"Maaf...", ayah Cakya mengulang satu kata berulang-ulang kali.
Erfly meraih jemari tangan kanan ayah Cakya. Kemudian mengusap perlahan punggung tangan ayah Cakya.
"Erfly sudah melupakan semuanya", Erfly bicara pelan.
Ayah Cakya menangis sejadi-jadinya menyesali perbuatannya.
"Papa sudah tidak punya hutang apa-apa sama Erfly. Mulai saat ini, papa sudah tidak punya dosa sama Erfly dan keluarga. Erfly sudah ikhlas atas semuanya", Erfly bicara lirih kata perkata.
Erfly mencium punggung tangan ayah Cakya dengan penuh rasa takzim.
"Lain kali, biar Erfly yang ke tempat papa. Kasian papa harus repot-repot jauh kesini hanya untuk menemui Erfly seperti ini", Erfly bicara pelan.
Erfly menoleh ke arah belakang, Satia segera menghampiri Erfly. Tidak perlu kata-kata, Satia sudah paham apa yang Erfly mau.
Suasana begitu sunyi, hingga akhirnya terdengar suara tembakan. Detik berikutnya Erfly jatuh di pelukan Satia memegangi dadanya yang mengeluarkan darah segar tanpa henti.
"Erfly....!!!", semua orang berteriak panik.
Satia segera meraih HPnya, "Ko, Erfly...", Satia tidak menyelesaikan ucapannya, karena Alfa sudah memutuskan hubungan telfon secara sepihak.
Hanya perlu hitungan detik, Alfa dan Nazwa berlari menghampiri dengan wajah panik. Tidak perlu aba-aba Alfa langsung bertindak memberikan pertolongan pertama kepada Erfly.
"Siapkan mobil, kita bawa kerumah sakit terdekat", Alfa memberi perintah.
"Mobil siap", Satia berteriak, begitu melihat Nadhira entah muncul dari mana bersama mobil mereka.
Satia mengangkat tubuh Erfly, Alfa segera menyerbu kedalam mobil disusul Nazwa. Satia menatap Nadhira yang masih berdiri di luar mobil.
"Teh...", Satia bicara terputus.
"Jangan khawatir soal anak-anak, saya sudah menghubungi pasukan khusus", Nadhira memberi jaminan.
"Terima kasih teh", Satia bicara lirih.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Begitu mobil yang membawa Erfly menghilang, satu pelton pasukan khusus telah datang. Mereka bergerak cepat menyisir tempat kejadian tanpa ada yang terlewatkan.
"Ada apa sebenarnya...?", Cakya bertanya bingung, Cakya masih berdiri kaku di posisinya, berpegangan kepada kursi roda ayahnya.
"Nadhira g'ak tahu pasti, yang jelas saat ini. Nadhira harus memastikan kalau anak-anak baik-baik saja", Nadhira bicara dalam satu nafas.
"Em... Cakya bisa kembali ke hotel, Nadhira bisa minta supir mengantarkan Cakya dan om", Nadhira melanjutkan ucapannya.
"Cakya gampang. Kita cari anak-anak saja dulu", ucap Cakya keras kepala.
"Tante...", Erfly kecil entah muncul dari mana, tiba-tiba menyerbu kepelukan Nadhira. "Ini ada apa...? Bunda mana...?", Erfly kecil bertanya polos.
"Bunda sudah pulang duluan sayang, kita kembali ke hotel ya. Tante ada pertemuan penting sama klien", Nadhira memberi alasan sekenanya.
Si kembar hanya mengangguk patuh, mengikuti Nadhira dari belakang. Erfly kecil sudah mulai terbiasa dengan kruk yang membantunya melangkah.
Erfly masih fokus berjalan tertunduk karena takut tersandung dan jatuh, tiba-tiba tubuh Erfly di dorong oleh seseorang hingga tersungkur di atas taman.
"Papa...!!!", Cakya berteriak memecahkan suasana.
Suasana langsung kacau seketika, sekelompok orang bersenjata berdatangan memaksa pengendara mobil berhenti dengan paksa.
Erfly menoleh kebelakang, setelah melihat seorang lelaki yang terjatuh dari kursi roda dan bersimbah darah. Erfly baru menyadari apa yang sedang terjadi. Dia nyaris di tabrak mobil, kalau saja lelaki itu tidak mendorong tubuhnya ke taman.
Erfly segera diangkat oleh seorang lelaki yang sudah dikenal baik oleh Erfly. Hanya butuh beberapa langkah, Erfly sudah sampai di depan pintu mobil.
"Dek... Kamu g'ak apa-apa...?", Hasan langsung membantu Erfly untuk duduk dengan nyaman.
"Erfly baik-baik saja bang", Erfly bicara pelan tetap melemparkan senyuman terbaiknya kepada saudara kembarnya.
Mobil segera meluncur dengan kecepatan tinggi setelah pintu mobil di tutup.
"Bapak yang tadi mana tante...?", Erfly bertanya pelan, nyaris tidak bisa di dengar.
"Sudah di bawa anggota ke rumah sakit", Nadhira menjawab dengan sangat tenang, Nadhira melemparkan senyuman berusaha menenangkan Erfly.
"Erfly...", Erfly bicara penuh keraguan.
"Kita pulang dulu sayang ke hotel", Nadhira memotong ucapan Erfly.
"Kakek itu...", Erfly bicara dengan mata berkaca-kaca.
"Beliau akan baik-baik saja", Hasan bicara dengan nada suara paling rendah, kemudian menarik lembut si bungsu kedalam pelukannya.
Husen yang duduk tepat di belakang Erfly ikut memeluk Erfly dari belakang.
***
Satia masih mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Seorang Jendral besar yang memimpin ribuan pasukan, bahkan sanggup membunuh dengan mata terbuka. Hilang ketenangan, berganti dengan wajah panik. Hanya satu orang yang sanggup membuat Satia seperti itu 'Butterfly'.
Pintu ruang operasi terbuka, Alfa muncul dari balik daun pintu di susul oleh Nazwa.
Satia langsung menyerbu kearah Alfa, tidak satu patah katapun meluncur dari mulutnya. Akan tetapi Alfa segera angkat suara.
"Saya g'ak akan bertele-tele. Erfly saat ini sedang koma. Peluru itu tepat menembus jantung Erfly. Kita butuh donor jantung segera", Alfa bicara dengan ketenangan yang sama seperti biasanya.
Satia mengusap mukanya kasar.
"Kita hanya punya waktu 24 jam", Alfa kembali menambahkan.
Satia memijit kepalanya yang terasa pening. Nyawa Erfly bergantung pada donor jantung. Dan mencari pendonor organ, bukanlah perkara mudah.
HP Satia berbunyi, Satia segera menerima telfon masuk begitu tahu yang menelfon adalah tangan kanannya. Satia diam sejenak, menit berikutnya langsung memutus hubungan telfon.
Satia beranjak dari posisinya semula.
"Kamu mau kemana...?", Alfa bertanya bingung.
"Ayah Cakya di rawat, karena menolong Erfly yang hampir di tabrak mobil", Satia bicara dalam satu nafas.
"Erfly untuk sementara kita pindahkan ke ruang ICU, untuk observasi lebih lanjut", Alfa menambahkan sebelum Satia berlalu pergi dari hadapannya.
Satia mengetuk salah satu pintu ruang rawat inap. Setelah mendapat jawaban, Satia membuka perlahan daun pintu.
Satia melangkah perlahan menghampiri tempat tidur, seorang lelaki dengan rambut yang telah memutih terbaring dengan lemah diatas tempat tidur.
"Anak... Kecil...", ayah Cakya bicara dengan susah payah.
"Erfly sudah di hotel, dia baik-baik saja", Satia menjawab pelan.
"Erfly...", ayah Cakya kembali bertanya.
"Kita sedang berusaha menemukan pendonor untuk Erfly. Peluru tersebut tepat bersarang di jantung Erfly", Satia menjawab jujur, tidak berniat menutupi keadaan.
"Maaf...", ayah Cakya bicara disela tangisnya.
"Ini bukan salah anda, saya kesini untuk mengucapkan terima kasih. Saya sudah dengar dari anggota, kalau tidak ada anda, saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan si kecil saat ini", Satia kembali menimpali.
Ayah Cakya hanya tersenyum, kemudian menggeleng pelan.
"Kalau begitu saya permisi, saya harus ke satuan khusus mencari pendonor untuk Erfly", Satia segera mohon diri.
Satia tidak bisa membuang-buang waktu, tiap detik akan menentukan bagaimana nasib Erfly.
Satia meminjam ruang aula rumah sakit, melakukan panggilan Vidio dengan tim satuan khusus. Satia segera memberi perintah kepada tim dokter satuan khusus untuk mencari donor jantung untuk Erfly. 24 jam bukan waktu yang lama untuk Erfly, akan tetapi tidak ada kata menyerah dalam kamus Satia.
"Menyerah berarti mati. Tidak ada pilihan jalan untuk mundur", itu kalimat yang selalu Satia gemakan di otaknya, setiap kali Satia merasa di ujung tanduk.