"Kupikir kau sudah melupakannya. Namun, dengan adanya toko ini, menandakan semua itu masih berbekas dalam pikiranmu. Seolah kau ingin melupakannya, namun kau tidak cukup kuat untuk melepaskannya."
Adora tengah duduk termenung di kursi favorite nya. Wanita itu terus saja memikirkan kalimat yang diucapkan oleh Lilith sebelum ia pergi.
Tingkah Adora yang tiba-tiba diam itu, mengundang perhatian Blake. Ia menatap bingung pada wanita itu.
"Kau baik-baik saja?"tanya Blake.
Adora tidak bergeming. Matanya masih membulat sempurna menatap pada tas-tas belanjaannya yang masih berserakan di atas meja di hadapannya. Namun, Blake yakin wanita itu tengah memikirkan sesuatu.
Blake menatap wanita itu lekat-lekat. Mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan Adora walau cara itu sebenarnya sama sekali tidak berguna.
Tiba-tiba, pria itu teringat sesuatu. Adora tiba-tiba bersikap seperti ini setelah wanita itu mengantar Lilith pulang. Setelah itu, ia terus saja berdiam diri di atas kursi seperti ini.
Apa mungkin Lilith mengatakan sesuatu pada Adora? Jika hal itu benar, lalu apa yang dikatakan wanita sexy itu pada Adora? Blake dibuat penasaran dengan hal itu. Ia bertanya-tanya apakah ia harus menanyakan hal ini pada Adora.
"Hey, kau baik-baik saja? Apa kau mendengarkanku?"tanya Blake sekali lagi. Kali ini dengan volume suara yang sedikit lebih keras.
'bugh'
Tiga buah tas belanja melayang ke wajah tampan Blake sebelum pria itu sempat menghindar. Dan tersangka yang melakukan hal tersebut adalah Adora. Wanita itu menatap Blake datar.
"Apa-apaan ini!?"seru Blake tidak terima.
"Kau yang apa-apaan. Aku tidak menjawab pertanyaanmu karena aku tidak ingin. Bukan berarti aku ini tuli! Kau tidak perlu mengeraskan volume suaramu seperti tadi."omel Adora.
Blake yang tadinya kesal sontak terkejut. Ia menatap Adora tidak paham. "Jadi, sejak tadi kau mendengarku bertanya kepadamu tapi kau tidak menjawabnya, begitu?"
"Hmm."gumam Adora.
"Tega sekali. Apa susahnya menjawabku. Kau tahu, sejak tadi aku menunggu jawabanmu karena khawatir denganmu yang diam saja sejak tadi."ucap Blake.
Adora berdecak. Wanita itu memutar bola matanya. "Tidak usah berbohong! Aku tahu kau bertanya karena penasaran. Bukan karena khawatir atau semacamnya."
"Hehe. Sejujurnya, aku memang penasaran karena tidak biasanya kau diam seperti ini."ucap Blake sambil menyengir. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Adora mencibir tingkah laku Blake. Wanita itu berniat beranjak dari duduknya namun, Blake menghentikannya.
"Tunggu dulu! Kau belum memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi kepadamu."
"Menurutmu?"tanya Adora malas.
"Ini pasti ada hubungannya dengan wanita iblis tadi, bukan?"tebak Blake dengan tampang sok tahunya.
Adora mengedikkan bahunya. "Jika menurutmu seperti itu, maka seperti itulah kejadiannya."jawabnya singkat.
"Lalu apa?"tanya Blake lagi.
"Apa?"
"Jawabannya! Kau belum memberitahuku."
Adora menatap Blake kesal. Namun, tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. Wanita itu menatap Blake seraya menyeringai.
"Kau benar-benar ingin tahu?"
Blake menganggukkan kepalanya antusias. Hal ini semakin membuat Adora semangat menjahili pria itu.
"Lilith bertanya kepadaku, apakah aku berniat untuk menguzinkannya membawa dirimu untuk Lucifer barang 1-3 hari lamanya. Awalnya, aku menolak hal itu. Namun, tampaknya sekarang aku harus memikirkannya ulang."jelas Adora seraya tersenyum jahil.
Blake seketika mengubah ekspresinya. Pria itu sontak bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu keluar toko.
Adora yang melihatnya pun refleks bertanya, "Hey, kau mau kemana? Kita belum selesai membahasnya."
Blake menatap Adora datar. "Aku ingin mencari udara segar sebentar. Kita tidak perlu membahasnya lagi. Aku pergi!"ucap pria itu diiringi suara bantingan pintu setelahnya.
Adora tertawa. Wanita itu juga bangkit dari posisinya. Ia mengambil seluruh tas belanjaan miliknya dan membawanya pergi dari sana.
***
Sebuah sore yang indah di kota London. Langit senja yang tampak cerah dengan udara sejuk yang menenangkan hati. Sebuah perpaduan pas untuk dinikmati bersama orang terkasih.
Begitupun dengan Sean. Duda muda itu tengah menghabiskan waktu berdua dengan putra semata wayangnya. Mereka berdua tengah berjalan-jalan di tepi sungai Thames yang berada di South Bank.
Sean mengajak Ken untuk beristirahat sejenak. Membiarkan putranya itu menikmati cotton candy yang sempat dibelinya tadi dengan tenang.
"Daddy mau?"tawar Ken. Sebagai jawabannya, Sean menggelengkan kepalanya. Pria itu tidak terlalu menyukai makanan yang manis.
Bocah 10 tahun itu kembali menikmati makanan manis berbentuk kapas itu dengan semangat. Sementara Sean tersenyum hangat menatapnya.
Pria itu mengalihkan tatapannya. Kini, ia beralih menatap London Eye yang tampak berputar dengan megah. Mungkin akan lebih indah lagi jika dilihat saat malam tiba karena akan ada lampu yang menghiasi benda raksasa itu.
"Aku ingin menaikinya."celetuk Ken yang ternyata juga sedang memandangi London eye.
Sean mengelus pucuk kepala Ken seraya tersenyum lembut. "Nanti kita akan menaikinya."
"Benarkah? Kapan?"tanya bocah itu semangat. Ia menatap Sean dengan mata berbinar.
Sean tertawa kecil. "Kapanpun kau menginginkannya. Bahkan jika itu sekarangpun, kita akan melakukannya."
Ken menggelengkan kepalanya. "Tidak-tidak. Aku tidak ingin menaiki itu hari ini."
Sean mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
"Karena aku ingin daddy memiliki janji padaku agar kita bisa menghabiskan waktu bersama lagi lain kali."jelas Ken yang membuat Sean tertegun. Selama ini, saat putranya itu masih sehat, Sean selalu sibuk dengan pekerjaannya hingga ia baru menyadari betapa pentingnya waktu ketika Ken koma di rumah sakit.
Sean mengecup pucuk kepala Ken penuh sayang. "Daddy akan sering-sering menghabiskan waktu bersamamu."
Ken tidak membalas lagi. Namun, anak laki-laki itu tersenyum samar. Hatinya merasa senang mendengar sang ayah berkata demikian.
Bocah laki-laki itu memperhatikan ke sekitar sungai Thames. Ternyata, ada lumayan banyak orang yang juga ikut menikmati senja di tepi sungai legendaris ini. Ada para lansia, muda-mudi, sepasang kekasih, ada juga yang bersama dengan keluarga mereka. Namun, tatapan Ken jatuh pada seorang pria yang tengah berdiri sendirian di tepi sungai.
Pria itu menopang dagunya pada pagar pembatas yang ada di tepi sungai. Tatapannya menerawang ke hamparan sungai Thames yang luas. Ia tampak termenung memikirkan sesuatu yang entah apa itu.
Perlahan senyum Ken terkembang ia kemudian menunjuk pria itu seraya berbicara kepada Sean. "Daddy, bukankah itu paman yang datang bersama Bibi Adora?"
Sean yang tadinya tengah termenung menatap London eye yang berada di seberang sungai Thames, seketika menoleh ke arah yang ditunjuk putranya. Pria itu menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas objek yang dimaksut oleh sang anak.
"Siapa? Di mana?"tanya pria itu yang masih belum menemukan seseorang yang dimaksut oleh Ken.
"Itu! Di sana!"jawab Ken sambil menunjuk-nunjuk ke arah pria itu.
Sean mengerjap-ngerjapkan matanya. Pria itu memang ada sedikit gangguan dengan penglihatannya. Tapi, itu rabun dekat, bukan rabun jauh. Atau mungkin sekarang ia menderita keduanya?
Duda anak 1 itu berjalan beberapa langkah. Sekarang ia dapat melihat dengan jelas siapa pria yang dimaksut oleh Ken. Ternyata, bukan penglihatannya yang salah. Namun, sebelumnya pria itu sedikit tertutupi oleh sepasang lansia yang berdiri di dekatnya.
Sean mengenali pria tersebut persis seperti yang dikatakan oleh Ken. Pria itu adalah pria yang selalu terlihat bersama Adora yang seingat Sean ia memiliki nama Blake. Jika pria itu di sini, apa wanita aneh itu juga bersamanya?
"Ayo kesana, daddy. Siapa tahu ada Bibi Adora juga bersama paman itu."ajak Ken bersemangat. Bocah laki-laki itu menarik tangan Sean bahkan sebelum pria itu sempat mengucapkan apapun.
Sean berdecak. Ia ingin menolak ajakan Ken namun, pria itu kalah cepat. Ia tidak ingin bertemu dengan Adora. Tidak lagi. Terlebih lagi, di saat-saat yang istimewa seperti sekarang. Bertemu dengan wanita itu hanya akan merusak kebahagiannya.