"Nania, berhenti" teriak ibunya.
Suasana sarapan pagi itu mendadak menjadi tidak menyenangkan setelah Nania membuka pembicaraan. Awalnya semua baik baik saja, sampai saat Nania membahas soal Nata. Ia dengan berani membicarakan soal Nata dan mimpi laki laki itu untuk sekolah keluar negeri.
"Apa ayah akan mengurungnya dalam kerajaan bisnis ayah? Apa ayah benar benar akan tega mengubur mimpi Nata?" Lanjutnya menghiraukan perkataan ibunya sendiri.
Ayahnya masih dengan tenang mendengar ucapan Nania yang menggebu gebu seperti sedang menyerap seluruh energinya untuk tiba tiba meledak.
"Mungkin sekarang ayah tak menyesal, tapi suatu saat ayah akan menyesal karena tak bisa mewujudkan semua mimpi mimpi yang dimiliki anak anak ayah" Nania terus bicara.
"Apa ayah hanya akan me….mikirkan" Nania kali ini tergagap setelah ayahnya berhenti makan dan menatap matanya dengan tegas.
"Lanjutkan" ucap ayahnya.
"Nania sudahlah, ini masih pagi" bujuk ibunya.
"Maksudku..apa ayah tak ingin mencoba untuk memberi Nata kesempatan sekali saja? Dia pasti akan memberikan yang terbaik" Nania mulai lagi dengan keberaniannya yang sudah terkubur.
Pria paruh baya itu tertawa kecil, "lalu jika Nata mencoba mengejar mimpinya, apa kamu mau bertukar tempat dengannya?" Tanyanya sebelum menyantap sepotong daging kecil yang tersisa.
Nania melempar pandangannya kearah lain, ia tak menjawab apapun pertanyaan ayahnya. Keberaniannya sudah benar benar mati.
"Ayah dengar dari manajermu, pendapatanmu sebagai artis dan model tak terlalu besar. Kamu juga masih menggunakan kartu kredit yang ayah berikan. Apa kamu mau mencoba menjadi penerus ayah?" Lanjut ayahnya.
Pria itu berdiri, ia melangkah mendekati Nania yang sedang merasa serba salah. Meski tubuh ayahnya tak besar, tapi tatapan dan kehadirannya selalu mengintimidasi semua orang yang sedang berhadapan dengannya. Itulah alasan ayahnya bisa menjadi seorang pebisnis yang hebat.
"Kemana keberanian yang menggebu gebu itu?" Tanya Ayahnya dengan penuh penekanan. Ia memegang dagu Nania dan memaksa Nania untuk menatap mata ayahnya.
Ibunya sendiri hanya diam melihat perlakuan pria itu, tak ada yang bisa melawannya dirumah ini. Karena semua akan sia sia.
Tak lama, Nata turun dan bergabung bersama mereka. Ia sedikit bingung karena tak ada yang berbicara satu sama lain, tak seperti biasanya. Sesekali ia menyenggol tangan Nania untuk bertanya, namun perempuan itu tak menggubrisnya. Nania hanya sibuk dengan ponselnya sembari memakan sarapannya. Begitu pula dengan ibunya yang terdiam seribu bahasa.
"Nania meminta ayah untuk memindahkanmu kuliah keluar negeri" ucap Ayahnya.
Nata sedikit terkejut mendengar ucapan ayahnya, semua kebingungannya terjawab.
"Ayah serahkan padamu, apa kamu benar benar ingin pindah keluar negeri?" Tanya ayahnya.
Nata tau, itu bukanlah pertanyaan yang harus ia jawab. Karena tak ada pilihan dalam pertanyaan itu. Nata tau persis sifat ayahnya. Laki laki itu mengajukan pertanyaan hanya untuk memperlihatkan kekuasaannya didalam rumah ini.
"Aku takkan kemana mana" jawab Nata singkat.
Nania mendengus kesal, ia menatap Nata tak percaya. Sedangkan ayahnya mengangguk sembari tersenyum kecil.
"Meski belajar diluar negeri, ilmu yang sebenarnya takkan kamu dapatkan di kampus. Ayah akan mengajarimu cara berbisnis setelah kamu siap, datanglah ke kantor nanti" lanjut ayahnya sembari beranjak darisana diikuti dengan ibunya.
Mata Nania berlinang sembari menatap Nata, ia benar benar kehilangan harapannya.
"Berhentilah mencoba Nania, sudah kubilang ini semua salah bukan"
Ucapan Nata menusuk hatinya hingga tak mampu berbicara apapun. Ia hanya diam, benar benar diam dan menahan tangisnya hingga Nata meninggalkannya pergi ke kampus.
***
Lea melepas jam tangan dan semua perhiasan yang ia gunakan ditubuhnya kedalam tas, ia juga memasukkan beberapa uang kedalam sebuah amplop. Uang hasil kerjanya selama satu bulan terakhir. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, namun namanya tak kunjung dipanggil.
Dari kejauhan Lea melihat seorang pria paruh baya sedang menyapu diarea taman. Ia tersenyum, lalu berlari kearah pria itu dan berniat menyapa.
"Paman!" Teriaknya sembari melambaikan tangan.
Pria itu tersenyum saat mengenali Lea yang berlari kearahnya.
"Gadis kecil ini sejak kapan sudah jadi dewasa?" Sapa pria itu sembari mengusap kepala Lea.
Lea tertawa girang, "Paman, apa kabar?" Tanyanya.
"Seperti yang kamu lihat, paman masih hidup dan baik baik saja" Jawab pria itu.
"Bulan lalu, saat Lea kesini paman tak ada. Katanya paman ditugaskan untuk bekerja keluar"
"Iya, paman diminta membersihkan area kejaksaan beberapa kali. Tahanan yang sebentar lagi akan bebas sudah bisa bekerja diluar penjara" Cerita pria itu.
"Oh, kapan paman akan bebas?" Tanya Lea.
"Enam bulan lagi, bersamaan dengan ayahmu" Lanjutnya.
Lea tertegun, seingatnya ayahnya masih harus menjalani hukuman sekitar dua tahun. Ia terdiam sejenak.
"Kamu tidak tau?"
Lea menggeleng.
"Ayahmu mengajukan bebas bersayarat beberapa bulan lalu, dan dikabulkan. Waktu kebebasannya sama dengan paman" lanjutnya.
Lea tersenyum kecil, "ayah tak cerita"
"Mungkin dia ingin memberimu kejutan"
"Paman, ini aku ada uang sedikit. Pakai untuk beli makan sehari hari" ucap Lea menyudahi pertemuan mereka karena seorang petugas memanggil manggil namanya untuk segera masuk kedalam Area kunjungan.
Lea berjalan cepat mengikuti langkah petugas yang besar, beberapa kali ia tersenyum saat para tahanan menyapanya. Lea rutin kesana satu bulan sekali untuk menjenguk ayahnya, hal itu membuatnya dikenal beberapa tahanan disana.
Saat masuk kedalam ruang kunjungan, ia sudah tak asing lagi dengan keadaan disana. Beberapa orang seperti sedang berpacaran, ada juga pasangan yang sedang melampiaskan rasa rindu, beberapa juga sedang makan bersama, terkadang ada orang tua yang menangis karena melihat anaknya baru masuk dalam tahanan.
"Ayah" sapanya saat ayahnya masuk kedalam ruangan.
Lea tersenyum kecil, ia merasa lega setelah melihat ayahnya baik baik saja. Ayahnya memiliki tubuh yang tinggi dan besar, wajahnya sedikit tak ramah jika tak tersenyum. Didalam tahanan ini, ayahnya menjadi seorang pemimpin berkat koneksinya yang luas antar para tahanan yang lain. Padahal, tak ada alasan Lea merasa khawatir pada ayahnya.
Karena merasa senang bisa bertemu ayahnya, Lea tak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia mengeluarkan beberapa makanan dari tas dan meminta ayahnya untuk makan.
"Ibumu, apa kabar?" Pertanyaan pertama yang dilontarkan ayahnya saat bertemu Lea. Seperti biasanya.
"Ibu baik baik saja" jawab Lea berhati hati.
"Kenapa dia tak mau mengunjungi ayah?" Tanya ayahnya lagi.
Lea terdiam. Ia menahan dirinya dari rasa kekecewaan. Padahal, setiap bulan akan seperti ini keadaannya. Namun Lea masih saja kecewa.
"Tak ada alasan untuk ibu datang kesini" jawab Lea pelan.
Ayahnya tertawa terbahak bahak, "apa dia sudah menikah lagi?" Tanya ayahnya.
Lea menghelas nafas, ia menatap wajah ayahnya.
"Bisakah ayah menanyaiku saja? Ada banyak hal yang terjadi padaku selama sebulan ini, aku bisa menceritakannya sampai berjam jam" ucap Lea.
Ayahnya merasa kesal, ia beranjak dari duduknya.
"Kemarikan jatah uang bulanan ayah, lalu pulanglah"
Setelah memberikan amplopnya, Lea pergi keluar. Ia menahan nafasnya untuk tak menangis. Masih terngiang ngiang ucapan ayahnya sebelum ia pergi tadi.
"Jika dia sudah benar benar menikah dengan pria lain, ayah takkan melepaskannya. Biar dia bersama ayah, meski harus mati bersama" ancam ayahnya saat itu.
Lea sedikit merasa takut jika mengingat ancaman pria itu. Jika ayahnya berkata seperti itu, hal itu mungkin akan benar benar terjadi. Sebenarnya, ia merasa khawatir jika ayahnya bebas dari penjara. Terlebih keadaannya setelah ibunya menikah lagi. Bukannya ia tak ingin ayahnya bebas dari penjara, namun ia hanya ingin terus merasa aman seperti ini. Berada didalam keluarga yang seperti ini, hanya akan merasa dirinya terus diikuti ketakutan.