Seorang diri dengan pikiran berkecamuk membuat Widya benar-benar tak bisa berkata-kata. Ya, dia ditinggal pergi oleh Kenzi. Pria itu berpamitan sebentar untuk mengangkat panggilan dan berakhir dirinya dengan segala kegelisahan.
Padahal Widya bertekad tak ingin menikah karena takut akan kejadian seperti ayah dan ibu. Namun, apa? Kali ini dia bahkan menikah dengan cara tidak manusiawi dan juga calon suaminya lebih brengsek dari sang ayah. Seolah kehidupan ini menakdirkannya untuk terus berada di masa kelam. Tak pernah kebahagiaan besar datang. Jawaban yang harus diberikan pada pria tadi hanyalah menuruti sebab tak ada uang maka mulut pun ikut hilang.
"Ah, maaf menunggu lama. Intinya sudah sepakat bahwa pernikahan kontrak ini akan berlangsung. Tak perlu cemas sebab setelah bercerai anak itu akan ikut dirimu serta akan mendapatkan lima persen hartaku."
Jari-jari Widya hanya bisa mencengkram satu sama lain. Tubuhnya seakan lemah tak berdaya dan berakhir dengan diam saja.
"Sony!" Suara Kenzi memanggil asistennya.
"Ya, Tuan!" balas Sony dengan berdiri tegak mendekat pada Kenzi.
"Ambilkan surat perjanjian yang harus gadis ini tanda tangani.," perintahnya dan dengan sigap Sony meletakkan dokumen yang diminta ke atas meja.
"Nona, anda sudah tak memiliki pilihan lain. Mengapa begitu keberatan? Padahal kontrak ini membuat keluarga miskinmu menjadi kaya!"
Hinaan terakhir dari Kenzi membuat jari-jari Widya mencengkram satu sama lain. Dirinya merasa sangat rendah bila berhadapan dengan pria di hadapannya. Sambil menahan gejolak marah, buru-buru dia menandatangani kontrak tanpa membaca isi di dalam sana.
Kenzi yang melihat hanya tersenyum miring, diarahkan tangan mengambil kontrak tersebut. Dia menyuruh asisten bernama Sony untuk menyimpan sambil membisikkan sesuatu.
"Baiklah, Nona. Calon suamimu izin pamit pergi dan satu lagi, anda jangan pulang dulu sebab akan ada seseorang yang datang menemuimu."
Tanpa menunggu balasan, Kenzi sudah lebih dulu pergi meninggalkan Widya dengan kebingungannya. Terlebih ditinggal sendiri dan juga menemui seseorang? Ya, Widya berakhir dengan bermain ponsel sambil menatap ke arah luar restoran. Posisinya berada di pojok dan itu membuat Widya bersebelahan dengan kaca tembus pandang.
"Permisi, benar dengan Nona Widya?"
Dalam lamunannya tiba-tiba ada seorang wanita glamor berdiri di sebelah Widya sambil bersuara. Sedangkan Widya sendiri hanya mengangguk tipis. Matanya tak bisa lepas dari pandangan di depan. Menampilkan seorang wanita yang sangat menawan bahkan bila duduk seperti ini, Widya merasa menjadi sekumpulan abu saja. Tak sebanding dengan wanita di depan.
"Ada yang bisa saya bantu?" Widya tiba-tiba kepikiran buat bertanya. Terlebih sebelum pria itu pergi, mengatakan akan bertemu dengan seseorang. Ya, mungkin ini orangnya.
"Ehhh– tidak-tidak. Lebih baik kita perkenalan terlebih dahulu," ucap wanita itu dengan senyum manis. "Perkenalkan saya Stefanie Nay Tamara. Penata rias yang telah dipilih oleh Tuan Kenzo untuk merias diri anda," lanjutnya lagi.
Hal tersebut membuat kening Widya mengkerut, memikirkan apa maksud perkataan wanita tadi. Dirias? Untuk apa? Akankah Kenzi ingin menikahinya sekarang? Astaga! Mengapa begitu cepat dan terlalu mendadak. Bahkan bernapas saja Widya belum.
"Nona? Mengapa anda diam? Apa ada yang salah dengan ucapan saya?" Wanita bernama Stefanie tadi bertanya ragu-ragu membuat Widya berhenti dalam lamunan.
Sedangkan Widya menggeleng kemudian memperkenalkan diri. "Aku Widya.
Kemudian kembali bertanya pada wanita tersebut. " Maaf, apa boleh bertanya?"
"Tentu, nona ingin bertanya apa?"
Walau ragu-ragu, Widya berusaha untuk berbicara. "Anda ingin merias saya? Apa tuan Kenzi menyuruh riasan p–pengantin?"
Sontak pertanyaan dari Widya disambut dengan kekehan Stefanie. Bahkan wanita di depannya sampai terbatuk-batuk membuat Widya merasa malu.
"Nona ternyata benar-benar tidak sabar ingin menikah dengan Tuan Kenzi. Hahaha, tidak nona. Kali ini tuan hanya memerintah untuk merias ala pertemuan antar kolega."
"Pertemuan antar kolega?" Kembali Widya ulang.
"Iya. Mari nona ikut saya."
Lalu Stefanie berdiri dan berjalan meninggalkan Widya dengan wajah cengo. Astaga! Widya merasa akan ada kutukan baru buatnya. Segera mengikuti langkah Stefanie yang mulai menjauh.
Setelah melakukan perjalanan, ternyata Widya dibawa ke sebuah tempat seperti ruang riang. Banyak gaun-gaun indah bergantungan dengan rapi serta alat make up membuat mata Widya terus berkedip berulang. Jujur saja, seorang Widya mana pernah melihat langsung gaun-gaun indah. Hanya terbiasa melihat dari gambar dan itu pun tak dapat memegang.
"Nona, apa anda punya request tentang gaun yang akan dikenakan?"
Pertanyaan Stefanie memecah lamunan Widya. Dirinya hanya bisa menggigit bibir, bingung untuk menjawab apa. Sedangkan Stefanie yang melihatnya hanya tersenyum tipis lalu memanggil beberapa pelayan wanita. Menurut Widya tak kalah cantik membuatnya sedikit minder.
"Kulitmu putih tapi kelihatannya kurang perawatan," ujar Stefanie sambil menyentuh pipi Widya. "Baiklah, masih ada waktu untuk mengubah anda menjadi seorang putri," lanjutnya lagi sambil mendudukkan Widya ke bangku rias.
Stefanie mulai mengambil kertas khusus untuk wajah dan ditempelkan ke Widya, bermaksud untuk mengurangi minyak-minyak di muka. Sedangkan Widya hanya bisa pasrah walaupun sedikit risih dipegang-pegang.
Seorang wanita kembali datang dan mulai mengambil alih rambut Widya. Rambut panjang itu dipotong sedikit membuat Widya berteriak, "Hei, rambutku jangan dipotong!"
Akan tetapi, tangan pelayan wanita ditempelkan di bibir Widya sambil menyunggingkan senyum. Lanjut berbicara, "Tenang nona. Rambut anda akan kami buat jadi lebih bagus dan sehat."
Tak hanya itu saja, ada dua bahkan beberapa orang lagi mulai mendekati tempat Widya. Duduk dengan bersandar sambil menatap langit-langit ruangan, berpasrah pada Tuhan sebab seluruh tubuhnya sudah dikendalikan orang lain. Mulai dari tangan, kaki, rambut, wajah, bahkan lehernya ikut disentuh membuat Widya meliuk-liuk seperti ulat.
Akibat terlalu lama menyelesaikan semua yang ada di tubuhnya, Widya bahkan sampai tertidur. Menurut dia, sudah hampir lima jam berada di ruangan dan dirinya seperti mati rasa, sebab ditarik sana-sini.
"Mari ikut kami ke ruang ganti, Nona."
Dengan mata layu serta menguap, Widya hanya mengangguk kecil kemudian bangkit. Lagian dia tak bisa berucap apa-apa. Akan tetapi, ada enaknya juga menjalankan perawatan lima jam. Sebab tubuhnya seakan diurut, membuat saraf tegang jadi lemas.
Di dalam ruangan, mata Widya melotot sangat lebar. Sebuah gaun berwarna biru laut, serta pernak-pernik yang tak terlalu mencolok membuat kesan mewah ada di dalamnya.
"Bagaimana dengan gaun ini, Nona? Apa mau diganti?" tanya pelayan tersebut.
Widya sendiri menggeleng lalu mendekat ke arah gaun. Dia memegang dengan tangan gemetar lalu menatap ke arah para pelayan.
"G–gaun ini aku yang pakai?" Pertanyaan keluar dari mulut Widya dan pelayan tentu mengangguk dengan anggun.
"Gaun ini dirancang oleh Nona Callista, seorang desainer ternama dan sudah menjadi rekan Tuan Kenzi." Para pelayang memberi penjelasan.
"Sepertinya aku tak pantas memakai gaun semewah ini."
Widya merasa sadar diri. Dirinya hanyalah seorang upik abu. Mengapa terlalu senang sehingga tak membuka mata tentang keadaan sendiri.
"Mengapa tak pantas, Nona?" Seorang pelayang bertanya karena bingung.
Tiba-tiba Stefanie datang mendekati Widya. Dirinya berjalan bak model lalu menarik tangan Widya ke arah gaun.
"Siapa yang mengatakan anda tak pantas? Hei, Nona! Anda cantik dan begitu mempesona. Jangan merasa minder, ingat Stefanie selalu tahu bagaimana membuat seseorang menjadi bak putri kayangan."
Widya mengangkat kepala dan menatap ke sekeliling. Banyak pelayang tersenyum pada dia serta Stefani juga melakukan hal sama.
"Jangan pernah merasa kurang percaya diri. Setiap wanita punya kecantikannya masing-masing." Stefani lagi-lagi bersuara.
"Nona cantik, tak perlu merasa kurang percaya diri."
"Ayo, Nona! Jangan bersedih."
"Percayalah, Nona! Kalau manusia tak ada yang sempurna."
Para pelayan memberi semangat kepada Widyaz membuat wanita itu merasa sangat terharu, bahkan ingin menangis. Namun sebelum air mata benar-benar turun, Stefani lebih dulu memegang pipi Widya.
"Eh… jangan menangis. Sayang, wajahnya akan basah dan harus menata ulang."
Jadilah Widya tersenyum lebar, bahkan sangat lebar. Jarang-jarang dia mendapati motivasi dari orang lain. Bahkan biasanya hanya ejekan yang dapat didengar. Kini dia percaya bahwa di bumi ini masih banyak yang baik, mungkin susah didapatkan. Kini Widya sedang memakai gaun indah khusus buatnya. Sejenak melupakan rasa takut pada Kenzi kedepannya.