webnovel

BUKAN SALAH JODOH 2

Kisah cinta Aoran dan Lily, lanjutan dari BUKAN SALAH JODOH silahkan baca cerita pertama sudah tamat

Ayun_8947 · Urbain
Pas assez d’évaluations
28 Chs

Ciuman pertama

Baru setengah perjalanan Lily mengantar Miran ke arah UKS, mereka harus melewati lorong yang cukup sepi karena para siswa memang sedang beristirahat di luar kelas.

Tiga orang siswa memblok jalan Lily yang menggandeng Miran. Mendapati tiga siswa yang berdiri angkuh di hadapan mereka sontak Miran dan Lily mengangkat kepala.

"Permisi, kami akan ke UKS, bisa memberikan jalan?" Tanya Lily sopan sambil menarik lengan Miran dengan hati hati.

Tiga gadis itu tak bergeming, Mereka malah semakin tampak angkuh dan sinis.

Dua orang gadis berambut hitam sementara di tengah berambut ombak berwarna kecoklatan, dia maju selangkah meninggalkan dua temannya di belakang sana, dia mendekati posisi Lily yang menggotong Miran.

"Dengar ya anak baru, sebenarnya aku malas menyapa dan membuat diriku sibuk dengan hal tak penting seperti ini, tapi.. kau benar benar lancang dan berani!" Ujar gadis berambut coklat ini mendorong kasar pundak Miran.

Sontak saja perlakuan kasar itu membuat Lily terkejut, dia segera menghalangi Miran, dan melindungi saudarinya ini. Dia memasang badan, menjaga Miran yang mencoba melupakan sakit perutnya, dan mencari tahu ada apa sebenarnya di sini.

"Menyingkir kau!" Ujar si rambut coklat menepiskan ujung rambut Lily dengan kasar, tapi gadis itu tak bergeming.

"Pergi kau, aku tak ada urusan denganmu!" Ujar gadis angkuh itu mendorong kasar tubuh Lily hingga terjerembab di lantai.

Dia terduduk di lantai, dan menyadari ada seseorang di balik tembok sana, itu Aoran, dia ada di sini. Senyuman tipis di bibir Lily mengembang, dia berpikir ada seseorang yang akan membantu Miran dan dirinya saat ini, bukankah tiga lawan satu itu tidak seimbang?

"Kau!" Ujar si rambut coklat, dua temannya ikut maju dan mendekati posisi Miran hingga ketiganya bisa membentuk lingkaran dimana Miran berada pada tengah tengah, gadis itu mundur dan terdesak ke tembok, dia masih menahan rasa perih di perut dan apa yang ketiga gadis ini inginkan darinya.

"Kau pasti sangat senang ya, menjadi primadona baru di sekolah ini! Kau begitu bangga hah!" Ujar si rambut coklat menunjuk kasar dada Miran. "Aku benar benar tak peduli!" Ujarnya lagi.

Dua temannya itu memainkan rambut panjang Miran, mereka berdua kompak mengintimidasi Miran yang masih terus tampak meringis, bahkan wajahnya tampak pucat.

Plak!

Tamparan mengenai pipi Miran, membuat gadis cantik itu gemetar ketakutan.

Lily menoleh dan menyipitkan matanya, apa yang kau lihat hah! Mereka menyakiti Miran!

Lily ingin berteriak pada Aoran yang mematung di balik tembok sana, dia pikir Aoran pria yang sudah sedikit menyenangkan, tapi sepertinya dia salah, pemuda itu diam saja dan malah mengambil langkah mundur.

Lily bangkit dari posisinya, dia segera bangun dan menarik rambut coklat yang tertata rapi itu, dia menjambak kasar hingga gadis itu menjerit kesakitan.

"Lily.." lirih Miran tak percaya dengan apa yang saudaranya lakukan.

Dua rekan gadis itu tak tinggal diam saja, mereka kompak mengeroyok Lily, menjambak rambut gadis itu, mendorong dan menampar Lily hingga dia terjatuh untuk kedua kalinya di lantai, Lily mencoba melindungi dirinya.

"Jangan.. jangan lakukan itu.." lirih Miran dengan suaranya yang perlahan menghilang, dia ingin menolong Lily tapi tenaga nya tak cukup kuat.

"Kau si pelayan bodoh, pecundang! Bisa bisanya kau melindungi seorang pelacur seperti dia, dia sudah menggoda pacarku dan kau mau melindunginya! Kau dan majikanmu sama saja! Kalian sampah! Sampah! Tempatmu di tempat sampah!"

Umpat salah satu dari ketiga gadis itu, Lily tak tahu siapa yang mengatakan itu semua karena dia mencoba menutupi wajahnya dari serangan tiga gadis itu. Dia mendapati lemparan kemasan susu sebelum ketiga gadis itu meninggalkan dirinya yang babak belur dengan pakaian kotor bekas tapak sepatu ketiga hadir tadi.

Lily membuka matanya, yang pertama dia cari tahu adalah keberadaan Miran.

"Miran.. Miran.. kau dimana?" Tak mendapati Miran di depannya membuat Lily panik, gadis itu segera bangkit dari posisinya dengan tertatih, dia mencari Miran di lorong sekolah dan tak menemukan saudarinya itu.

"Miran…" panggilnya lirih dengan menyeret kakinya, seseorang tadi menginjak tungkainya hingga dia merasakan nyeri yang luar biasa.

Miran.. Miran kau dimana..

Miran itu saudara tiriku..

Tapi..

Tak sekalipun dia mengatakan hal buruk padaku..

Miran itu memang bukan adik kandungku, hubungan kami bahkan terlihat rancu..

Tapi..

Hanya Miran saja yang selalu ingin bersama denganku

"Miran… Miran!!" Teriak Lily dengan suaranya yang tercekat, dua mencari saudarinya di sepanjang lorong hingga ke pintu belakang, dia tak menemukan Miran.

"Ah.. ponsel!" Sayang sekali dia gak membawa ponsel jadulnya di saku, Lily rasanya ingin menangis. Membayangkan hal buruk menimpa saudarinya.

Gadis itu terduduk dengan sisa tenaga di tubuhnya. Dia bahkan tak bisa melindungi Miran, dia sangat bodoh dan ceroboh.

Perlahan, air matanya menetes, dia gak bisa berbuat apa apa selain menangis, dia benar benar ingin melindungi saudarinya tapi kenapa malah jadi seperti ini.

"Miran sudah di bawa ke rumah sakit.."

Suara seorang pemuda mengejutkan Lily, dia segera menyeka air mata yang membanjiri wajahnya. Lily mencoba menghapus jejak air mata dan mengatur air wajahnya, tak boleh ada yang tahu kalau dia sedang menangis.

Pemuda itu melangkah kian dekat ke hadapan Lily, dia mulai berlutut, tapi Lily tak berani mengangkat kepalanya.

"Kau terluka, ayo ke UKS denganku.." ujar pemuda itu mengulurkan tisu.

Dengan ragu ragu Lily mengambil tisu itu dan mengelap wajahnya. Pemuda itu masih saja menahan uluran tangannya hingga Lily merasa heran.

"Ayo, aku bantu ke UKS.." ujarnya lagi.

Tentu saja Lily merasa sungkan, daripada menerima uluran tangan pria asing dia lebih memilih menjangkau dinding tembok dan.membantunya bangkit.

Tapi saat dia ingin meluruskan kaki dan mencoba berjalan, rasa nyeri di kakinya berdenyut hingga ke ulu hati, gadis itu mengasuh dan hampir terjatuh kembali.

Aoran segera menjangkau tangan Lily, dan tak sengaja gadis itu mengangkat kepalanya, dia terkejut menyadari ini adalah Aoran! Pria yang akhir akhir ini terlibat dengannya.

Tapi mengingat bagaimana Aoran tadi menghindar dan tidak membantunya membuat Lily kecewa. Gadis itu memalingkan wajahnya, dia ingin melepaskan diri dari bantuan Aoran tapi lagi lagi dia hampir terjatuh.

Akhirnya dia harus pasrah di papah Aoran menuju UKS, gadis itu menyeret kakinya dengan susah payah. Dia berusaha melangkah dengan hati hati.

Setiba di UKS, Aoran membantu Lily berbaring, dia juga mengatur posisi bantal agar gadis itu merasa nyaman, hal yang membuatnya tak nyaman adalah keberadaan Aoran yang tak kunjung meninggalkan dirinya.

Lily memutar tubuhnya berbaring miring, dia menautkan alis dan berharap agar Aoran segera pergi dari ruangan ini, dia merasa sangat tak nyaman.

Dokter sekolah masuk dan mulai memeriksa Lily, Aoran harus pindah tempat duduk ke arah lainnya dimana Lily mengambil arah berbaring, menyadari Aoran kini berada di hadapannya, Lily mengganti posisi tidur dengan telentang, degup jantungnya jadi tak karuan, entah karena Aoran atau karena sakit di sekujur tubuhnya.

"Bullying sudah lama hilang dari sekolah ini, tapi masih saja ada yang melakukan hal amoral seperti ini, kau harus bicara lantanga dan mengatakan semuanya.." ujar pak dokter mulai membersihkan luka Lily dengan kapas dan pinset, dia membubuhkan cairan antiseptik sebelum membungkus luka.

"Ini resep obatmu ya, kau boleh istrirahat sampai kau merasa mampu berdiri dan pulang." Ujar pak dokter.

"Oh ya, kau harus segera menghubungi keluargamu agar segera di jemput.." ujar dokter itu sebelum meninggalkan Lily.

"Dok.." Lily berusaha bangkit dari ranjang dan itu membuat Aoran cemas, dia membantu Lily untuk menegakkan punggung dan itu membuat Lily sedikit canggung.

"Aku.. bisakah dokter tidak menghubungi keluargaku? Karena.. karena mereka akan sedih dan kecewa kalau tahu semua ini dok. Lagipula.. aku tidak merasa terlalu sakit.." ujar Lily membuat raut wajah pak dokter heran. Tapi dia mencoba membaca situasi sulit siswanya ini.

"Baik.. kita akan diskusikan lain hari ya.." ujarnya meminta persetujuan Lily yang mengangguk. Dokter itu meninggalkan ruang rawat Lily.

Gadis itu hampir saja membanting tubuhnya kalau bukan karena Aoran menahan punggungnya.

"Hati hati, kau masih sakit.." Lily mengangguk saja menerima perhatian Aoran. Dia benar benar cemas dan keberadaan Aoran membuatnya semakin cemas.

"Kenapa kau tak mau memberi tahu keluargamu?" Tanya Aoran ingin tahu. "Ini akan menjadi masalah besar, dan tiga gadis tadi bisa dikeluarkan."

Lily menggeleng, dia rasa cukuplah miran saja yang akan menyelesaikan semua ini. Oh ya Miran?

"Dimana Miran?" Tanya Lily cemas.

"Aku memanggil ambulan saat kau sedang di lecehkan tadi, aku melihat wajah pucat Miran sepertinya dia mengalami masalah lambung, makanya aku tak bisa mengulur waktu.. dan meninggalkan kalian. Aku minta maaf.." ujar Aoran dengan anggukan kecil dan raut wajahnya tampak memohon.

Ah! Aku sudah berpikir buruk tentangnya tadi.

"Ah, ya.. maaf.. terima kasih.." balas Lily bingung, dia mencoba kembali berbaring di ranjang.

Aoran membantu Lily berbaring tapi sepatunya terlalu licin karena ada bekas cairan di lantai.

Pemuda itu terpeleset dan tersungkur di atas tubuh Lily.

Cup!

Bibir mereka tak sengaja bertemu.

Waktu seakan berhenti berputar.

Bola mata membulat diantara keduanya membuat degup jantung masing masing seakan berhenti berdetak.

Sreet!

Aoran segera menarik kepalanya.

What!!