Gue menghela nafas dan kemudian membasuh mukaku dengan air keran dan melakukan wudhu hendak melakukan ibadah, gue selama ini tidak pernah meninggalkan ini karena pesan almarhum bokap dan juga ibu. Setelah selesai gue menelpon ibu, mba dan keluargaku yang lain apa mereka sudah makan atau belum. Mereka bisa memesan makanan dari kamar hotel.
Pernikahan ini bisa dibilang mendadak bagi gue dan keluarga besar dari pertama permintaan bos sampai sekarang kurang lebih tiga bulan ! seminggu setelah Mariana setuju, gue minta ijin untuk pulang kampung kepada pak Joko dan langsung di perbolehkan. Sudah 5 tahun gue merantau ke Jakarta meninggalkan kampung halaman.
Desa Mekar Sari terdapat di kaki gunung Gede, tapi sayangnya rumah gue sudah tidak ada, karena sudah di jual untuk biaya kuliah tahun sisanya sementara beasiswa hanya untuk 2 tahun pertama saja. Ternyata hal itu tidak bisa di perpanjang lagi. Bukannya tidak bisa hemat atau berpangku tangan dengan keadaan ini, gue sudah berupaya bekerja sambilan apapun itu untuk menutupi biaya kuliah walau negeri tetap saja biayanya mahal dan untuk hal yang lainnya bagi orang seperti gue. Gue bertekad untuk mengembalikan hal itu terhadap kedua orang tua suatu hari nanti.
Sejak bokap meninggal satu tahun sebelum gue lulus kuliah dan di wisuda karana kena serangan jantung, dan itu mengejutkan bagi gue karena bokap selalu sehat dan kuat walau harus diakui beliau suka merokok dan minum kopi, baik sebelum berangkat ke sawah maupun pulang dari sana. Justru nyokap yang beberapa kali sakit karena darah tinggi.
Gue tiba di rumah mba Dewi, yang untungnya kondisinya cukup baik sekarang ini perekonomiannya setelah mulai berdagang sayuran di pasar dan mempunyai kios sendiri. Sehingga bisa menampung ibu dan adik di rumahnya, gue bukannya tak pernah mengirim uang ke rumah, malah setiap bulan gue sisihkan dari gaji buat ibu dan adikku bersekolah.
"Assallamualikum !" gue mengucap salam.
"Waalaikum sallam !" ada jawaban dari dalam ketika dibuka ternyata ibu.
"Bu !" gue menyentuh tangan ibu untuk mencium tangannya.
"Mario !" ucapnya kaget dengan kedatangan gue. Tak lama mba Dewi dan Rani pun keluar mereka sama terkejutnya.
Akhirnya gue ceritakan alasan pulang ke rumah, kembali mereka terkejut tak percaya dengan semuanya.
"Kok mendadak gitu Mario ?" tanya ibu.
"Iya, apa lagi yang kamu akan di lamar itu putri dari bos sendiri !" mba Dewi menatap gue sambil menambahkan, gue terdiam apa harus diceritakan juga tentang semuanya ?
Gue menceritakannya hanya sekilas saja, karena perjanjian ini rahasia antara gue bersama bos tak boleh ada yang tahu. Akhirnya dengan berat hati ibu dan mba pun menerima dan menghubungi paman adik dari nyokap yang bersedia menjadi saksi menggantikan almarhum bokap. Dari situ sebulan kemudian lamaran ke rumah bos hanya diterima keluarga besarnya saja yang menerima gue dan keluarga sekaligus pertunangan di saat yang sama, setelah itu tinggal persiapan pernikahan yang semua di lalukan oleh pihak mertua alias si bos sendiri.
-----------------
Ponsel gue berdering ternyata itu dari bos sendiri, dia bertanya tentang keadaan gue sekarang.
"Iya, pak dia ada di kamarnya sendiri !" jawab gue. Perjanjian dengan Mariana gue pun beritahu kepada bos, papanya sendiri dan dia menyetujui semuanya dan gue hanya bisa menerima saja.
Setelah itu pak Joko menutup pembicaraan, gue mengambil nafas dan menuju telpon kamar untuk menghubungi Mariana, walau gue sudah tahu jawaban apa yang diberikan.
"Hallo ..."
"Apaan sih, kan gue udah bilang ! jangan ganggu gue ! ngerti !" ucapnya marah dan ketus.
"Engga, saya ..."
"Udah, ah ! fuck !" dia memaki dan menutup telpon, gue hanya menggeleng kepala. Gue tahu tingkat pendidikan sama dia tak jauh berbeda hanya dia lulusan luar negeri dan gue hanya lulusan dalam negeri.
Gue memutuskan berbaring untuk istirahat tak memikirkan apapun, sorenya gue bangun dan mandi, setelah itu melakukan ibadah dan mendapat telpon untuk makan malam bersama. Gue pun menelpon keluarga dan meminta mereka pergi duluan, sementara gue akan ke kamar Mariana untuk berakting sebagai suami istri yang bahagia karena sudah sah sebagai suami istri. Gue hanya memakai kemeja biasa.
Kamarnya berbeda lantai dengan gue, dia di suit room mewah sedang gue di kamar biasa. Suit ini memang di peruntukan untuk pasangan baru menikah dengan fasilitas lengkap. Gue mengetuk pintu karena tadi di telpon tidak menyahut. Tak lama pintu di buka dia sudah siap dengan memakai pakaian seperti mau ke pesta padahal hanya makan malam.
"Maaf ... " dia tak bicara sepatah kata pun langsung pergi begitu saja, sementara dia berjalan di depan gue, sedang gue dibelakang mengikuti bagai pembantu saja bukan suami.
Kami naik lift dengan berjarak seperti orang lain, tapi secara mengejutkan ketika pintu lift terbuka sampai di tempat tujuan dengan sigap dia merangkulkan tangannya ke lenganku, bau harum menyeruak hidung gue entah itu sabun atau parfum mahal miliknya, senyumnya mengembang. Pandainya berakting bagai aktris peraih oscar. Kami berjalan mesra cocok bagai suami istri. Ketika melewati kaca terlihat jelas status sosial kita berdua terlihat jelas dari cara berpakaian.
Ada 3 meja, dua untuk keluarga besar dan teman besan, satunya untuk keluargaku. Kami berpisah meja bagai bumi dan langit. Mereka asyik mengobrol sendiri sedang gue berusaha tersenyum melihat kekakuan dari keluarga gue melihat hal yang mengejutkan seperti ini. Makan malam dilakukan dengan prasmanan, dimulai dengan keluarga besar pak Joko dilanjutkan dengan keluarga gue.
Kami makan dengan hati-hati dan sopan, gue tahu banyak yang ingin ditanyakan oleh keluarga besar terhadap gue. Tapi mereka hanya terdiam.
"Cie, yang sudah menikah! bagaimana perasaannya ?" tanya teman dari Mariana yang tergabung arisan sosialita yang di undang khusus untuk makan.
"Biasa aja ah !" jawab Mariana singkat.
"Mau bulan madu kemana nih !" kulik yang lainnya.
"Ke Bali aja yang dekat hanya dua hari! soalnya gue sibuk !" dengan acuhnya, semua tahu pertanyaan itu hanya basa basi belaka.
Setelah itu obrolan beralih ke yang lain, sedang gue berusaha membuat keluarga gue bahagia.
"Ayo, paman, bibi dan lainnya tambah makanannya masih banyak kok !" ujar gue tersenyum bahagia padahal itu hanya akting.
"Sudah cukup Mario !" jawab paman.
"Ada kue dan es krim loh ! Dodi mau enggak ?" gue menawar putra dari paman dan dia mengangguk gue mengantar untuk mengambil es.
"Mom aku mau es krim !" teriak seorang anak kecil dari pihak keluarga besar besan yang tak kuketahui namanya siapa, kecuali keluarga inti.
"Ambil saja sendiri !" tungkas seorang perempuan, si anak cemberut. Gue datang dan memberikah satu untuknya yang sebenarnya buat gue, anak itu menatap gue dan tersenyum. Sedang gue duduk di meja.
"Rio, ayo kita ambil es krim !" ujar perempuan itu sambil mengambil gelas dari tangan anak lelaki itu dan menarik tangannya untuk pergi, sementara anak lelaki itu hanya bengong tidak mengerti, sedang gue tahu itu penolakan kasar dari keluarga pak Joko. Ternyata bukan hanya putrinya yang bersikap seperti itu tapi keluarga yang lain menganggap gue dipandang sebelah mata.
Gue melihat sorot mata sedih dari keluarga besar, yang hanya terdiam ...
Bersambung ....