webnovel

Air Mata Kanaya

Waktu berlalu pagi dengan sangat cerah, suara burung bernyanyi di taman depan penginapan keluarga Rarendra. Mahis terlihat fres.

Mahis sangat sibuk, ia sering meluangkan waktu bertemu klien, ketimbang bertemu istrinya, hampir 10 hari dia pulang hanya mandi, lalu pergi lagi. Aya selalu sabar dengan sikap suaminya, yang acuh kepadanya, Mahis duduk sambil komat kamit entah bacaan apa yang di baca.

"He..hehe" tawa Aya bergurau di depan dengan seseorang. Ternyata tetangga memberikan buah. Aya masuk dan kembali menata masakannya.

"Hay, Kamu, kecilkan volume bicaramu, ini hari minggu. Aku santai. Butuh ketenangan." suruh Mahis lalu fokus dengan ponselnya.

'Entah dia sibuk sama klien atau mantan?' batin Aya berusaha sabar menghadapi suaminya. Aya lalu menghubungi Ibunya. Tetap saja panggilan telepon darinya tidak diterima.

"Apa salahku terlalu fatal. Aku juga putrinya, kenapa dari dulu ibu selalu acuh. Ibu acuh, suami acuh. Huft ... ya Allah," gumam Aya.

Aya merangkul kedua kaki yang ditekuk dengan merana, menelan saliva yang berat dengan diiringi dada yang sesak. Butir kristal jatuh dari kelopak matanya.

FLASHBACK TIGA BULAN YANG LALU.

Terlihat di sana seorang pemuda tampan tengah berboncengan dengan gadis yang sangat cantik.

"Terima kasih ya Dik, sudah mau mengantar kakak membeli hadiah untuk ibu."

"Sama-sama kak."

'Semoga ibu menyukai hadiah dari ku, walaupun ini hadiah kecil akan tetapi dari hasil keringat ku, apalagi yang aku tahu Ibu sangat menginginkan barang ini. Hehe, jadi tidak sabar, selama ini hanya adik yang sudah bisa membahagiakan ibu.' batin Kanaya penuh harap.

Bruakkk!

Kedua saudara itu terlepar setelah ada mobil yang oleng menabrak sepeda motornya. Sang pemuda terpental lalu tertabrak mobil sementara Kanaya jatuh terseret di tengah jalan. Dengan sedikit membuka mata, Kanaya melihat tragedi kematian adiknya.

"Adik ..." Setelah itu Kanaya tidak sadarkan diri.

****

"Kakak macam apa yang tidak bisa menjaga adiknya?! Aku tidak sudi melihatnya! Aku tidak sudi memaafkannya! Anggap saja dia anakmu Mas. Bukan anakku!" suara lantang wanita paruh baya terdengar jelas.

Kanaya mendengar perkataan yang menyakitkan hatinya. Dia sudah siuman namun tetap menutup mata. Air matanya berlinang dengan mudahnya.

KEMBALI KE KANAYA SAAT INI.

Air mata Kanaya semakin deras ketika teringat kejadian menyakitkan itu.

"Aku sakit, apa aku bukan anak Ibu. Hingga Ibu tidak memaafkanku?" pertanyaan itu terbesit. Kanaya segera membersihkan diri dan berusaha menghadapi kenyataan yang menyakitkan.

Malam yang sangat indah dan mulai dingin, Mahis dan Aya akan pergi ke acara pernikahan teman Mahis.

Mahis menanti Aya. Aya datang dengan gaun warna kuning. Mahis yang awalnya fokus dengan hpnya, kemudian melihat Aya, tatapannya aneh. Aya sangat memukau ia sangat cantik, Mahis berdiri memutar Aya.

"Ganti!" titah kasar Mahis, Aya terkejut.

'Tidak mungkin ia terpesona, dia lama tidak tidur di rumah karna pasti malas melihatku, berhari-hari selalu sendiri dan marah, dia hanya datang menyuruh dan bla, bla, bla Dasar.' batin Aya, Aya kembali ke kamar dan gati baju lagi.

10 menit kemudian Aya datang dengan gaun warna ungu. Ini sangat sempurna untuknya, Mahis melihatnya, mengamatinya.

"Bawa semua sini baju mu!" titahnya, Aya mengepal tangannya, ia berusaha sabar, ia kembali ke kamarnya. Mengambil semua baju yang menurutnya bagus.

"Nih." Aya menjatuhkan semua baju di meja depan Mahis duduk.

"Ya sudah pakai itu saja." Mahis mengendus. "Bau, sana pakai parfum." ejeknya.

"Kamu pergi sendiri." Aya malas, ia melepas hijabnya, lalu menyalakan TV.

"Ayo." Mahis menarik tangan Aya, dan memakaikan hijab untuk Aya, jarak yang begitu dekat, sangat membuat Aya gugup. Aya merebut hijabnya, lalu memakai sendiri. Dengan kesal Aya terpaksa menuruti.

Mereka berjalan lalu masuk mobil, saling diam suasana sangat hening, mobil melaju. Aya asik dengan ponselnya, jari telunjuk Mahis mengetuk-ngetuk.

"Kini ku menemukanmu, di ujung waktu ku patah hati." ia bernyanyi dengan suara pelan lagu dari band Seventeen yang berjudul menemukanmu.

"Awas nanti jatuh cinta, cinta kepada diriku, jangan-jangan kau jodohku..." Aya bernyanyi, Mahis meliriknya, Aya mengeluarkan tangannya menikmati semilir angin lembut tak terlihat namun terasa.

"Jika aku bukan jodohmu, ku berhenti mengharapkanmu, jika aku memang tercipta untukmu, ku kan memilikimu..." Mahis menyanyikan lagunya Afgan.

Mereka berdua bersaingan, bersahut-sahutan lagu. Mereka sampai di rumah megah, yang di hias sangat indah dan mewah.

Mahis turun dan membukakan pintu dengan cepat Aya turun 'Di depan teman-temannya sok so sweet. Kalau lagi berdua seperti patung hidup dari negri es. Sungguh terlalu.' Batin Aya.

Mahis mengandeng erat tangan Aya. Ini baru pertama kali setelah pernikahan menginjak minggu ke tiga. Mereka terlihat sebagai pasangan yang sangat serasi.

Mahis memperkenalkan Aya kepada rekan-rekannya, banyak yang memujinya cantik, dan mereka serasi. Aya menjabat tangan dengan senyum tipis.

Mereka berjalan ke pengantin. Aya tidak sengaja menampik seorang pelayan yang membawa gelas hingga gelas itu pecah, hal ini menjadi tontonan yang memalukan bagi Mahis, ketika semua mata tertuju kepada istrinya.

"Ce." keluh Mahis, Aya merasa malu ia menggandeng tangan Mahis, Mahis menghindar.

'Sangat menyakitkan. Dia bukanlah orang yang melindungi istrinya." batin Aya, Aya sudah ingin menjerit dan menangis. Namun ia menahannya.

Setelah mengucapkan selamat. Mereka berjalan turun.

"Kamu itu. Tolong jangan ceroboh!" tegur Mahis dengan berbisik.

Mereka duduk. "Hai Mahis." panggil wanita modis, Mahis berdiri mereka bersalaman. Aya ikut mengulurkan tangan. Tapi tak di anggap sama perempuan itu.

"Bagaimana kabarnya mbak Lia?" tanya Mahis. Aya merasa tidak di anggap. Ia kembali duduk, wanita itu mengulurkan tangan.

"Ya." panggil Mahis, Aya baru sadar mereka akhirnya bersalaman.

"Maaf Mbak, dia memang." Mahis belum selesai, Aya mengembalikan gelas ke meja dengan sedikit keras.

"Maaf," sahut Aya pergi begitu saja. Ia sudah tidak bisa menahan rasa sakitnya, rasa di dada yang begitu sesak.

Mahis mengejarnya mereka di depan jalan. "Kamu itu kenapa sih." Mahis menarik tangan Aya, Aya melepas tangan Mahis.

"Aku capek," ujar Aya.

"Ya sudah pulang sana!" suruh Mahis dengan suara keras. Aya melepas sepatunya, dan berlari.

'Walau menikah dengan orang kaya, belum tentu bahagia karena dia, tidak mau membuka hatinya. hiks.' batinnya meronta. Ia melihat sepeda motor yang di kenalnya.

Ya benar saya itu Hanif, Hanif berhenti di depan Aya. "Bahaya pulang sendiri, ayo aku antar," ajak Hanif, Aya naik motor itu, dan pergi. Tanpa tahu Mahis sebenarnya sudah pamit dan pergi dari parkiran dan berniat mengantar Aya.

"Aku tidak mau tahu urusanmu dengan dia, jika aku ikut campur akan bahaya. Aku hanya mengantarmu

pulang," ucap Hanif. Aya juga diam dalam tangisannya.

Mereka tidak saling bicara, Aya turun di penginapan keluarga Mahis. "Terimakasih." Aya masuk, Hanif pergi.

Aya duduk dan meratapi kesendiriannya. Setelah berfikir. Ia membuang nafas, dan mengambil tas, ia segera memasukkan semua baju di tasnya.

Suara pintu di ketuk dan seperti ada yang mengucapkan salam.

"Assalamualaikum." jelas suara wanita, Aya hendak membuka pintu. Ada yang menariknya dari belakang. Aya terkejut dengan reflek menginjak kaki orang itu.

"Pak su." Aya melotot "Kapan datangnya? Atau hantu yang menyamar!" Aya hendak memukul, Mahis mencegah.

"Halu. Au sakit." Mahis masih kesakitan Aya akan membukakan pintu, Mahis menarik tangan Aya mereka berdua terjatuh di sofa.

"Itu Oma, tolong kamu bereskan semua barangmu, pindahkan ke kamarku. Oke, aku yang akan mengalihkan biar Oma tidak tahu kalau kita beda kamar." pinta Mahis, Aya berdiri.

"Jika ini kepentinganmu, kamu yang bereskan, aku yang ngobrol dengan Oma," ujar Aya, Mahis terkejut karna istrinya berani. Aya pergi untuk membuka pintu.

"Wa'alaikumsalam." Aya membuka pintu. "Oma. Sama siapa?" Aya mencium tangan oma.

"Tadi sama Rafka. Oma kangen sama kamu. Cepat hamil ya." Mereka masuk, kata Hamil membuat Aya terpaku dan menelan ludah kasarnya.

Aya mengajak Omanya ngobrol, "Duduk dulu."

"Oma hanya sebentar saja." Oma melihat Mahis. "Mahis, Oma mendapat laporan jika kamu tidak peduli dengan Aya diacara pernikahan klienmu. Oma tidak akan diam jika kamu megulangi perbuatanmu itu. Suami itu melindungi bukannya acuh!"

Mahis tertegun. "Sudah Oma pulang, kata Rafka pekerjaan akan selesai, jadi cepat pulang!"

"Baik Oma," kata Mahis pasrah. Aya hanya merunduk lalu keduanya mengantarkan Oma ke depan.