Wulan masih terdiam membisu setelah mendengar pertanyaan dari ibunya.
"Ada apa...?", ibunya bertanya lembut, akan tetapi pertanyaan lembut ibunya sudah cukup untuk meruntuhkan pertahanan Wulan detik itu juga.
Ibunya segera menarik Wulan kedalam pelukannya.
"Hei... Ada apa...?", ibunya bertanya bingung, mengusap pelan punggung Wulan.
"Papa sakit ma...", Wulan akhirnya memutuskan untuk bicara.
Ibunya perlahan melepaskan pelukannya perlahan.
"Kamu tenang dulu, cerita pelan-pelan", ibunya bicara lembut, menghapus pelan jejak air mata Wulan.
"Sehari keluar dari penjara, papa di larikan kerumah sakit", Wulan bicara disela tangisnya.
"Iya... Terus...?", ibunya kembali bertanya dengan sabar.
"Papa... Tidak bisa menggerakkan sebelah badannya, sebelah kirinya mati rasa", Wulan menyeka air matanya kasar, sebelum melanjutkan ucapannya.
"Sekarang... Papa terbaring di tempat tidur, tidak bisa kemana-mana. Apa-apa harus di bantu", Wulan bicara disela tangisnya yang semakin menjadi.
"Dimana papa kamu...?", ibunya bertanya dengan nada suara paling pelan.
"Dirumah mami Londo", Wulan menjawab dengan suara yang tidak kalah pelannya dari suara ibunya sebelumnya.
"Kamu tahu dari mana...?", ibunya kembali menyelidiki.
"Sebenarnya... Wulan, bang Cakya dan Tio dari rumah mami Londo. Abang tahu keadaan papa diceritakan oleh Erca, yang g'ak sengaja ketemu mami Londo waktu seleksi jalan santai.
Akhirnya bang Cakya ngajakin kita kesana tadi, melihat keadaan papa", Wulan menjelaskan perlahan, sekarang Wulan sudah jauh lebih tenang.
Cakya keluar dari kamarnya, sudah rapi memakai jaket, serta membawa kunci motornya.
"Abang mau kemana...?", ibu Cakya bertanya bingung karena melihat putra sulungnya sudah mau pergi lagi.
"Cakya mau keluar sebentar ma", Cakya segera meraih jemari tangan kanan ibunya, "Assalamu'alaikum", Cakya mengucapkan salam setelah mencium punggung tangan ibunya.
Cakya menghentikan motornya tepat di kantor kodim, Cakya melangkah perlahan menuju ruang kerja pak Lukman. Begitu mendapat izin untuk masuk, Cakya segera duduk dengan sopan di sofa yang tersedia di ruangan pak Lukman.
"Ada apa nak...?", pak Lukman bertanya bingung, tidak mungkin tidak ada apa-apa Cakya tiba-tiba datang menemuinya malam-malam seperti ini.
"Cakya... Mau minta tolong pak Jendral", Cakya bicara dengan nada suara paling rendah.
"Apa yang bisa saya bantu...?", pak Jendral bertanya pelan.
"Papa terkena struk", Cakya sengaja memberi jeda pada ucapannya, untuk melihat reaksi pak Lukman.
"Innalilahi wainailahirojiun", pak Lukman terkejut mendengar ucapan Cakya. "Lalu bagaimana keadaan papa kamu sekarang...?", pak Lukman kembali bertanya.
"Papa harus dibantu kalau mau ngapa-ngapain", Cakya kembali memberi jeda pada ucapannya.
"Lalu apa yang bisa saya bantu...?", pak Lukman bertanya antusias, merubah posisinya menjadi posisi siap siaga untuk bergerak.
"Papa punya satu permintaan sebelum pergi. Papa ingin ketemu sama Erfly, beliau ingin minta maaf secara langsung kepada Erfly", Cakya bicara dalam satu nafas.
Pak Lukman diam sejenak, terlihat sangat berfikir keras mencari solusi untuk memenuhi permintaan Cakya.
Menit berikutnya, pak Lukman menjilati bibirnya yang tiba-tiba terasa kering.
"Jujur saja, saya tidak punya akses untuk mendekati Jendral Rully. Karena Jendral Rully sekarang kepala satuan khusus. Otomatis semua kegiatan, data keluarga, dan semua yang menyangkut keluarga Jendral Rully sifatnya rahasia.
Makanya waktu kamu mencari jejak Erfly waktu itu tidak ditemukan. Karena semua dilindungi oleh orang-orang dibelakang Jendral Rully.
Saya tidak mau memberikan harapan yang muluk-muluk sama kamu nak. Akan tetapi saya akan coba untuk mencari akses agar kamu dan papa kamu bisa bertemu dengan Erfly", pak Lukman bicara panjang lebar.
"Terima kasih pak Jendral sebelumnya", Cakya menjabat tangan pak Lukman.
"Jangan sungkan, kamu seperti sama siapa saja", pak Lukman memukul ringan lengan kanan Cakya.
Setelah menyelesaikan percakapannya dengan pak Lukman, Cakya memutuskan untuk menuju rumah Gama. Cakya langsung disambut oleh Mayang.
"Cakya, tumben kamu kesini. Ada apa...?", Mayang bertanya pelan, setelah mempersilakan Cakya duduk.
"G'ak ada apa-apa tante. Om Gama ada...?", Cakya bertanya pelan.
Mayang memukul pelan lengan kanan Cakya, "Kamu ini, kesannya Mayang tua banget gitu dipanggil tante", Mayang tertawa renyah. Sejujurnya Mayang masih belum biasa dipanggil tante oleh Cakya, walaupun sebenarnya sudah seharusnya seperti itu adanya.
Belum juga Cakya sempat merespon, terdengar suara motor memasuki pagar rumah.
"Itu Gama pulang", Mayang langsung berdiri menyambut kedatangan suaminya.
"Cakya...? Udah lama...?", Gama bertanya pelan, begitu melihat Cakya sudah duduk di ruang tamu.
"Baru saja Om. Malah belum di kasih minum ini", Cakya menjawab dengan candaan.
"Astagfirullah, kamu mau minum apa...? Sampai lupa ini nawarin", Mayang bertanya dengan antusias.
"Apa ajalah", Cakya menjawab santai.
Mayang segera berlalu dari hadapan Cakya dan Gama, berlalu menuju kamarnya membawa tas dan jaket Gama.
"Ada apa...?", Gama bertanya pelan, setelah Mayang menghilang dari pandangan.
"Papa kena struk om", Cakya bicara lirih.
"Innalilahi wainailahirojiun", Gama terkejut mendengar ucapan Cakya. "Sudah berapa lama...?", Gama kembali bertanya bingung, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Keluar dari penjara, dan... Sekarang sama sekali tidak bisa bangun", Cakya kembali menjelaskan. "Tadi... Cakya ketemu papa, beliau minta disampaikan kalau papa mau ketemu Om. Katanya beliau banyak salah sama om", Cakya bicara lirih.
"Salah apa...? Papa kamu g'ak ada salah apa-apa kok sama Om. Ya... Kalau kita pernah beda pendapat, dan cek-cok dikit wajah lah. Namanya juga keluarga", Gama tertawa renyah.
Tiga hari berlalu setelah Cakya terakhir kali menemui pak Lukman. Akhirnya pak Lukman mendapat cela agar Cakya dan ayahnya bisa bertemu dengan Erfly.
Setiap tahun Erfly selalu memberikan paket liburan bersama karyawan terbaik perusahaannya. Kali ini Erfly sengaja memilih lokasi di Yogyakarta.
Pak Lukman sudah menyusun rencana bersama Satia. Agar Cakya dan ayahnya bisa bertemu nanti di Yogyakarta. Cakya dan ayahnya diterbangkan menggunakan helikopter milih rumah sakit.
Cakya diarahkan menuju rumah Hobbit Cangkirangan. Cakya mendorong kursi roda ayahnya dengan sangat hati-hati. Begitu masuk ke area wisata, Cakya di sambut oleh Satia yang telah diberutahu oleh pak Lukman sebelumnya.
"Mas...", Cakya bicara lirih.
"Ilen ada di sana", Satia menunjuk salah satu spot dimana terlihat seseorang sedang duduk di salah satu bangku kecil.
"Terima kasih mas", Cakya bicara lirih.
Satia menahan bahu Cakya sebelum Cakya berhasil melewatinya, "Ini semua saya lakukan semata-mata hanya untuk memenuhi keinginan ayah kamu", Satia berbisik dingin di daun telinga Cakya.
Cakya mendorong kursi roda ayahnya dengan sangat hati-hati.
"Erfly...", ayah Cakya berusaha keras memanggil nama Erfly.
Perlahan Erfly membalikkan tubuhnya.
Ayah Cakya berusaha keras untuk turun dari kursi rodanya, berusaha untuk bersujud di kaki Erfly.
"Jangan kayak gini. Hanya Allah yang pantas di sembah", Erfly bicara panik.
Erfly dengan susah payah menahan tubuh ayah Cakya agar tidak jatuh, beruntung Cakya siaga berada disamping ayahnya.
"Saya... Banyak... Dosa... Sama kamu", ayah Cakya bicara terbata-bata.
"G'ak apa-apa", Erfly bicara lirih.
"Saya... Maaf...", ayah Cakya bicara disela tangisnya.