Blake melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari tempat tinggalnya bersama Adora. Pria itu memasang wajah kesal yang tak jarang mengundang tatapan aneh orang-orang di sekitarnya. Namun, seperti biasanya Blake tidak terlalu memperdulikan hal itu.
Pria itu melangkah tak tentu arah. Entah kemana ia akan pergi, ia masih belum mengetahuinya. Yang terpenting baginya saat ini adalah menjauh sejenak dari tempat tinggal seorang iblis cantik yang bernama Adora.
Hari sudah senja. Matahari tak lagi bersinar secerah siang hari tadi. Namun, tetap saja langit kota London di sore hari ini tampak lebih cerah dari pada sore-sore sebelumnya.
Entah apa yang membuat Blake tiba-tiba melangkah ke arah sungai Thames. Pria itu baru saja menyadari hal tersebut ketika matanya melihat sebuah lingkaran raksasa yang terletak di seberang sungai Thames. Barulah ia sadar ternyata kakinya telah melangkah cukup jauh dan membuatnya berakhir di tepi sungai legendaris itu.
Blake terdiam. Pria itu menyandarkan sikunya pada pagar pembatas di tepi sungai. Ia menopangkan hampir seluruh beban tubuhnya pada pagar tersebut.
Seperti biasanya, sungai Thames selalu ramai dikunjungi baik oleh masyarakat lokal maupun wisatawan asing yang berkunjung untuk menikmati keindahannya.
Dari tempatnya berdiri saat ini, ia dapat melihat Tower bridge yang berdiri dengan gagah di atas sungai. Di bawah jembatan raksasa itu, terdapat beberapa kapal barang maupun penumpang yang berlayar di sungai Thames. Dan jangan lupakan lingkaran raksasa legendaris yang terlihat begitu menawan di sebereang sungai sana. Masyarakat lokal maupun turis mancanegara biasa menyebutnya dengan London eye.
Blake bertanya-tanya mengapa benda raksasa itu diberi nama London eye. Apa karena bentuknya yang menyerupai lingkaran raksasa? Atau ada hal khusus lain? Atau mungkin, jika seseorang berdiri di atasnya ia akan bisa melihat penjuru kota London dari atas sana. Entahlah, apapun alasannya Blake sama sekali tidak perduli.
Tiba-tiba bayangan tentang Adora melintas begitu saja di benak pria itu. Ia seketika teringat bagaimana wanita itu tiba-tiba termenung di kursi kebesarannya. Padahal, ia selalu mengoceh hal-hal yang tidak perlu bahkan sampai membuat Blake muak mendengarnya.
Blake masih yakin dengan instingnya. Di mana penyebab diamnya wanita iblis itu adalah wanita iblis lain yang datang berkunjung ke tempat mereka sebelumnya.
Blake mengingat bagaimana Adora seketika berubah usai mengantarkan iblis sexy itu keluar dari tokonya. Wajahnya yang tadinya tampak begitu angkuh kini seperti seseorang yang tengah dililit hutang. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya merasa begitu terbebani. Itu adalah kali pertama Blake melihat Adora bersikap demikian.
Sebenarnya, hal itu membuat dirinya senang karena Adora tidak akan menyuruhnya melakukan hal yang aneh-aneh. Namun, di satu sisi ia sedikit merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap wanita itu. Sama seperti wanita lain, Adora sangat sulit ditebak pola pikirnya. Blake khawatir setelah ini, wanita itu akan semakin bertindak macam-macam lagi.
"Paman?"
Blake menoleh saat mendengar suara lembut milik seorang anak memanggilnya. Ia juga merasa ada sesuatu yang menarik ujung jas nya yang bewarna hitam.
Blake mengerutkan dahinya saat melihat sosok bocah laki-laki yang terlihat familiar menurutnya. Di belakang bocah itu, berdiri seorang pria tampan yang tengah menatapnya datar.
Blake mengenalinya sekarang. Ia adalah pria yang pernah mampir ke toko Adora. Pria yang mengantarkannya pulang tadi siang. Dan bocah laki-laki itu adalah putra dari pria tampan yang sangat tidak menyukai Adora.
"Kau? Kau bocah yang nyaris mati itu, bukan?"tanya Blake seraya menunjuk tepat di wajah anak laki-laki itu.
Anak itu seketika cemberut saat mendengar sebutan Blake untuk dirinya. Ia mengerucutkan bibirnya sehingga membuat wajahnya kian terlihat lucu.
"Paman, namaku Ken. Bukan bocah yang nyaris mati."ucapnya kesal.
"Sama saja. Bukankah kau itu pernah hampir meninggal? Jadi, sama saja."ujar Blake seraya mengibaskan tangannya di depan wajah.
Sean menatapnya tajam. Pria itu jelas tidak terima dengan sebutan yang Blake berikan untuk putra semata wayangnya.
"Tidak kau, tidak wanita itu, kalian berdua sama saja. Sama-sama tidak punya sopan santun saat berbicara."cibir Sean seraya menatap Blake sinis.
Namun, Blake sama sekali tidak merasa tersinggung. Pria itu hanya menatap datar Sean dan Ken secara bergantian.
"Kenapa kalian berdua marah? Aku hanya mengatakan kebenarannya."ucap Blake.
Sean memutar bola matanya malas. Pria itu merasa berbicara dengan Blake akan sama rumitnya berbicara dengan Adora. Karena itu, ia memilih untuk diam saja.
"Kalian berdua terlihat mirip."celetuk Blake.
"Tentu saja, dia itu daddyku."balas Ken sambil tersenyum bangga. Sementara Blake lagi-lagi hanya menatapnya datar.
"Paman, di mana bibi Adora?"tanya Ken.
Blake tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya ia menjawab, "Entahlah! Mungkin ia sudah mati sekarang. Terakhir kali aku melihatnya di toko. Tidak tahu sekarang apa dia masih hidup atau tidak. Tapi, dia itu iblis! Apa iblis bisa mati seperti manusia?"
"Siapa yang iblis, paman?"tanya Ken yang tampaknya tidak mengerti apa yang tengah dibicarakan oleh pria di depannya itu.
"Paman Blake sedang bercanda, Ken. Mungkin paman itu ingin mengatakan Bibi Adora hanya saja ia tak sengaja menyebutnya iblis."jawab Sean sebelum Blake sempat menjawab pertanyaan putranya yang pasti akan lebih membuat bocah laki-laki itu kebingungan.
Ken memandang Blake penuh tanya. "Lalu, kenapa paman menyebut Bibi Adora iblis?"
"Ya, mungkin karena sifat bibi Adora yang seperti iblis. Karena itulah, paman Blake menyebutnya iblis." Lagi-lagi, Seanlah yang menjawab pertanyaan Ken.
"Hey, dia itu bertanya kepadaku! Bukan kepadamu!"protes Blake yang kesal karena sejak tadi Sean selalu mengambil gilirannya. Sementara duda anak satu itu hanya mengedikkan bahunya sebagai respon atas protes yang diberikan Blake padanya.
"Bibi Adora itu baik. Paman Blake tidak boleh mengatakannya seperti iblis."ujar Ken di tengah-tengah perselisihan antara ayahnya dan Blake. Ucapan bocah itu, membuat kedua pria yang berdiri di dekatnya sedikit terkejut. Mereka kompak menatap ke arah Ken tak percaya.
"Itu tidak benar!"ucap Sean dan Blake kompak. Setelah mereka menyadarinya, mereka berdua sontak saling membuang muka dengan masam.
"Itu benar, daddy! Bibi Adora itu orang yang baik."tekan Ken.
Sean memandang Ken bingung. Pria itu benar-benar tidak percaya putranya sendiri membela seorang iblis seperti Adora. Andai saja Ken tahu kalau wanita yang tengah ia bela saat ini adalah seorang iblis yang begitu menginginkan nyawanya.
Begitupun dengan Blake, pria itu sama tidak percayanya dengan Sean. Ia benar-benar terkejut dengan respon Ken terhadap Adora. Bagaimana bisa bocah itu mempunyai sikap yang berbeda dengan ayahnya. Di saat ayahnya dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Adora, bocah itu malah membela Adora di depan ayahnya sendiri.
"Kutarik kembali ucapanku tadi. Kalian berdua sangat-sangat tidak mirip."ucap Blake di tengah-tengah keterkejutannya.
"Paman, Blake."panggil Ken dengan suara lembutnya.
"Hm?"
"Di mana bibi Adora?"tanya Ken.
Blake mencebikkan bibirnya sembari memutar bola matanya malas. "Sudah kukatakan aku tidak tahu. Mungkin dia sudah mati sekarang."
"Di mana paman terakhir kali melihatnya?"tanya Ken.
"Di tokonya yang membosankan. Kenapa kau mencarinya? Apa dia mempunyai hutang denganmu?"
Ken menggelengkan kepalanya. Tangan kecilnya menggenggam tangan Blake yang jauh lebih besar daripada tangannya. "Aku ingin bertemu dengannya. Bisa kau membawaku ke toko bibi Adora sekarang?"