang tubuhnya di pinggir wastafel, lalu menyalakan keran air. Kemudian mencuci mulutnya.

"Sudah selesai?"

Naya mengangguk, lalu bisa Naya rasakan tubuhnya diangkat secara bridal style.

"Tu-turunkan aku," ujar Naya lesu. Tenaganya terkuras habis. Naya sudah tidak memiliki tenaga untuk melarang Aditya menggendongnya.

"Ayah, saya dan Naya pamit keatas." Ijin Aditya pada Revan yang sedari tadi melihat semuanya.

"Jaga Naya baik-baik."

"Tentu Ayah."

Aditya berjalan menaiki tangga menuju kamar Naya.

"Saya harap, kamu memang lelaki yang terbaik bagi Naya. Jangan patahkan harapan saya dengan tingkah kamu yang menganggap semuanya tidak perlu di beritahu oleh orang lain."

...

"T-terima kasih." Naya menutup matanya berusaha membuat dirinya senyaman mungkin walau itu mustahil terjadi jika ada Aditya di sampingnya.

"Sudah tidur? Secepat itu?" ujar Aditya yang tidak mendapat respon dari Naya.

Naya terlalu malas untuk membuka mata atau menjawab pertanyaan unfaedah dari Aditya. Biarkan saja Aditya menganggap dirinya telah tidur itu lebih baik dengan begitu dia bisa cepat pergi dari kamarnya.

Namun, anggapan Naya salah. Bukannya pergi, Aditya malah menjajarkan wajahnya tepat di depan perutnya yang mulai sedikit berbentuk.

"Halo anak Ayah, bagaimana kabarmu di dalam sana? Ayah harap kamu baik-baik saja."

Aditya terkekeh melihat tingkah konyolnya. Berbicara pada bayi yang belum terlahir di dunia, ah tidak sepertinya Aditya sedang tidak berbicara pada bayi melainkan, pada perut Naya yang mulai berbentuk.

"Apa Ayah boleh mengelusmu?"

"Bole aya," ujar Aditya menirukan suara bayi.

Aditya tertawa kecil merasa ini bukan ini dirinya. Tangan Aditya terangkat untuk mengelus perut Naya. Perlahan, tapi pasti tangan Aditya mengelus perut Naya dengan lembut.

Ternyata seperti ini rasanya menjadi Ayah. Hangat.

Semenit kemudian ketenangan Aditya terusik oleh suara pintu yang diketuk, "Aditya, saya ingin berbicara denganmu. Keluarlah."

Aditya mengangguk pelan walau Revan tidak akan melihatnya.

Tangannya berhenti mengelus. "Ayah pamit sebentar, jangan nakal dan membuat bundamu menderita." Hati Aditya tergerak untuk mencium perut Naya yang tidak terhalangi apapun.

Aditya menoleh pada Naya yang masih setia terlelap untuk meminta izin. "Hanya sekali."

Perlahan Aditya mengangkat sedikit baju Naya hingga sebatas dada.

Cup ....

Berhasil! Aditya berhasil mencium anaknya.

"Tidur yang nyenyak." Aditya berpindah mencium kening Naya.

Sederhana. Namun, berhasil membuat hati Aditya terenyuh. Perbuatan yang lumrah di lakukan sepasang suami istri, tapi untuk hubungan mereka sangat sulit melakukannya kecuali saat Naya tertidur seperti ini. Tenang dan cantik.

Naya membuka mata setelah mendengar suara pintu yang tertutup. Naya tidak tidur.

Naya hanya memejamkan mata sebentar, tapi Aditya sudah mengambil keuntungan dari itu. Ck!

"Baby, apa kamu merasakan apa yang bunda rasakan?" tanya Naya pada anaknya sambil mengelus perutnya pelan.

"Apa bunda harus selalu berpura-pura tertidur agar kamu mendapatkan elusan dari ayahmu?"

....

"Ada apa Ayah?"

Revan mendongak. "Duduklah, kita tidak pernah berbicara sebelumnya. Bagaimana jika kita saling bercerita di temani secangkir kopi? Bukankah itu bagus, hubungan mertua dan menantu akan semakin baik kedepannya," ujar Revan sambil menatap hamparan bunga milik mendiang istrinya.

Aditya mengangguk setuju. "Baiklah Ayah." Aditya menarik kursi di samping Revan.

"Bagaimana kabar Ayah?" tanya Aditya sambil menyeruput kopi yang dihidangkan untuknya.

"Bagaimana denganmu?" Bukannya menjawab Revan malah melempar pertanyaan yang sama pada Aditya.

Aditya meletakkan cangkir kopinya, "Buruk, sangat buruk. Kejadian masa lalu datang menghantui masa depan saya."

"Tetaplah tinggal, mungkin masa lalumu hanya akan menghantui masa sekarang bukan masa depanmu. Tetaplah tinggal untuk melihat sekeliling, semua masalah bisa di atasi jika kamu mau di ajak kerja sama."

"Tidak bisa, jika rahasia ini terbongkar. Bukan hanya masa depan saya yang hancur tapi juga kebahagiaan saya."

"Rahasia seperti apa itu?" tanya Revan penasaran.

Aditya menghela napas, "Sebuah kecelakaan."

Revan terdiam di tempatnya. Kecelakaan? Kenapa sebuah kecelakaan dapat menghancurkan masa depan Aditya?

Sebenarnya apa yang menantunya ini rahasiakan dari semua orang?

...

To Be Continud

Huaaaaaaa 😭

Apipaa terkena writer's block 😭

Writer's block itu loh istilah yang menggambarkan suatu kondisi ketika penulis tidak dapat menuliskan apa pun. Dalam situasi ini, membuat tulisan baru atau bahkan melanjutkan tulisan akan terasa sangat sulit. 

Alhamdulillah udah bisa nulis lagi, idenya muncul lagi huaaaaa terharu😭

Cieee Apipaaaa curhat 😆

udah ah, sampai jumpa di part selanjutnya.💓

Terima kasih juga udah baca dan dukung cerita ini.🗼

luvv^❤