webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urbain
Pas assez d’évaluations
247 Chs

#018: Ocehan yang Tak Masuk Akal

"Hallo, ini siapa ya?" kata seseorang di seberang sana dengan nada menyebalkan.

"Heh, nggak usah pura-pura amnesia gitu. Gue udah tau kebusukan lo, Asti!" Endra langsung mencak-mencak saat akhirnya dia punya kesempatan untuk menghubungi Asti.

Seseorang di seberang sana yang tak lain adalah Asti langsung tertawa puas saat Endra menyemprotnya seperti tadi.

Beberapa saat lalu, begitu selesai mengantar Yanti dan ibunya pulang ke rumahnya sendiri, Sarah langsung masuk ke kamar dan tidur. Mungkin kelelahan karena tiga hari terakhir sering bolak balik ke rumah sakit. Sehingga Endra memiliki kesempatan untuk menghubungi Asti dan menyemprotnya.

"Ngapain lo malah ketawa? Puas lo ngelihat gue makin menderita, hah?" Endra malah jadi tambah kesal.

"Ndra, Ndra, lo itu lucu banget yah, demen banget gue ngerjain lo yang masih polos gini."

"Polos pale lo! Gue udah kayak di neraka lapis tujuh tau nggak sih lo."

"Lha, baru tau gue, lo udah pernah ngerasain lapisan neraka ya. Terus gimana? Enak?" Asti tertawa lagi.

"Kenapa lo nggak bilang dari awal sih soal Estri yang ngerencanain nginep di kampung gue."

"Itu permintaan Bu Sarah sendiri yang nggak ngebolehin gue cerita sama lo."

"Terus lo nurut aja gitu?"

"Ya iya dong jelas, Bos gue kan Bu Sarah. Lo kan cuma jadi budaknya Bu Sarah aja," Asti kembali tertawa-tawa.

"Awas aja lo, kalau entar lo minta nitipin anak lo ke gue pas lo lagi ada deadline. Gue bakal bales ngerjain anak lo itu."

"Heh, gue laporin lo langsung ke polisi buat kasus penculikan anak."

"Sono laporin aja gue, biar sekalian kelar hidup gue. Punya istri sadis, ini punya temen juga ketularan sadisnya," Endra bersungut-sungut sebal.

Asti kembali tertawa. "Lo sendiri kan yang nyiptain masalah dengan ngajakin Bu Sarah jadi pacar lo, dan sekarang malah udah jadi istri lo, harusnya lo malah seneng dong. Wakakakakaka."

Kalau saja Endra ada di sana sekarang, dia akan langsung menjitak kepala Asti keras-keras. Biar saja kepala Asti benjol, suaminya marah-marah juga bodo amat.

"Eh, tapi, Ndra, gue penasaran deh, lo kan waktu awal dulu sempet ngejar-ngejar Bu Sarah, nah terus lo nggak ada keniatan bikin dia jatuh cinta sama lo apa."

"NGGAK ADA SAMA SEKALI. MAKASIH BANGET ATAS TAWARANNYA!" jawab Endra lantang. "Dulu emang gue akui, gue bego banget sampai ngejar-ngejar cewek sadis kayak dia."

"Emang sekarang lo udah nggak bego?"

"Dah ah, percuma gue ngomong sama lo. Pokoknya awas aja kalau sampai gue udah balik lagi ke sana."

"Cieeeeeee, kayaknya lo malah udah makin teriket jadi budak Bu Sarah seumur hidup nih yee. Udah kangen lo ya ke kantor, sampai bilang balik segala. Lo sekarang udah nganggap tempat di sini sebagai rumah lo ya. Berarti sekarang di kampung lo sono, lo cuma jadi tamu doang dong."

Endra terdiam. Ucapan Asti tadi benar-benar membuat Endra tersadar. Jadi ... di mana sebenarnya tempat Endra pulang?

"Oya, sampe lupa gue, Ndra, tolong bawain gue racikan teh buatan nyokap lo yah. Kalau perlu sekarung sekalian buat stok di rumah gue selama satu tahun."

"Lo minta apa ngerampok?"

"Dua-duanya," Asti cekikikan. "Udah ya, kerjaan gue numpuk nih. Bye!"

Endra membuang napas panjang. Asti ini benar-benar teman yang teramat menyebalkan. Endra jadi ingat, saat pertama kali dulu Endra tahu soal Asti, perempuan itu sama juteknya seperti Sarah. Bahkan Endra sempat mengira kalau Asti dan Sarah adalah saudara kembar di bidang kejutekan. Tapi semua kejutekan Asti luntur saat tiba-tiba Asti membawa serta anaknya yang masih berusia tiga tahun ke kantor. Ibunya Asti yang biasa dititipkan anaknya sedang ada urusan, sementara suami Asti juga sama-sama kerja. Alhasil Asti membawa serta anaknya ke kantor. Bertepatan dengan itu, ada deadline yang harus Asti selesaikan.

Asti kalang kabut. Saat itulah, Endra yang kebetulan lewat melihat kerepotan yang sedang dialami Asti. Akhirnya Endra berinisiatif untuk mengajak bermain anak Asti yang anehnya langsung luluh dengan Endra. Padahal biasanya, anak Asti tipikal anak yang pilah-pilih orang. Apalagi saat dengan orang baru. Tentu saja Asti merasa terbantu dengan adanya Endra. Selama dua jam itu, Asti menitipkan anaknya pada Endra, sementara Asti langsung mengejar deadline yang sudah ada di depan mata.

Karena kejadian itulah Asti akhirnya terbuka pada Endra, bahkan akhirnya menjadi ladang curhatan Endra terkait Sarah. Meskipun Endra tahu Asti tetap saja membela Sarah, tapi Asti masih bersedia mendengarkan keluh kesah Endra tanpa sekalipun mengadukannya pada Sarah.

***

"Jadi kamu udah mau langsung balik nih, nggak nambah lagi satu-dua hari?" tanya Bu Mirna saat Sarah berpamitan pada mertuanya untuk kembali ke kota.

"Nggak bisa, Bu, ada urusan di kantor yang bikin Sarah harus balik ke sana hari ini juga," jawab Sarah dengan nada ramahnya.

"Hm ... gitu ya. Tapi nanti kamu main-main ke sini lagi kan?"

"Iya, Bu, pasti."

"Kamu juga kan nggak jadi nikmatin pemandangan di sini."

Sarah tersenyum. Mertuanya ini memang sempat dibuatnya heran karena Sarah justru menghabiskan waktu liburannya dengan berada di rumah sakit. Meski begitu, mertua Sarah itu semakin dibuat salut dengan menantunya yang memiliki jiwa penolong yang tinggi.

"Nanti kalau kerjaan Sarah udah mulai longgar, Sarah bakal ngambil cuti buat liburan di sini lagi," janji Sarah kemudian.

"Ibu tunggu lo."

Sarah mengangguk sambil tersenyum lembut. "Ya udah, Bu, Sarah berangkat dulu yah." Sarah mencium punggung tangan mertuanya sopan, kemudian sempat cipika-cipiki sebentar. Setelah itu diteruskan dengan mencium punggung tangan ayah mertuanya. Tak lupa berpamitan juga dengan kedua adik Endra. Lantas setelah itu, keluarga Endra mengantarnya sampai Sarah naik ke dalam mobil.

Kali ini giliran Endra yang berpamitan. "Ya udah, Bu, Yah, Endra langsung berangkat yah."

"Sebentar, Ndra," ibunya menahan lengan Endra saat Endra akan berbalik. "Terakhir Sarah datang bulan itu tanggal berapa?" bisiknya pada Endra.

Endra sempat membuang napas panjang sebelum menjawab pertanyaan aneh ibunya itu. "Endra nggak tahu, Bu. Udah ah, Ibu juga ngapain nanya gituan sama Endra."

"Lho kamu nggak tahu yah, laki-laki yang baru menikah itu baru dikatakan laki-laki sejati kalau sudah berhasil membuat istrinya hamil di bulan pertama mereka menikah."

"Aturan dari mana itu?" Endra malas-malasan meladeni ucapan ibunya.

"Eh, kamu ya, Ndra, dibilangin malah gitu. Pokoknya Ibu mau satu bulan kemudian perut Sarah udah ada isinya."

"Kalau itu mah nggak usah khawatir, Bu, Sarah makannya banyak kok, jadi pasti perutnya selalu ada isinya."

"Endraaaaa!" Ibunya melotot tajam mendapat jawaban ngasal Endra. Sementara yang dipelototi tampak tidak peduli. Endra langsung mencium tangan ayahnya, mengacak-acak rambut kedua adiknya, kemudian bergegas menuju mobil. Endra tidak mau lagi mendengar ocehan ibunya yang benar-benar tidak masuk akal.

Jangankan membuat Sarah hamil, membuat Sarah berhenti memanggilnya Si Bodoh saja sangat sulit Endra lakukan. Jadi percuma saja mengharapkan cucu dari pernikahan yang Endra jalani sekarang. Kecuali Endra nekat ke rumah sakit saat tengah malam, lalu diam-diam menculik satu bayi baru lahir dan memberikan bayi itu pada ibunya. Kelar dah urusan.

Kayaknya Endra jadi ngenes banget yak? Tapi juga sabar banget ngadepin sifat Sarah yang seringkali kelewatan itu. Yuk, buat kasih semangat Endra, tinggalin komen dan reviewnya ya. Thanks.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts