Kini di depan rumahnya ada beberapa pria berpakaian serba hitam berkumpul dan mencari Widya. Di dalam kamar, wanita itu tampak ragu untuk keluar sebab trauma akan kejadian kemarin masih membekas. Ingin rasanya menolak permintaan pria asing kemarin yang entah mengapa tiba-tiba memintanya untuk menikah. Padahal kenal saja tidak, pikir Widya.
Mimpi apa malam itu sehingga harus mendapatkan cobaan yang begitu menggoyahkan. Selama ini merasa sudah jalan lurus-lurus saja tanpa ada niat menyimpang, namun mengapa cobaan berat selalu datang bertubi- tubi. Terkadang Widya merasa bahwa kebahagiaan memang tidak berpihak padanya, mungkinkah selama ini dunia memang tak menginginkan dia?
Kini di depan rumahnya ada beberapa pria berpakaian serba hitam berkumpul dan mencari Widya. Di dalam kamar, wanita itu tampak ragu untuk keluar sebab trauma akan kejadian kemarin masih membekas. Ingin rasanya menolak permintaan pria asing kemarin yang entah mengapa tiba-tiba memintanya untuk menikah. Padahal kenal saja tidak, pikir Widya.
"Keluar! Mereka mencarimu! Jangan bikin malu keluargamu, Sialan!" Kata-kata pedas itu keluar dari mulut ayahnya. Membuat wanita tersebut hanya bisa menunduk sambil berusaha untuk tidak menangis.
Gedoran demi gedoran terus terdengar. Bahkan pengunci pintu saja hampir terlepas akibat kuatnya ketukan dari luar. Benar-benar memutuskan untuk keluar, sebelum itu Widya lebih dulu menghembuskan napas kasar lalu benar-benar membuka pintu. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah Dhani, ayahnya dengan mata melotot sesuai dugaan.
"Anak gadis seperti apa kamu? Sudah pukul tujuh masih enak-enakan tidur? Pergi temui orang-orang itu!" teriak Dhani.
"Maaf, Yah," balas Widya, suara pelan dan bergetar.
Dirinya berjalan terus dengan kedua tangan saling memegang tanda gugup menyerang. Langkahnya berhenti saat kaki seorang pria berada tepat di depannya. Perlahan Widya menaikkan pandangan dan terkejutlah dirinya saat melihat pria yang waktu itu. Saat ingin memundurkan diri, lebih dulu pinggangnya ditarik oleh pria tadi dan melingkarkan tangan.
"Selamat pagi, calon Nona Gideon! Apa kabar, Sayang?"
Suara pria itu terdengar santai, namun tetap saja tak membuat ketakutan Widya menghilang. Malah semakin menjadi-jadi, membuatnya benar-benar ingin berlari, menghilang dari muka bumi.
Keterdiaman Widya dapat dilihat oleh pria tersebut. Semakin mengeratkan lingkaran pinggang kemudian menatap lurus pada Dhani.
"Kalau begitu, izin membawa calon istri saya untuk keluar sebentar," ujar pria itu dengan menatap mata Widya secara lekat.
"Ah iya, silakan! Pergi-pergi sana, bawa anak itu sesukamu."
Kini Dhani bersuara sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Dia juga tersenyum lebar ke arah Widya, namun siapa sangka ada maksud di baliknya.
Saat sudah berada di dekat mobil, pria tadi langsung melepaskan rangkulan tangan membuat wajah Widya mengerut sebentar. Tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana serta raut wajah dingin tak menampilkan ekspresi membuat keringat dingin keluar dari tubuh Widya.
"Silakan masuk! Ada yang ingin kubicarakan dengan anda."
Pria itu berucap begitu saja dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa ada pemberitahuan lain. Walau ragu-ragu, Widya mulai masuk dan dapat dia rasakan aura dingin di dalam, sedingin wajah pria yang ada di depan. Mobil pun mulai melaju menyusuri jalanan kota.
Sekitar sepuluh menit duduk diam tanpa bicara, kini mereka telah sampai di sebuah restoran. Tampak sepi tak ada pengunjung membuat Widya hanya bisa menundukkan kepala, sebab jarang-jarang memasuki tempat seperti sekarang. Dua pria berpakaian serba hitam putih berada di belakang, sedangkan pria yang sudah menjadi calon suami berada di depan jauh.
Pertama melangkah dapat matanya lihat ruangan bernuansa coklat serta lampu remang-remang membuat suasana sedikit menenangkan hati. Dua pria berpakaian hitam yang bisa disebut sebagai asisten, menuntun Widya ke arah tempat duduk sebelah kanan pojok.
"Terima kasih," ujar Widya saat salah satu asisten mengelap sofa yang ingin diduduki.
Matanya berkelana setiap sudut ruangan. Pandangan berhenti tepat pada calon suaminya yang berjalan ke arah dia. Terlihat sangat tampan dan begitu berkharisma. Sayang saja, Widya tak mencintai dan sangat takut pernikahannya akan sama seperti ayah dan ibu.
"Silakan baca ini dan dirimu akan mengerti."
Suara pria itu terdengar saat baru saja sampai di meja yang sudah direservasi. Widya mulai membuka lembar demi lembar setiap kertas yang berisi sebuah pernyataan tentang pernikahan. Mata gadis itu membelak saat mengetahui bahwa pria di depan menginginkan pernikahan kontrak selama beberapa tahun saja dan akan bercerai bila telah memiliki satu keturunan.
"A–apa ini?" tanya Widya spontan.
Sedangkan pria tersebut menaikkan sebelah alisnya. "Dirimu tak bisa membaca?"
Widya buru-buru menggeleng kemudian menatap pada beberapa lembar kertas yang baru dibaca dan juga pria di depannya secara bergantian.
"B–bukan begitu. M–maksudku, isi dari kontrak yang dirimu berikan."
Sedangkan pria itu hanya menampilkan sedikit senyum miring. Lalu mengambil kertas-kertas dan menatapnya intens.
"Mengapa anda sangat bodoh? Jelas-jelas sudah tertera di dalamnya bahwa pernikahan yang akan berlangsung hanya kontrak semata."
Benar-benar seperti perumpamaan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Padahal baru saja mendapat kabar untuk menikah paksa eh malah mengetahui hanya kontrak semata. Dada Widya saat ini benar-benar terasa sesak, rasanya ingin menangis saja.
"K–kontrak? Mengapa harus begitu?" Lagi-lagi Widya melontarkan pertanyaan.
"Jangan bilang kalau anda berharap pernikahan ini asli?" balas pria tersebut dengan mendekatkan diri pada Widya.
Ya, sekarang Widya kembali terdiam. Mulutnya kelu untuk berbicara lebih. Tak tahu dan takut salah bicara. Terlebih pria tersebut memang benar. Bukankah Widya tak menginginkan pernikahan berlangsung? Mengapa harus sedih?
Mempertaruhkan masa depan yang dia sendiri sangat takut untuk menjalankan. Namun akibat kelicikan ayahnya yang menerima pernikahan berlangsung membuat jebakan bagi diri sendiri. Sesulit inikah kehidupan?
"Anda tenang saja, kontrak ini tak akan memberangkatkan sepihak. Pihak pertama hanya menuntut pihak kedua sebagai istri di publik serta memberikan satu keturunan saja. Sedangkan pihak kedua bebas menuntut kebutuhan hidup seperti berbelanja kebutuhan sehari-hari atau keperluan wanita, jalan-jalan, fasilitas kendaraan atau lainnya. Simple, bukan?"
Panjang kali lebar pria tersebut ucapkan namun, mampu membuat Widya tercengang. Tak habis pikir dengan pemikiran pria yang ada di depannya. Bisa-bisanya mengatakan simple? Padahal memiliki keturunan tentu sangat susah dan mustahil.
"A–apa aku boleh m–menolaknya, Tuan?"
Kalimat pertanyaan dari Widya membuat pria itu melemparkan kasar kertas-kertas ke atas meja. Memutarkan kepala menyamping membuat Widya menelan ludah kasar.
"Berani sekali anda mengatakan ingin menolak! Apakah uang anda cukup membayar segala yang telah kuberi?"
"B–berikan aku waktu sebulan untuk melunasi seluruh hutang-hutang ini, Tuan."
"Kalau kubilang harus melunasi hari ini, bagaimana? Anda sanggup?"
"Kumohon berikan belas kasihan, Tuan pada saya."
Pria tersebut berdecih kemudian memajukan badan hingga sedikit lebih dekat pada Widya.
"Anda pikir seorang Kenzi Nicholas Sanjaya punya sifat belas kasihan terhadap orang lain?" katanya dengan wajah seolah merendahkan. "Kalau berpikir seperti itu berarti anda salah!" lanjutnya lagi, kali ini Kenzi menepuk-nepuk pipi Widya.