webnovel

Makan Malam Bencana

Sesuai janji sebelumnya, malam ini Arum menyempatkan diri untuk makan malam bersama bapak dan ibu dari Viki. Pak Jono dan Ibu Susi namanya. Mereka pedagang di Surabaya. Mempunyai satu gerai pakaian di sebuah pasar grosir yang cukup besar di sana. Kebetulan hari ini mereka sedang ada urusan di Malang. Bertemu dengan seorang teman lama yang memang berencana memesan seragam dalam jumlah banyak. Jadi disinilah mereka, sebuah restoran dengan menu makanan khas Indonesia yang memang cukup terkenal di Malang. Lokasinya besar dan tidak terlalu ramai membuat restoran itu cocok untuk berbincang-bincang santai. Arum dan Viki tiba tepat setelah adzan maghrib.

"Pak, Bu, kenalin ini Arum yang sekarang lagi pacaran sama aku," ucap Viki dengan bangga pada orangtuanya, membuat Arum kikuk juga

"Arum, Pak, Bu," Arum mengenalkan diri mencium punggung tangan kedua orang tua itu.

"Selamat datang, Nak Arum. Ayo silahkan duduk. Kita makan malam dulu ya. Bapak sudah laper ini," ajak Bu Susi tersenyum dengan hangat.

"Ah iya Tante makasih. Maaf lama nunggunya ya," Arum tentu saja mencoba menjaga sikapnya.

"Ah enggak kok. Emang bapak aja yang doyan makan. Hehehe," Bu Susi sedikit berbisik yang dibalas senyuman oleh Arum.

Mereka mulai menyantap makanan yang ada. Seporsi ayam goreng beserta lalapannya juga sambel, sayur asem, sayur lodeh, tahu tempe goreng, ikan gurame bakar sudah tersedia rapi di atas meja.

"Jadi, kamu satu tempat kerjaan sama Viki?" tanya Bapak Viki sebelum menyuap makanan.

"Iya pak. Beda bagian aja," jawab Arum yang dibalas anggukan Pak Jono.

"Bagian apa?" tanya sang bapak lagi dengan mulut penuh.

"HRD, Pak," jawab Arum sekenanya.

"Owh bagus itu! Tapi, enggak boleh kendor loh sama Viki! Tindak tegas kalo melanggar!" respon Pak Jono setengah bercanda.

"Astagaaa, Pak! Aku juga enggak bakal ngapa-ngapain. Kan Viki rajin kerja. Paham etos kerja, mematuhi peraturan perusahaan, juga loyalitas tinggi!" ujar Viki mencoba membela diri.

"Halah… gayamu, Vik!" Pak Jono menepuk punggung anak pertamanya itu membuatnya hampir tersedak membuat Arum dan Bu Susi tertawa.

"Ya semoga kalian awet ya. Kalo dia ada kurangnya dikit-dikit ya mohon dimaklumi ya," kata Bu Susi sopan setelah menyuap makanannya.

"Hehehe. Iya Bu, sama aja kok saya juga banyak kurangnya," Arum juga tersenyum.

"Bapak seneng sejak dia sama kamu, kayanya mulai mikir masa depan. Uangnya jadi enggak habis sia-sia, bahkan sekarang malah bisa beli rumah sama mobil. Jadi kerja ada hasilnya," kata Pak Jono lagi.

"Iya bener itu. Ibu juga kaget kok tiba-tiba dia bisa beli rumah. Katanya karena kamu yang nyuruh," Bu Susi menimpali.

"Sindir aja terus! Ngomongin terang-terangan banget kaya aku tembok aja di sini," Viki merajuk pada orangtuanya itu.

Arum hanya tertawa saja melihatnya. Viki sesekali melirik padanya. Bahagia karena akhirnya kedua orangtuanya bisa bertemu dengan wanita yang akhir-akhir ini selalu diceritakan. Semakin bagus apalagi orangtuanya sepertinya menyukai Arum.

Malam itu mereka melanjutkan pembicaraan ala kadarnya. Arum memang sangat supel dan membuat kedua orang tua Viki banyak tertawa. Mereka banyak bercerita mengenai Viki saat masih sekolah. Ya tipikal orang tua pada umumnya. Sampai mereka pamit karena harus kembali ke Surabaya.

"Kapan-kapan nanti kita ketemu lagi ya Arum, kalo rumah Viki udah selesai," kata Bu Susi.

"Ah iya Bu pasti!" Arum mengomentari.

"Ato kamu yang main ke Surabaya, Arum. Enggak terlalu jauh juga kan dari Malang," kata Pak Jono kali ini.

"Nah, iya itu juga bisa," Bu Susi menimpali.

"Ya udah, Vik. Kamu balik aja duluan. Cepat diantar Arumnya. Enggak enak kalau terlalu malam," kata Pak Jono mengingatkan.

Arum dan Viki mencium tangan keduanya. Menatap mobil keluarga Viki yang meninggalkan lahan parkir. Sepanjang perjalanan dengan motor kesayangan, Viki tak henti-hentinya menggoda Arum.

"Gimana kesannya ketemu sama camer? Seneng gak?" tanya Viki penasaran sambil senyum-senyum aneh

"Ahahaha. Apaan sih! Mukamu itu loh biasa aja kali!" Arum mencubit lengan Viki.

"Hehehe. Ya dijawab dong, Ay," Viki masih mendesak.

"Iya… seneng kok," jawab Arum singkat.

"Aku seneng deh bisa ngenalin kamu ke bapak ibu. Hehehe. Serasa tahap buat jadi suami makin dekat," Viki mengungkapkan perasaannya.

"Aduh-aduh… Ada-ada aja kamu mah!" Arum melengos saja.

"Owh ya, Ay. Nanti weekend aku mau pergi sama anak-anak ya. Boleh kan?" tanya Viki lagi.

"Ya boleh-boleh aja sih. Emang mau kemana?" tanya Arum hanya ingin tahu.

"Mau ke pantai. Kamu mau ikut?" tawar Viki padanya.

"Ya mau-mau aja siih. Cuman aku enggak bisa. Udah janjian sama mama mau ke nikahan tetangga," jawab Arum.

"Owh gitu. Ya udah aku pergi sendiri ya," pamit Viki memastikan.

"Iya pergi aja. Maaf ya enggak bisa nemenin. Emang sapa aja yang ikut sih?" tanya Arum.

"Ya cuman anak-anak CS cowok seluruh cabang aja sih. Enggak banyak juga kan. Ada aku, Ojin, Alex, Rafa, Heri, sama Yogi," absen Viki.

"Lah yang ikut cowok semua kok aku diajakin sih? Ya enggak enak lah," Arum bicara lagi.

"Hehehe. Ya kali kan. Secara kamu juga kecowok-cowokan. Hehehe," Viki terus menggodanya.

"Ya aku emang aslinya cowok! Makanya jangan sibuk ngajakin nikah mulu!" Arum dibuat-buat yang dibalas ledakan tawa Viki.

"Ngeri ya ngambeknya...”

Mereka tiba di rumah Arum sekitar pukul jam delapan malam. Sebetulnya Viki ingin langsung pulang tapi perutnya mendadak sakit. Dia minta ijin untuk meminjam kamar mandi Arum. Setelah berganti pakaian, Arum menunggu di ruang tamu, di mana semua barang milik Viki ditinggalkan di atas meja. Sebuah pesan masuk di ponsel Viki. Berbunyi dan membuat layarnya menyala. Arum yang sibuk sendiri dengan ponselnya, kebetulan saja melihat notif yang muncul.

??: Lagi dimana Vik?

??: Kamu bisa enggak beliin obat buat aku?

??: Kepalaku pusing banget.

Notif itu muncul bergantian dan terbaca dengan samar oleh Arum. Karena penasaran, Arum buka saja pesan itu. Arum hanya penasaran dengan nama yang tertera disana. Toh Arum dan Viki selama ini memang cukup terbiasa mengutak-atik ponsel masing-masing. Mudah saja bagi Arum untuk membuka kode ponsel Viki.

Retta? Retta anak teller?

Arum mencoba untuk melihat isi pesan-pesan mereka sebelumnya. Cukup panjang jadi hanya beberapa pesan yang bisa dibaca juga sedikit khawatir Viki akan segera keluar dari kamar mandi.

Kemarin

Retta : Aku pengen banget bubur ayam.

Viki : Nanti aku beliin ya.

Retta : Wah asik. Makasih ya.

27 Desember

Viki : Nanti jadi bisa? Katanya mau nonton film di kos aku?

Retta : Iya bisa kok. Aku kekosan kamu nanti ya. Aku bawain makanan.

Viki : OK siiip deh, aku tunggu.

25 Desember

Retta : Kamu tuh beneran pacaran sama Arum ya? Rame banget aku tau dari anak-anak.

Viki : Iya.

Retta : Terus kita gimana? Kamu kan tau aku tuh udah suka kamu dari dulu. Emang kamu gak bisa putusin aku buat dia?

Viki : Aku belum tau. Sorry.

Sudah cukup Arum membaca pesan-pesan itu. Segera diletakkannya ponsel Viki kembali di tempatnya persis saat suara kunci pintu kamar mandi dibuka. Hatinya bergemuruh penuh emosi tapi masih mencoba untuk menahan ekspresi.

Jadi Retta pernah pergi ke kos Viki?

Arum mencoba mengurut lagi memori dalam kepalanya.

Apa itu berarti yang pak kos maksud itu Retta?

Pertanyaan demi pertanyaan tiba-tiba memenuhi pikiran Arum.

Gila ya! Aku aja yang ceweknya sampe sekarang belum pernah masuk ke kamarnya.

Arum merasa dikhianati. Retta secara sekilas memang sedikit mirip dengannya. Proporsi tubuh juga potongan rambut yang sama-sama pendek kala itu. Juga warna kulit yang bahkan hampir sama walau tubuh Retta sedikit lebih kurus. Tidak salah kalau bapak kos Viki salah dalam menilai mereka berdua. Tentu saja Retta memiliki usia yang jauh lebih muda darinya dan juga single. Kalau disuruh memilih, pria normal mungkin akan lebih memilih Retta dilihat dari sisi manapun.

Bagaimanapun ini keterlaluan. Arum sudah mendapat cukup jelas bukti. Tentu saja itu Arum, dia mencoba menanganinya dengan kepala dingin. Dia ingin melihat sejauh mana Viki akan bertahan dan menutupi semuanya. Dia akan memberi kesempatan Viki untuk memilih antara dirinya atau Retta. Dia ingin memberi kesempatan Viki untuk mengakuinya. Bukan malam ini, karena hatinya sendiri masih lelah.

Viki tiba di ruang tamu lagi setelah urusannya selesai, "ah legaaa…"

Viki mendekati Arum sedikit melihat pada jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8:20, "aku kayanya pulang dulu ya, Ay. Udah malam banget ini. Enggak enak sama tetangga,” Arum hanya bisa menjawabnya dengan anggukan.

"Kenapa sih, Ay? Kok mendadak diem gitu?" tanya Viki penasaran sambil memasang lagi jaketnya.

"Enggak apa-apa kok. Aku lagi capek aja. Ya udah tiati," itu saja jawab Arum yang bahkan enggan melihat wajah Viki.

Viki yang sebenarnya masih bingung, tetap memilih pulang karena memang malam makin larut. Sedangkan Arum kembali ke kamarnya dengan beribu tanya bergelayut dalam pikirannya.

Gimana ceritanya sih? Baru sorenya happy-happy ketemu sama orangtuanya, eh malamnya ngegap dia selingkuh. Dalam tiga jam doang! Gampang banget dah ya Tuhan kalo urusan membolak-balikkan hati. Apa salahku ya Tuhan? Aku sudah terlanjur sayang sama Viki. Malah sekarang dikasih ujian kaya gini. Huufftt. Yang kuat ya Arum. Yang sabar juga. Kamu pasti bisa nglewatin ujian yang satu ini.

Ujar Arum meyakinkan dirinya sendiri. Mengingat nasehat dari tantenya, tak ingin terperosok terlalu dalam pada pesona pacar brondongnya itu, tapi apakah dia mampu?