Novel ini hanya ada di aplikasi WebNovel kalau ada di aplikasi lain berarti dibajak
Saya kasih catatan karena udah banyaknya kasus novel dibajak, dan saya kena, ga dapet royalti
Jadi bagi pembaca belum tahu apa itu aplikasi WebNovel, kalian bisa download aplikasi bertuliskan WebNovel di playstore
Di WebNovel koinnya lebih murah dan ada voucher baca gratis sampai 3 loh
Terima kasih,
Nona_ge
***
"Pet shop!?" Rainer nampak terkejut sebelum berubah menjadi cemas, "kenapa ke sana?"
"Aku mau berlibur di rumah Ava jadi aku menitipkan kucingku di sana," jelas Gaea semangat.
"Oh," Rainer mengerti seketika, tidak nyaman mereka mengobrol mengenai Ava. Ia sendiri tidak memiliki masalah dengan kucing, di sisi lain ada seseorang yang mungkin akan panik, "Kasihan Eryk."
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Gaea.
Rainer menggelengkan kepala dengan mata tetap tertuju pada jalan aspal.
Gaea bersumpah Rainer mengatakan sesuatu entah itu umpatan, keluhan atau senang? Ia pun mengangkat bahu tak acuh dan kembali melihat keluar jendela memastikan gedung pet shop tidak terlewat.
"Ah, itu dia, Rainer," Gaea menunjuk sebuah toko kecil bercat pink mencolok yang diapit oleh gedung pencakar langit, di atas pintu terdapat sebuah plang bertuliskan: Lunatic pet shop.
Rainer mencari tempat parkir karena toko tersebut tak menyediakan lahan parkiran, terpaksa parkir di bahu jalan yang telah disediakan, lalu mengambil tiket parkir di mesin, "Aku harap kita tidak lama karena hanya diperbolehkan parkir selama sejam."
Gaea mengangguk paham, "Aku mau mengambil takkan lama kok."
"Hm ...?" Rainer menyahut sekenanya, mengambil ponselnya, mengecek apa ada sesuatu yang baru.
Gaea berpikir sejenak, meninggalkan Rainer sendirian di sini tidaklah baik, "Bagaimana kalau kau ikut?"
"Aku?" Rainer terkejut bukan main.
Gaea mengangguk, "Aku rasa melihat binatang yang lucu lebih baik daripada bermain ponsel sendirian," bujuknya tersenyum semanis mungkin.
"Aku tidak terlalu suka dengan binatang," Rainer menolak, suaranya terdengar tidak tegas seakan ada hal yang disembunyikan.
Gaea memutar bola matanya bosan akan sikap Rainer yang terlalu memasang tembok tinggi padanya. Dengan berani mengaitkan tangan mereka, "Kau akan menyukai ini. Aku yakin," katanya sambil menarik Rainer agar mengikutinya.
Rainer tidak berkutik, tangan Gaea begitu erat memegang lengannyabmemastikan tidak menolak hanya pasrah dibawa memasuki gedung pet shop.
"Selamat datang di Lunatic," kata seorang wanita muda berambut hitam menyambut sopan, matanya langsung melebar melihat Gaea masuk bersama Rainer, "kenapa kau masih di New York, Gaea?"
"Aku membatalkan keberangkatanku dan memilih merayakan natal di sini, Nadine," sahut Gaea.
"Ah!" Nadine teringat sesuatu, "kau baru dilamar, tentu saja~" katanya manja, "aku pun takkan mau ke luar negeri jika yang melamarku setampan itu~"
Gaea terbatuk gugup karenanya, jelas teman-temannya tahu wanita di dalam video adalah dirinya, Eryk menyebut lengkap namanya pula.
Anehnya justru memalukan.
"Berikan kucingku saja, Nadine," pinta Gaea mencoba mengubah arah topik pembicaraan mereka.
Nadine mengangguk, "Tunggu sebentar, iya."
Gaea tertunduk menyesal melihat wajah polos Nadine yang begitu bahagia dengan lamaran palsu ini membuatnya merasa bersalah.
"Gaea, kupikir akan lebih baik jika kau tetap menaruh kucingmu di sini," Rainer membuka suara, nada bicaranya cemas.
"Kenapa aku harus?" tanya Gaea heran, "aku sudah sendirian di sini, membawa kucingku boleh, 'kan? Ini bukanlah masalah besar."
Rainer menggaruk belakang kepalanya gugup.
Gaea dapat melihat raut kecemasan di wajah Rainer, "Kenapa memangnya?"
Rainer lebih memilih diam.
Gaea memutar bola matanya; tipikal Rainer, selalu memberikan pesan yang ambigu, "Aku akan membawa Bintang tak peduli kau suka atau tidak."
"Bintang?" Rainer bertanya-tanya dengan nama tersebut, terdengar asing di telinganya, tetapi suka karena unik. Penasaran berapa bahasa yang dikuasai Gaea.
Gaea mengangguk sekali, "Nama kucingku Bintang, kau tahu Nadine, dia dari Bali, dia yang mengajariku bahasa Indonesia," jelasnya semangat, "bintang berarti star, kau tahu?"
"Oh, Bali iya ...." Rainer mengetahuinya, Eryk pernah ke sana berbisnis, namun dikiranya Bali itu sebuah negara, "tapi Indonesia? Aku baru tahu Bali termasuk Indonesia."
"Hei! Jangan salah iya, Bali termasuk Indonesia," kata Gaea sedikit menaikan nadanya, "walaupun aku baru tahu dari Nadine juga," lanjutnya malu.
"Siapa yang merasa malu sekarang?" kata Rainer mengejek.
"Oh, diamlah," kata Gaea tajam namun pipinya masih merona merah malu.
"Ini Bintang," suara Nadine mengakhiri percakapan mereka berdua.
Gaea menatap kucing kecil berbulu putih dengan corak bulat berwarna oranye itu penuh cinta padahal baru meninggalkan Bintang beberapa jam yang lalu sudah merasakan rindu, dengan semangat mengangkat Bintang, menggendongnya, menghadap Rainer lagi, memperlihatkan kucing miliknya, "Dia begitu imut, 'kan?"
Rainer melirik kucing kecil yang mungkin baru berumur lima bulan berada di tangan Gaea kemudian matanya kembali menatap wajah wanita itu, "Iya, dia imut ...," katanya serius.
Gaea tahu pujian itu bukanlah untuknya namun tetap merasa tersentuh, dan lagi kenapa mata Rainer saat berkata tertuju padanya? Ia jadi berpikiran lain, "Kau mau menggendongnya?"
"Tidak perlu, Gaea," Rainer menolaknya halus. Jika menyentuh Bintang dapat dipastikan akan kena marah Eryk juga.
"Jangan malu begitu, Rainer," Gaea tidak menyerah, mengangkat Bintang sehingga sejajar dengan wajahnya, "Bintang akan tinggal bersamamu juga, jadi aku mau kau berteman akrab dengan dia."
"Dia hanya seekor kucing," Rainer mengeluh dan lagi ia lebih masuk tipe yang suka anjing seperti halnya Eryk.
"Jangan berbicara seperti itu!" seru Gaea, "kau menyakiti perasaan Bintang, Rainer."
Rainer memutar bola matanya. Sekarang wanita di depannya ini terlalu mendramatisir keadaan, tentu tahu hewan memiliki perasaan hanya saja kali ini yang akan disentuhnya seekor kucing, musuh abadi Eryk, "Hm ...," Matanya secara bergantian menatap wajah Bintang serta wajah Gaea yang antusias yang memberikan perasaan hangat akan nostalgia padanya. Akhirnya bergerak mengulurkan tangan kanannya.
Gaea sejak tadi yang antusias akan respon Rainer berubah terkejut saat tangan pria itu terulur bukan untuk menyentuh Bintang akan tetapi justru ke dagunya, memberikan belaian lembut di sana yang memunculkan perlahan rona merah di kedua pipinya seiring gerakan tangan Rainer.
'Apa yang baru terjadi?'
Tubuh Gaea tidak bergerak bahkan hingga Rainer mengakhiri sentuhan di dagunya dan beralih mengambil Bintang dari kedua tangannya. Sentuhan Rainer memang singkat tetapi terlalu lembut untuk sekedar lelucon, memberikan petunjuk misterius lagi baginya.
Rainer membelai kepala kucing tersebut dengan lembut, "Dia tipe yang jinak, iya?"
Gaea tersadar dari lamunan, "Oh, uh, iya," Ia merutuk dalam hatinya akan jawaban yang jelas sekali terdengar gugup, berdeham untuk menormalkan degup jantungnya yang tengah berlari akibat Rainer, "benar, Bintang tipe kucing yang mudah percaya pada orang jika kau memperlakukan dia dengan benar, tentu saja."
"Kau tidak membicarakan dirimu sendiri, 'kan?" Rainer bertanya jahil.
"Hey!" sahut Gaea tidak terima.
Rainer tertawa renyah yang membuat Gaea juga ikut tertawa.
"Maaf jika aku menyela pembicaraan manis kalian," kata Nadine, "tapi siapa dia, Gaea?"
"Oh," Gaea lupa jika ada Nadine di sini, "Rainer, dia temanku," jelasnya, "dan sahabat dekat Eryk," Ia menambahkan agar terdengar masuk akal.
Nadine mengembuskan napas lega, "Aku pikir dia selingkuhan mu, kalian terlihat mesra," katanya, "aku mendukungmu dan Eryk sih."
"Huh!?" Gaea tidak menyangka Nadine menilai obrolan mereka seperti itu padahal dirasanya obrolannya dengan Rainer biasa saja, atau terlihat mesra karena sentuhan di dagunya? Matanya otomatis melirik diam-diam Rainer yang wajahnya terlihat tidak nyaman.
"Aku pikir sudah cukup kita di sini ...," Rainer bersuara akhirnya, mengembalikan Bintang ke Gaea, "kita pulang, Gaea."
Gaea tidak menjawab.
Iya, bisa dipastikan Rainer merasa tidak nyaman.
"Sedang bertemu denganmu, Nadine," kata Rainer sopan, mengulurkan tangannya.
Nadine membalas dengan senang hati, "Aku juga."
Rainer menarik kembali tangannya, mundur selangkah baru berbalik berjalan keluar.
"Terima kasih sudah menjaga Bintang, Nadine," kata Gaea.
"Tentu saja demi pelanggan setiaku," sahut Nadine, "dan selamat atas pertunanganmu juga, iya~?"
Gaea nyengir, dan menyusul Rainer yang sudah sampai di samping mobil dengan berlari kecil, "Kau tak perlu memikirkan ucapan Nadine, dia bergurau saja Rainer."
"Tidak," kata Rainer tanpa menoleh, "aku hanya menyadari aku terus melanggar apa yang aku buat saat bersamamu."
"Huh?" Gaea tidak mengerti sama sekali; melanggar apa? Melanggar mengobrol dengannya? Itu tidak masuk akal, ia bukan seorang kriminal.
"Lupakan aku mengatakan itu," kata Rainer, walaupun ucapannya sekarang tajam masih bersikap gentle dengan membukakan pintu mobil untuk Gaea.
"Hm," Gaea bergumam murung masuk ke dalam diikuti Rainer, "kita mau ke mana?"
"Kau bergurau, iya? Tentu kita kembali ke tujuan utama, apartemen mu," kata Rainer dingin.
Gaea memandang murung Bintang yang berada di pangkuan pahanya.
Iya, Rainer kembali menjadi dingin lagi.
Gaea memang sudah bertanya soal ini, namun ia ingin memastikan sekali lagi, "Memang bisa? Aku yakin bakal banyak Polisi," katanya, "dan berbicara Polisi ... kenapa kita belum dimintai keterangan?"
Gaea merasa aneh sampai sekarang tidak mendapat telepon dari Polisi padahal ia dan Eryk adalah korban.
"Itu karena Eryk tidak memanggil mereka."
"Excuse me?" Gaea tidak percaya Eryk tidak mengambil tindakan keamanan mengenai hal berbahaya seperti ini. Ia tahu betul bosnya itu bukan orang yang bertindak sembarangan. Eryk tipe yang mementingkan keamanan para pekerjanya. Lalu kenapa tidak meminta bantuan soal pembobolan apartemennya? Ia masih karyawan lagipula.
Atau ... mungkin ia sudah dipecat? Mana mungkin, 'kan? Jika demikian pasti takkan tinggal serumah dengan Eryk.
"Aku tidak mau kembali," kata Gaea, "kenapa tidak mengambil pakaian di koperku saja?"
"Kopermu berada di pesawat sekarang, Gaea," sahut Rainer datar.
"Oh!" Tentu saja, kopernya tadi sudah masuk ke bagian pemeriksaan, bagaimana bisa lupa? Ironis sekali pakaiannya berada di Cina sementara pemiliknya di New York, "Kau yakin aman?"
"Tentu saja," sahut Rainer, "kau mungkin tidak tahu, Eryk kembali mengecek apartemen mu Gaea, memastikan bahwa semuanya aman."
Gaea mengembuskan napas lega. Jika Eryk mengecek ulang bisa sedikit tenang, tapi tetap harus waspada.
"Jangan cemas, aku akan melindungimu apa pun yang terjadi," kata Rainer serius.
Kata-kata tersebut sukses membuat pipinya merona, Rainer mulai lagi menunjukan sifat hangatnya, walau tidak bisa melihat wajah pria itu dapat dirasakan keseriusan dari nada bicara, dan entah kenapa Gaea merasa spesial di mata Rainer sekarang.
"Kau punya mood seperti roller coaster, iya?" Gaea bertanya.
Sesaat Rainer akan membuat hatinya berada di atas awan kemudian menjatuhkan hatinya ke tanah dengan keras.
Gaea mulai lelah dengan sikap Rainer, ia bukanlah masochist yang suka disiksa, ia memiliki perasaan yang sensitif.
Siapa yang suka diperlakukan seperti ini? Orang-orang tidak ada yang mau.
Gaea juga akan mengerti bila Rainer memiliki trauma dengan wanita, takkan menilai jelek sebab setiap orang memiliki kelebihan serta kekurangan.
Seperti kata pepatah, tidak ada manusia yang sempurna.
Rainer tidak mengatakan apa-apa.
"Sekarang contohnya," kata Gaea sambil memutar bola matanya.
"Kau sudah selesai?" tanya Rainer datar.
Gaea menurut tanpa mengatakan apa-apa, tidak ada gunanya lagipula, sudah cukup hatinya dipermainkan seperti ini.
Gaea mengelus pucuk kepala Bintang yang berada di pahanya, kemudian tersenyum, hanya melihat kepolosan kucingnya sudah merasa lebih baik.
'Setidaknya Bintang tidak bermuka dua.'
Gaea mengembuskan napasnya, memandang kosong keluar jendela.
***
Tidak ada yang banyak dibicarakan oleh Rainer dan Gaea semenjak turun dari mobil bahkan ketika menaiki lift pun tidak ada satu pun dari mereka yang membuka percakapan.
Gaea sendiri tidak keberatan sebab Rainer tipe lelaki pendiam.
Gaea mengembuskan napas, semakin dekat dengan lantai tempat kamarnya berada semakin cepat degup jantungnya berdetak. Ia tahu ini, sedang dilanda perasaan panik dan takut.
Tidak bisa dipungkiri traumanya kembali mengguncang tubuhnya.
"Rainer." panggil Gaea pelan.
"Hm?" Rainer merespon singkat.
Gaea tahu ide di kepalanya memiliki kemungkinan kecil diterima namun tidak salahnya mencoba masih syok dengan kejadian tadi, "Bisa aku menunggu di luar saja?"
"Apa?" sekarang Rainer menatapnya, heran, "aku tidak bisa membereskan pakaianmu. Hint, hint. Baju dalam."
"Oh ...," Tentu saja, Rainer mungkin masih mau mengemas pakaian miliknya, tetapi pakaian dalamnya tentu masalah lain lagi nilai plus ternyata Rainer seorang gentleman, "jujur ... aku takut."
"Kau masih?" Rainer terkejut, namun detik kemudian mengerti; Gaea masih trauma merupakan sesuatu yang normal percaya itu pengalaman pertama Gaea. Sekarang merasa bersimpati, "Bagaimana kalau aku masuk duluan lalu aku akan memberikan kode kalau semuanya aman?"
"Rainer, aku trauma ...," sahut Gaea tanpa berpikir panjang, tak habis pikir dengan ide Rainer.
"Kau ... bisa memegang tanganku kalau mau," Rainer tahu ini ide yang aneh namun sudah kehabisan akal, situasi ini pertama kalinya dihadapinya, biasanya ia menyerahkan hal seperti ini pada orang lain contohnya ke Eryk.
Gaea terkejut mendengarnya, dan bertanya-tanya bisa dapat ide dari mana jika memegang tangan bisa menurunkan traumanya, "Hm ...," Kalau dipikir-pikir ide Rainer tidak buruk, hampir sama dengan apa yang dilakukan Eryk sewaktu syok tadi, sentuhan lembut Eryk yang menenangkan dirinya meskipun efeknya muncul sedikit lama, "Kau tidak apa?" Ia memastikan apa Rainer setuju.
Tidak ada salahnya mencoba, dan lagi ini ide Rainer bukan dirinya.
Rainer mengangguk, "Dan bila mau, kau bisa berjalan di belakangku juga, Gaea. Lakukan apa saja yang bisa membuatmu tenang."
Gaea tidak merasa itu ide yang bagus, "Kau tidak keberatan?"
Rainer menggelengkan kepalanya, dan di saat itu juga pintu lift terbuka, diulurkan tangan kanannya, "Aku tahu kau wanita yang kuat."
Ucapan yang sama dengan Eryk.
Gaea mengembuskan napasnya beberapa kali, sebelum akhirnya menerima uluran tangan Rainer, saat itu pula merasakan Rainer mengaitkan jari-jari mereka lembut.
'Bagus, sekarang aku gugup.'
Tangan Rainer di luar dugaan ternyata tidak kasar.
Gaea heran hanya dengan sentuhan kecil bisa membuatnya berdegup kencang, ini bukan pertama kali baginya berpegangan tangan dengan lelaki, kenapa reaksinya seperti ini pada Rainer? Ia menyukai Eryk.
Mana bisa perasannya mudah berubah.
Gaea tidak ingin mengambil pusing, mengikuti Rainer dari belakang dalam diam, sesekali menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri memastikan situasi aman, sampai mereka berhenti di depan pintu apartemennya. Ia maju satu langkah untuk mengecek sidik jari, setelah sukses baru membuka pintu dengan kuncinya.
Gaea tersadar bahwa Eryk tidak meminta kunci kamarnya, mungkin meminta kunci cadangan dari pemilik apartemen.
Rainer yang pertama masuk ke dalam dan menyalakan lampu kamar.
Gaea mengecek sekelilingnya lagi; tidak ada yang berubah dari terakhir kali kemari dan mulai berkemas mengambil koper cadangan di tempat penyimpanan barang.
Rainer membantu dengan merapikan kebutuhan untuk mandi sementara Gaea mengurus pakaian pribadi.
Gaea bersyukur dibantu Rainer pekerjaan menjadi lebih cepat, "Di saat seperti ini kau menjadi dirimu sendiri," katanya disela-sela kegiatan melipat roknya.
"Aku selalu menjadi diri sendiri," Rainer tidak menyetujui.
"Sungguh?" Gaea meletakan roknya ke dalam koper, lalu menarik resleting untuk menutup kopernya sampai ujung. Ia berdecak pinggang puas hasilnya, "tingkahmu kan ambigu."
"Kau sungguh-sungguh keras kepala, iya?" tanya Rainer merasa terganggu.
"Aku hanya berkata jujur," kata Gaea, "aku tak mengerti kenapa, dan mungkin karena hal ini kau masih sendiri."
Rainer sudah mencapai batas kesabarannya, "Kau yang meminta ini."
"Apa maksudmu sih?" tanya Gaea kebingungan, namun sebelum dapat mengambil bernapas, Rainer mendorong tubuhnya hingga punggungnya menyentuh dinding kamarnya, tangan Rainer juga berada di sisi kepalanya, mengurungnya agar tidak kabur. Degup jantungnya otomatis kembali bergerak cepat.
Kedua kalinya melihat wajah Rainer sedekat ini, dan menyadarkannya lagi ketampanan pria itu dan mengetahui ada tahi lalat lain berukuran kecil berada di rahang imut juga.
Semua yang ada pada Rainer menarik kaum hawa bahkan parfum beraroma mint, buah bergamot dan entah bahan apalagi diterima baik oleh indra penciumannya.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Gaea gugup.
"Kau ingin aku membuka diri padamu, 'kan?" tanya Rainer.
Gaea tidak menyangkalnya namun bukan seperti ini caranya.