webnovel

Firasat Ini

Beberapa hari kemudian, tepatnya di penghujung minggu, Viki menelpon Arum melalui panggilan video dari kamar kosnya,

"Akhirnya kredit rumah aku disetujuin loh, Ay. Aku udah mulai nyicil dua bulan lagi," seru Viki malam itu.

"Iya tah? Syukur kalo gitu! Selamat ya!" Arum ikut senang karena Viki mendengarkan saran darinya.

"Rumahnya sih udah tiga perempat jadi. Nanti kalo jadi, terus bapak ibu aku dateng, aku mau adain selamatan kecil-kecilan. Ya paling dua bulanan lagi," angan Viki.

"Hehehe. Iya iya siiip. Bagus itu," Arum merespon singkat saja.

"Capek banget kayanya kamu ya? Muka kamu kok lemes banget sih?" Viki bertanya.

"Iya. Aku capek banget. Hari ini banyak banget yang harus dikerjain. Pak Yos juga marah-marah terus seharian. Enggak tau dah kesambet apaan. Emang kayanya enggak bisa kalo enggak marahin anak buahnya sehari aja," Arum bicara.

"Hehehe. Kamu tuh enggak pernah ada habisnya ya kalo nyeritain Pak Yos," goda Viki.

"Iya emang iya. Bisa berbusa kayanya deh mulut aku kalo cerita tentang bapak satu itu. Ada aja topik yang bisa dibahas," kata Arum kesal membayangkan kejadian siang tadi.

Hubungannya dengan Pak Yos memang lebih ke love hate relationship. Walau sering marah-marah karena hasil akhir pekerjaan yang sering tak sesuai dengan ekspektasinya, tapi Pak Yos memang orang yang baik. Tidak hanya dengan Arum tentunya tapi semua anak buahnya yang lain. Kadang membawa mereka makan bersama hanya untuk sekedar membangun keterikatan antara satu sama lain.

"Ya udah lah. Mending kamu cepetan istirahat ya. Besok libur kan bisa libur dulu dengerin omelan Pak Yos. Aku juga mau pulang dulu ke Surabaya," Viki sekaligus berpamitan.

"Iya siap! Kamu ati-ati di jalan ya. Aku mau istirahat dulu," pamit Arum sebelum menutup teleponnya.

Hubungan Viki dan Arum secara mengejutkan bisa dibilang cukup lancar. Pertengkaran kecil kadang hadir tapi semua masih dalam batas wajar. Satu sisi kadang Arum merasa risih saat Viki masih sering menunjukkan sifat kekanakannya. Sedangkan di lain sisi Viki merasa sedikit tidak dianggap karena Arum yang belum siap juga membuka hubungannya pada teman-teman kantornya sedangkan berita mengenai hubungan mereka rupanya tidak pernah surut.

Hingga sekitar tiga bulan hubungan mereka berjalan, entah kenapa muncul tanda-tanda yang aneh bagi Arum. Wanita itu mengingatnya dengan sangat baik. Suatu siang di hari Sabtu, kebetulan Viki sedang pulang ke Surabaya untuk menemui bapak dan ibunya. Arum sebenarnya begitu membutuhkan helmnya yang kemarin ikut terbawa Viki setelah mengantarkannya pulang. Dia akan pergi bersama sang mama ke rumah saudaranya. Masih di sekitaran Malang juga. Arum tidak ada persediaan helm lain juga dirumahnya karena sang mama juga butuh helm untuk dirinya sendiri.

Arum : Helm aku jadi ngikut di motor kamu ya?

Viki : Iya. Ada di kos.

Arum : Padahal aku butuh banget. Besok mau pergi sama mama.

Viki : Ya kalo kamu gak keberatan ambil aja sih. Motor juga di depan kamar ini. Iya maaf aku juga gak sengaja kemaren lupa.

Arum : Iya gpp kok. Ya udah aku ambil besok pagi-pagi banget ya.

Kos Viki memang tidak jauh dari rumah Arum. Hanya sekitar lima menit berkendara dan kebetulan ada jalan tikus yang bisa dilalui. Jadi pagi-pagi sekali Arum ijin pada sang mama untuk mengambilnya sebentar sebelum berangkat ke rumah Tante Arum. Begitu tiba di depan kos Viki, Arum memarkirkan sepedanya sendiri dan celingukan di sekitar kos. Tentu Arum tahu lokasi kos Viki walau hanya satu kali ke sana dan itupun hanya menunggu didepan gerbang karena Viki lupa mencabut kunci kamar kos nya sebelum mereka pergi jalan kala itu. Sampai seorang bapak-bapak yang mungkin memang bapak kos Viki menyapanya.

"Ada apa, Mbak?" tanyanya sopan.

"Owh iya, Pak. Ini… saya mau permisi ambil helm di motor nya Viki. Kemaren ketinggalan di motor," ijin Arum sopan.

"Owh gitu. Iya udah sana masuk aja Mbak enggak apa-apa. Kamar Viki yang tengah itu motornya juga keliatan," ijin si bapak kos yang Arum juga tidak tahu namanya.

Arum tersenyum sebagai bentuk ungkapan terima kasih dan bergegas mengambil helmnya yang ada di atas motor dan bersiap untuk pamit. Sama sekali tidak membutuhkan waktu lama.

"Sudah pak. Terima kasih ya. Saya pamit dulu," Arum sudah siap duduk di atas motornya.

"Mbak ini yang biasanya sering mampir kesini itu ya?" tanya bapak kos tiba-tiba.

"Hah?" Arum tentu saja bingung mendapat pertanyaan seperti itu, tapi rupanya si bapak kos lebih bingung melihat ekspresi Arum.

"Owh ya sudah," si bapak memilih untuk pergi meninggalkan Arum yang kebingungan.

Sepanjang perjalanan Arum jadi berpikir siapa yang bisa membuat Bapak Kos Viki sampai salah paham.

Ini cuman prasangka aku aja apa gimana sih ya. Jadi ada cewek yang sering dateng ke kos Viki?

Semakin penasaran tapi pikiran itu dibuangnya jauh-jauh karena mamanya pasti sudah menunggu di rumah.

Arum pergi ke rumah tantenya bersama sang mama. Mau disembunyikan seperti apapun wajahnya tidak bisa berbohong. Kegundahan itu sudah menguasai hatinya. Saat Arum dan tantenya memasak didapur, beliau yang berpotongan rambut super pendek dan sedikit gempal itu coba bertanya lebih jauh.

"Kenapa sih Arum kok kaya suntuk banget?" tanya sang Tante yang bernama Tini itu.

Tante Tini adalah adik kandung dari sang mama yang sangat dekat dengannya. Arum bahkan menganggapnya seperti mama kedua atau kadang seperti kakak. Sama tomboynya dengannya dengan level yang lebih ekstrim karena memutuskan untuk tidak menikah hingga usianya yang sudah hampir kepala lima ini.

"Enggak apa-apa kok, Tan," Arum tentu mengelak.

"Kamu tuh kaya baru kenal aja sama tante. Tante ini enggak bisa kamu bohongin Arum. Paling-paling pacar brondong kamu ya?" tebak Tante Tini yang membuat Arum kaget kok si tante bisa tahu tentang Viki.

“Hmh, mama pasti ember deh! Mama pasti yang cerita-cerita sama Tante! Iya kan?” selidik Arum yang mamanya memang masih asyik membalas pesan WA di ponselnya.

"Wah… bener kan tebakan tante. Ya kamu mah udah gede, udah bisa nentuin jalan kamu sendiri. Tante sih cuman bisa pesen aja, jangan banyak berharap sama brondong, jangan terlalu dibawa serius. Ya emang sih enggak semua brondong sama, tapi kita tetep harus lebih waspada. Ini bukan tante nakut-nakutin loh ya. Tante cuman pengen kamu realistis aja. Dan, enggak usah coba-coba deh kamu nutupin apapun dari tante.”

"Iya, Tan. Ya aku juga masih selow-selow aja kok, Tan. Udah ngrasain gagal juga soalnya, jadi ya lebih ati-ati," kata Arum sangat mengerti.

"Betul Arum. Pengalaman itu pelajaran paling berharga. Ya walaupun tante milih untuk enggak menikah, tapi bukan berarti tante enggak tau masalah gituan. Tante juga pernah muda. Pernah pacaran juga sama beberapa laki-laki. Ada juga yang brondong," nostalgia Tante Tini.

"Lah… iya kah, Tan? Hehehe. Info baru niih," goda Arum.

"Halah! Kamu ini malah godain tante. Ya itu kan dulu, Arum. Awalnya semua emang berjalan baik, tapi ujung-ujungnya morotin duit tante doang. Ya untungnya tante ini bukan perempuan kaya raya, jadi dia yang pilih kabur karena tante enggak bisa kasih apa yang dia mau. Ya balik lagi loh ya, enggak semua brondong sama kok. Cuman ya dari pengalaman itu tante jadi ogah sama brondong. Kamu juga mumpung masih baru nih biar enggak nyempung terlalu dalam, coba kamu cek dulu baik-baik tuh cowok. Bukan ngedoain loh ya, tapi kalo ada gelagat-gelagat yang enggak bagus dari awal mending tinggalin aja," saran Tante Tini sedangkan Arum hanya angguk-angguk saja mendengar curcol sang tante.

Sang mama masih berada di ruang tengah menonton TV. Arum dan Tante Tini tidak ingin melibatkan sang mama ikut dalam masalah yang anaknya hadapi. Mamanya cukup tahu kalau dia bahagia. Arum juga memutuskan untuk menyimpan dulu kecurigaannya. Memastikan dia memiliki cukup banyak bukti kalau memang Viki bermain api di belakangnya. Malam harinya pun Arum masih menerima panggilan video dari Viki seperti biasa.

“Dua hari lagi, bapak ibu aku mau ketemu sama kamu. Kita makan malam bareng ya nanti. Sebentar aja kok. Mereka juga enggak lama di sini,” suara Viki terdengar begitu bersemangat.

“Iya iya ok,” Arum tanpa ragu menerima ajakan.

"Ay, hm… aku tadi ke dealer mobil bekas sama mama. Liat-liat mobil."

"Heem… terus?" tanya Arum.

"Ya ada mobil yang aku suka. Aku pengen banget beli. Cuman buat DP-nya aku enggak cukup."

"Lah terus maksudnya gimana? Ya wajar lah kalo gak cukup. Kan kamu juga beberapa bulan lalu baru ambil rumah," ucap Arum yang memang benar adanya.

"Hm, tapi aku suka banget. Gimana ya ngomongnya…" Viki jadi senewen sendiri.

"Apaan sih ngomong aja!" Arum mulai emosi karena sedikit mengingat pertemuannya dengan bapak kos tadi siang.

"Iya kan DP-nya 50 juta. Aku udah ada sih ini 40 juta udah ditambahin ibu juga. Nah… ini kan kurang 10 juta. Kalau seandainya aku pinjem kamu uang 10 juta dulu bisa enggak?" tanya Viki tiba-tiba.

"Emangnya cukup uang kamu untuk bayar cicilan rumah sekaligus mobil kalo kamu emang jadi beli tuh mobil?" tanya Arum.

"Ya aku juga udah itung-itung. Cukup kok. Aku juga cuman pinjem kok, Ay. Aku pasti balikin pelan-pelan," Viki coba meyakinkan.

Arum diam sebentar mencoba berpikir, "ya ada sih uang segitu. Cuman 10 juta kan juga enggak sedikit. Aku pikir-pikir dulu aja ya. Enggak apa-apa kan?" kata Arum lagi.

"Iya udah, Ay. Pikirin aja dulu. Tapi… jangan lama-lama ya mikirnya," kata Viki yang mulai terdengar senang.

Setelah telepon itu ditutup. Entah kenapa pikiran Arum jadi melayang. Pagi tadi sudah cukup terkejut karena pertemuannya dengan si bapak kos. Sekarang juga terkejut lagi karena pinjaman uang dari Viki yang membuatnya ingat pembicaraannya dengan sang tante. Uang 10 juta juga bukan jumlah yang kecil baginya.

Astaga… kenapa aku jadi mikir yang enggak-enggak sih? Dia kan cuman pinjem uang bukan minta. Ya berarti bakal dikembalikan dong! Lagipula dia mau kenalin aku sama orangtuanya, berarti dia emang serius sama aku kan!

Lalu dia mengetik pesan di ponselnya untuk Viki dan mengatakan padanya bahwa dia akan mentrasnfer uang itu besok pagi.

Arum mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta pada pesona si brondong Viki. Jujur saja awalnya pun dia masih sangsi, apakah hubungannya ini akan berjalan lancar atau tidak. Sikap Viki yang baik juga ceria membuat hidupnya lebih berwarna. Secara fisik pun dia juga bukan pria yang buruk dan memang sesuai seleranya. Arum memutuskan untuk meminjamkannya uang bukan semata-mata karena cinta. Arum memang sosok baik hati dan ringan tangan yang pasti akan mengutamakan kebahagiaan orang-orang disekitarnya daripada dirinya sendiri. Bukan hanya pada Viki saja dia sering meminjamkan uang tapi juga teman-temannya yang lain.

Ya begitulah Viki, sebenarnya dia memang selalu sosok yang memiliki gaya hidup mahal. Jam tangan atau ponsel mahal juga segala jenis penunjang penampilan seperti pakaian dan sepatu, harus selalu up to date dan sesuai dengan perkembangan teknologi dan fashion. Rumah memang belum dia pikirkan karena dirinya masih merasa terlalu muda dan belum memiliki tanggung jawab untuk memilikinya saat itu. Mobil pun mendadak dia ingin karena sekarang dia punya Arum dan dia ingin pacarnya itu melihat dirinya sebagai sosok pria yang ideal. Kadang semua hasratnya itu tidak terpenuhi dan dia harus sedikit meminjam sana sini untuk memuaskannya. Satu hal yang mungkin belum Arum tahu terlalu dalam.