webnovel

CINTA YANG PALSU

Gue hanya seorang lelaki biasa yang buncin, butuh cinta kata orang sekarang ... sekian lama gue mencari dan berpacaran walau selalu gagal, akhirnya tanpa di duga gue di jodohkan oleh bos dengan putri semata wayangnya yang cantik jelita dengan suatu syarat yang harus dipenuhi bila dilanggar maka gue harus menanggung akibat yang sangat berat ... Dan dimulailah penderitaan yang harus gue terima, membuat gue jatuh ke dasar jurang yang paling dalam ...

pangeran_Biru · Urbain
Pas assez d’évaluations
26 Chs

Bagian Empat

Pukul 11 siang kami pamitan hendak berbulan madu ke pulau Bali kepada keluarga besar pak Joko termasuk keluarga gue sendiri. Padahal tadi pukul 9 pagi gue sudah bersiap-siap. Kami masuk ke mobil sedan mewah milik pak Joko. Gue membantu mengangkat koper Mariana sebanyak 4 buah yang entah apa isi di dalamnya, padahal katanya cuman 2 hari di sana. Sementara koper yang gue bawa hanya satu itu pun yang sedang saja.

"Gan, sudah saya saja !" mang Umar menolak bantuan gue, dia orang baik.

"Tidak apa-apa mang, apa salahnya membantu koper istri saya sendiri !" jawab gue sambil tersenyum.

Akhirnya dia muncul juga, padahal gue hanya salaman dan pelukan 5 menit juga beres, sedangkan Mariana membutuhkan waktu 20 menit seperti akan berpisah lama.

"Lo duduk di depan !" perintahnya, mang Umar melirik ke arah gue dan membuka pintu belakang, Mariana pun duduk sambil menenteng sebuah tas mahal miliknya. Gue mengangguk, dan membuka pintu depan dan duduk di samping pak Umar.

"Kita kemana non ?" tanya pak Umar.

"Ke Bandara cepat ya, pukul satu kita udah mau berangkat ke Bali !" perintahnya sambil mengeluarkan kaca riasnya, tanpa melirik ke arah pak Umar atau pun gue.

"Baik non !" hanya itu jawaban pak Umar yang sudah bekerja selama 10 tahun menggantikan ayahnya yang sudah pensiun. Mobil pun melaju meninggalkan hotel menuju bandara untuk ke pulau Bali.

Terus terang bagi gue, ini pertama kalinya naik pesawat dan pergi ke Bali, bahkan tiketnya pun bukan gue yang pegang tapi Mariana yang kini asyik dengan ponselnya sambil senyum-senyum sendiri, sementara gue dan pak Umar hanya terdiam tak berbicara.

Tak lama kami tiba di bandara, pak Umar memberitahu untuk mengambil troli untuk membawa tas koper milik Mariana, dengan sigap gue mengambil sementara Mariana dengan cuek mengobrol tanpa memperdulikan gue dan pak Umar mengeluarkan tas koper dari bagasi mobil dan terakhir tas koper gue.

"Hei, jangan disatuin itu tas mahal tahu !" teriak Mariana kepada gue, gue pun menurunkan tas koper gue dari tumpukan koper milik Mariana.

"Maaf non saya yang salah !" ucap pak Umar, aku tersenyum karena dia telah membela gue dan mengambil tas koper gue sendiri.

Setelah itu pak Umar hendak memarkir mobilnya tapi di cegah Mariana dan menyuruhnya cepat pulang katanya papanya memerlukan mobil lagi, dia berpamitan sama gue, dan gue mengangguk. Gue pun membawa troli dan satunya membawa tas koper gue sendiri yang dipisah.

"Gue udah sampe bandara nih! iya, engga tahu mungkin baru pertama kali! dasar orang kampung ha ... ha ...!" Mariana tertawa, gue hanya mendengar dia sedang mengobrol entah dengan siapa, sambil membicarakan gue.

"Nih tiket lo, pegang jangan sampe hilang mahal tahu! lo bakalan engga bisa bayar nih tiket! sini tasnya biar gue bawa sendiri !" ucapnya setelah selesai menelpon dan memberikan tiket ke gue. Dan dia berjalan duluan, gue hanya mengikutinya.

"Maaf pak, tiket bapak di kelas ekonomi! silahkan menunggu di sana! sementara nona tadi di kelas bisnis dan dia menunggu di ruang VIP bandara !" jelas seorang pramugari ketika Mariana masuk ke ruangan ternyata itu VIP dengan tiket khusus sementara gue di kelas ekonomi.

Ponsel gue berdering dan itu dari pak Joko, gue menceritakan semuanya dia hanya mengangguk mengerti.

"Ingat Mario point ke dua, saya tidak perduli bagaimana caranya kamu untuk mendapatkan itu, mengerti !" ancamnya, gue kembali menghela nafas dan mengangguk.

"Iya pak, saya akan berusaha !" jawab gue.

"Bagus! tolong terus kabari saya !" ujarnya.

"Iya pak !" ucap gue.

---------------------

Tak terasa gue sudah tiba di Bali, Udara panas menyengat. Mariana sudah naik mobil penjemputnya sendiri tanpa gue, tak lama ada yang menjemput gue. Sebenarnya masih satu hotel tapi beda kelas ada yang biasa dan Resort pribadi. Dan kembali gue harus beda kamar dan tempat penginap.

Tarif resort di hotel ini sangat mahal dan khusus untuk pasangan yang berbulan madu, sedang gue di kamar biasa dan untungnya menghadap ke pantai jadi cukup membuat gue lega. Tak menyangka gue bisa kesini, oh iya kalian pasti bertanya kemana kado pernikahan kita berdua, tak ada yang tahu termasuk gue.

Gue melakukan ibadah dulu setelah itu melaundry bekas pakai selama akad nikah dan reaepsi pernikahan. Karena tidak sempat. Gue pun mencoba menelpon Mariana untuk kegiatan selama disini tapi bukan jawaban baik justru marah-marah dan memaki gue dengan kata kasar.

"Dengar ya, lo tuh bukan suami gue tahu! ingat perjanjian kita! jadi gue mau kemana itu urusan gue bukan lo! ngerti !" dan dia pun menutup telponnya begitu saja, memang sesuai perjanjian gue dan dia bersikap sebagai suami istri di saat situasi tertentu saja, lain itu tidak.

Oke kalau begiru, gue pun turun ke bawah untuk makan malam dan menuju repsionis untuk bertanya tentang Mariana, mereka sempat curiga tapi gue jelaskan sesuatu dan mereka mengerti dan akan memberitahu gue dengan merahasiakan hal ini. Info pun di ketahui dia makan di luar dengan seseorang dan setelah itu pergi ke sebuah klub, karena Mariana menyewa mobil dari hotel secara khusus.

Setelah makan malam, gue pun menuju tempat di mana Mariana sekarang berada.

"Ini tempatnya, tapi ini klub exklusif hanya orang berduit dan bule juga ada !" jelas sopir yang membawa gue, dan memutuskan untuk pergi jalan-jalan melihat toko-toko menjual apa, lebih banyak pakaian dan aksesorisnya. Dan kembali ke hotel.

Gue meminta si supir memata-matai Mariana dengan menyisipkan sejumlah uang apa pun yang terjadi besok harus diceritakan kepada gue, si sopir sih oke saja asal dibayar. Gue kembali ke kamar dan beristirahat.

Keesokan paginya, sebenarnya gue sudah memesan sarapan pagi tadi malam agar paginya sudah di antar. Seperti biasa bangun pagi-pagi tetap menjalankan ibadah dan menuju balkon menikmati udara pagi di pantai. Pukul setengah tujuh pagi gue mandi dan sarapan, karena setelah selesai mandi dan berpakaian 10 menit kemudian sarapan pagi datang. Biasa memesan nasi goreng serta minumannya atau sarapan ala Indonesia, lebih kenyang bila dibanding makan roti saja. Ya namanya perut orang Indonesia kalau belum makan nasi belum kenyang ! padahal sudah makan roti.

Gue mendapat sms dari si sopir, akhirnya ketemuan di area kolam renang, untung sudah sarapan dan menuju ke sana.

"Hallo, bos !" sapa si sopir berusia 40 tahunan itu sambil tersenyum.

"Emang saya punya tampang bos ya ?" tanya gue heran.

"Ya elah bos, soal tampang nomor sekian yang penting punya duit! wanita cantik mana yang engga suka itu !" jawabnya sambil tertawa. Gue menghela nafas, jadi seperti itu ya ?

"Bagaimana ?" tanya gue.

"Beres bos, ternyata perempuan itu pulangnya sama cowok bos! keduanya kembali ke hotel dalam keadaan mabuk !" ujar si sopir berapi-api persis seperti detektif yang memberikan informasi.

"Maksudnya mereka berdua ke hotel ini ?" tanya gue tertegun, si sopir bernama Hasan itu mengangguk, dia memberikan bukti sebuah foto di ponselnya, hebat juga dia. Dan benar ternyata dia Mariana dengan seorang lelaki ganteng tapi gue enggak kenal siapa dia.

"Oke, terima kasih atas infonya !" gue kembali menyelipkan sejumlah uang ke saku bajunya.

"Oh iya bos mereka mau jalan-jalan hari ini ! dan kebetulan sopirnya saya ! bagaimana ?" tanyanya, gue menatap Hasan.

"Oke, tetap awasi dia ya !" jawab gue.

"Sip bos !" dia tersenyum, kami kembali ke lobi tapi kemudian terhenti dan bersembunyi ketika melihat Mariana berangkulan mesra dengan seorang lelaki yang sesuai foto yang di berikan Hasan,

"Tuh bos! benarkan ?" ujarnya, gue menyuruh dia duluan pergi.

Gue terdiam, ini bisa jadi bukti tapi gue tak akan memberitahu si bos alias papanya dahulu soal ini. Biar ini buat gue sendiri dulu. Gue teringat beberapa waktu lalu sebuah peristiwa yang membuat si bos menjadi percaya sepenuhnya kepada gue. Sebagai karyawan yang sudah 4 tahun bekerja di perusahaan ini. Ketika baru pertama bekerja gue merasa di ospek oleh para karyawan lama dengan segunung tugas, yang mengejutkan hampir semuanya tidak ada hubungan dengan bagian gue.

Gue sempat protes dengan hal ini, mereka malah nyinyir bahwa baru menjadi karyawan saja sudah protes ini itu, bagaimana nanti. Gue terdiam serba salah, akhirnya semua gue kerjain tak perduli itu bukan bagian gue. Dan ternyata gue bisa mengerjakannya tanpa mengetahui apapun dan benar.

Rupanya hal itu ada yang mengawasi, gue melakukan itu selama sebulan. Ada sebanyak 20 tugas setiap harinya di meja gue ...

Bersambung ....