`Selamat Membaca`
~~~ Demi waktu - Ungu ~~~
...
"Kamu jangan salah paham, Naya. Saya melakukan semua ini demi kebaikan kita," ujar Aditya yang lagi-lagi mengatakan hal yang sama.
Naya benar-benar muak, "BULSHIT!" Naya berdiri dari duduknya dan berjalan ke kamar tanpa menghiraukan respon Aditya.
"Naya tunggu! NAYA!"
Panggilan Aditya, tidak Naya hiraukan. Memangnya dia siapa yang berani-beraninya memanfaatkan keadaannya. Tidak! sudah cukup, Naya akan pergi dari rumah ini apapun yang terjadi.
Tapi ... bagaimana jika bayi Naya rindu pelukan dan kasih sayang Ayahnya? Argh! Tidak, anak ini tidak boleh menjadi penghalang.
"Kamu mau kemana?" Aditya bersedekap dada, tersenyum tipis menatap Naya yang sedang merapikan pakaiannya di dalam koper persis seperti sinetron yang Ibu Aditya sering tonton setiap pagi, siang dan malam.
"Naya? Saya bertanya kamu akan kemana!" ujar Aditya tegas.
Naya menghentikan tangannya lalu berbalik menghadap Aditya, "Pergi! kenapa?!" ucapnya sembari mendelik tak suka.
"Kamu yakin bisa pergi dari saya semudah itu?" Aditya berjalan duduk di samping Naya berdiri.
"Bodo amat! Aku akan tetap pergi dari sini!" Naya kembali merapikan pakaian yang tidak seberapa tapi, kenapa rasanya Naya seperti merapikan pakaian yang banyaknya bejibun?!
"Apa kamu yakin akan pergi dengan kondisi seperti ini?"
Naya menoleh, "Seperti ini? apa?" ucapnya sewot.
"Hamil, apakah kamu akan tetap pergi dalam kondisi hamil?" ujar Aditya meragukan perkataan Naya.
"Engh, tentu saja kenapa tidak." Naya menutupi kopernya lalu menghadapi Aditya, "Aku pergi!"
"Tentunya kamu tau kondisi hamil adalah masa-masa yang sulit dan bagaimana kamu akan melewatinya tanpa seorang suami?"
Naya berhenti melangkah dan tentu itu mengundang senyum kemenangan dari Aditya, "Kalau seorang janda bisa, kenapa Naya tidak bisa? Naya akan buktikan, kalau Naya nggak butuh kakak!"
Naya kembali menyeret kopernya keluar dari kamar meninggalkan Aditya yang tercengang. Dia hanya bercanda, tapi kenapa Naya menanggapinya dengan serius?
Seakan mendapat ilham sekelebat quotes muncul di nalar Aditya.
"Yang sulit itu bukan mengarungi lautan, tapi yang sulit itu adalah memahami pikiran seorang ibu hamil"
"Astagfirullahadzim!"
Seakan tersadar dari keheranannya, Aditya segera menyusul Naya sebelum terjadi sesuatu yang di luar kendali Aditya.
Aditya mempercepat langkahnya dan menangkap pergelangan tangan Naya. Menghentikan pergerakan dari Naya.
"Apa lagi?"
"Saya bercanda Naya, kenapa kamu menanggapinya dengan serius?" Aditya mengusap wajahnya dengan kasar, sungguh dia hanya bercanda. Namun, kenapa menjadi kacau seperti ini? Padahal belum 57 jam Naya bersikap manja padanya, tapi lagi-lagi semua itu berubah karena kesalahannya.
"Bercanda? Itu tidak lucu, selera humor kakak sepertinya perlu di bawa ke psikiater." Naya memutar bola matanya jengah.
"Saya tau, saya minta maaf. Tolong jangan pergi dan membuat kekacauan."
Naya menatap Aditya tidak terima, "Kakak menuduh Naya penyebab semua kekacauan?"
Aditya melotot terkejut, perkataannya di salah artikan oleh Naya. "Tidak, bukan seperti itu---"
"Woah! Setelah mengatakan hal yang tidak pantas dan menganggap itu hanya lelucon semata. Sekarang Kakak menuduh Naya penyebab semua kekacauan? Ah Naya pikir, keputusan Naya untuk pergi sudah final. Sebaiknya Kakak pergi ke psikiater, kejiwaan Kakak perlu di periksa." Naya melepas tangan Aditya dari pergelangan tangannya dan kembali melanjutkan perjalanan menuju bagasi.
Sumpah! Apa Naya sedang memainkan sebuah drama? Kenapa rasanya lama sekali Naya berjalan dari kamar ke bagasi mobil. Jika memang Naya sedang dalam sebuah drama, Naya akan meminta sutradara memberikan skenario hidupnya.
"Naya, saya mohon jangan pergi. Maafkan semua perkataan saya, saya janji tidak akan mengulang lelucon yang berbau sensitif bagimu," ujar Aditya mencoba memberikan pengertian.
Naya berhenti melangkah, "Naya memang manja dan tidak dewasa, tapi Naya tidak bodoh untuk mempercayai kalimat yang jelas-jelas adalah suatu kebohongan yang nyata. Naya pamit. Assalamualaikum."
Naya membuka bagasi mobil dan menyimpan kopernya. Lalu segera duduk di kursi kemudi.
Aditya lantas menahan pintu mobil dan menatap netra Naya berusaha memantapkan hati untuk mengabaikan egonya dan mengedepankan hubungan mereka.
"Saya meminta maaf untuk semuanya. Iya saya tau, saya salah karena telah bercanda secara keterlaluan. Saya minta maaf, tolong maafkan saya."
Naya mengalihkan pandangannya menatap kedepan sembari menghembuskan napas kasar, "Baiklah, Naya tidak akan pergi dari rumah. Namun, Kakak ikut atau tidak Naya akan tetap pergi berkunjung ke rumah ayah!"
Aditya menghembuskan napas lega dan berniat memeluk Naya. Namun, niatnya harus pupus mengingat kondisi emosi Naya yang belum stabil. Aditya tidak ingin menambah perkara.
"Terima kasih Naya."
"Iya masama--- AAA! !"
Aksi Aditya menggendong Naya, tanpa aba-aba mengundang jeritan terkejut.
"Baiklah kita ikuti kemauanmu. Biarkan saya yang menyetir, kamu pindah ke samping," titah Aditya.
"Tapi, kenapa harus di gendong? Naya bisa sendiri," ujar Naya kesal atas keputusan sepihak dari Aditya.
"Saya tidak mau kamu merasa letih. Buka pintunya."
Naya menurut lantas membuka pintu mobil dan dengan hati-hati Aditya menurunkan Naya di kursi samping kemudi.
....
"Apa ayah ada di rumah? Kenapa kita kerumah, bukankah ini masih jam kantor?" ujar Naya mengutarakan beberapa pertanyaan.
Aditya menurunkan kaca jendelanya dan memerintahkan satpam untuk membuka gerbang.
Naya memutar bola mata malas, "Kakak, Naya bertanya!"
Aditya melirik ke samping, "Ayah ada di rumah, saya sudah menghubunginya terlebih dahulu."
"Jadi Kakak sudah merencanakannya dari awal, tapi kenapa Kakak mengatakan syarat itu?" ucap Naya bingung. Jika sudah merencanakannya kenapa harus membuat drama seperti tadi?
Aditya mematikan mesin mobil, "Sudah saya bilang itu hanya bercanda---"
"Tidak lucu!"
Brak!
Naya keluar dari mobil sambil membanting pintu.
"Astagfirullahadzim bar-bar sekali istri saya."
"KAKAK INGIN TURUN ATAU TETAP DI DALAM MOBIL SELAMANYA?!"
Aditya terperanjat mendengar teriakan Naya dan segera keluar dari mobil sebelum bumil itu kembali berteriak.
"Lelet!" desis Naya.
Aditya mengelus dada, "Astagfirullahadzim saya hanya bercanda kenapa kamu masih mempermasalahkannya?"
Naya berdecih, "Pikir sendiri."
Pintu utama rumah terbuka menampakkan tubuh tegap seorang laki-laki paru baya yang siap menyambut putrinya dengan pelukan hangat.
"AYAH!!!"
Naya berlari tanpa memperhatikan kondisinya yang tengah berbadan dua. Yang ada di pikiran Naya hanya pelukan Revan.
"Hei! hati-hati Naya," ujar Aditya cemas.
"Ayah, Naya rindu." Naya mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan diri di dada Revan.
Sudah lama semenjak menikah, Naya tidak pernah memeluk Ayahnya. Rasa rindu yang tak terbendung akhirnya tumpah bersamaan dengan tetesan air mata Naya yang kian membasahi kemeja milik Revan.
"Ada apa Naya? Ayo masuk, tidak baik menangis di depan rumah." Revan membawa masuk Naya yang berada di dalam pelukannya di ikuti Aditya yang merasa tidak pantas menjadi suami.
Ah memangnya kapan Aditya mendapat gelar suami idaman? Yang Aditya lakukan hanya membuat Naya menangis dan kesal setiap hari. Setitik senyuman pun tidak pernah Aditya berikan. Aditya memang payah.
"Ada apa?" tanya Revan setelah mereka bertiga telah berada di ruang keluarga.
"Na-naya rindu Ayah hiks ...." Tubuh Naya semakin bergetar, terisak-isak meluapkan rasa rindunya.
Selain itu Naya ingin menceritakan semuanya. Namun, Naya tidak berani. Naya hanya bisa menangis. Naya lemah jika di hadapkan dilema.
"Naya cerita sama Ayah, ada apa ini? Jika ini hanya tentang rindu, tidak mungkin kamu menangis hingga terisak seperti itu. Pasti ada masalah." ujarnya merasa curiga.
Revan menoleh pada Aditya yang duduk dengan lesu di sofa, "Ada apa ini? Kenapa kalian terlihat aneh? Apa kalian bertengkar?"
Aditya mengangkat kepala menatap Revan, "Tidak ada Ayah, ini hanya hormon." ujar Aditya.
Revan menaikkan alis, "Hormon?" ujarnya bingung.
"Iya Ayah, Naya sedang hamil mungkin karena itu dia gampang merasa emosional," ujar Aditya memberi tahu fakta tentang Naya.
Revan membelakakan matanya, "Hamil? Benarkah itu Naya?"
Naya mengangguk di pelukan Revan, "Iya Ayah ... Naya hamil," ucapnya.
"MasyaAllah apa Ayah akan menjadi seorang kakek? Ayah benar-benar merasa bahagia. Tunggu Ayah akan memberi tahu semua keluarga. Tunggu di sini." Revan melepaskan pelukannya dan segera menelpon semua kerabat. Dia akan menjadi seorang kakek di umur 45 tahun.
Naya tersenyum tipis melihat raut bahagia di wajah ayahnya.
Andai ...
Andai saja aku bisa memberitahukan semuanya pada Ayah, mungkin saat ini bukan raut bahagia yang terpancar. Namun, raut amarah.
Tapi, itu semua tidak mungkin. Aditya memegang kendali atasku ,Ayah. Maaf kan aku.
"Naya, jangan macam-macam."
Naya tersenyum kecut menatap Aditya, "Aku tau Kak. Kakak tidak perlu khawatir."
Aditya tidak melanjutkan perkataannya melihat tatapan kosong dan hampa milik Naya.
Ini salah. Namun, Aditya tidak bisa memperbaikinya. Aditya terlalu takut.
....
🍁To Be Continud🍁
Terima kasih untuk dukungannya, Apipaaa terharu melihat notip yang muncul. Terima kasih!!!💜
Dan maaf kalau Apipaa belum bisa memberikan yang terbaik buat kalian. Tapi, Apipaa janji akan berusaha up setiap hari.💜
Terima kasih untuk dukungannya, jangan pernah bosan-bosan ya.💜
Salam cinta❤
Apipaaaa🍁