webnovel

Bree: The Jewel of The Heal

Brianna Sincerity Reinhart, putri seorang Duke yang mengepalai Provinsi Heal di Negeri Savior. Suatu hari, Bree menyelamatkan seorang wanita yang berasal dari negeri Siheyuan, sebuah negeri yang merupakan negara sahabat kerajaan Savior. Bree membawa wanita tersebut ke kediaman keluarga Reinhart dan malangnya wanita itu mengalami amnesia dan hanya mengingat kalau dia biasa dipanggil Han-Han. Ternyata wanita tersebut memiliki kemampuan pengobatan tradisional yang sangat mumpuni, sehingga Duke Reinhart memintanya untuk menjadi tabib muda di Kastil Heal. Sejak kehadiran Han-Han Bree mulai semangat menekuni dunia obat-obatan dan menjadi lebih terarah. Bree menjadi rajin untuk memperbaiki diri karena ingin mendapatkan keanggunan seperti Han-Han. Di saat Kaisar Abraham, pimpinan negara Savior, mengadakan kerjasama dengan Siheyuan, mereka menerima delegasi yang dikirimkan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuan Muda Lacey, seorang jenderal perang yang masih muda, tampan, tangguh namun minim ekspresi. Bree langsung menyukai pria tersebut saat pertama kali mencuri pandang pada Tuan Muda Lacey tersebut. Bree yang mempunyai perangai terbuka dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Yue Lacey namun penolakan adalah yang menjadi santapannya. Puncaknya adalah saat Yue Lacey bertemu si anggun dan cerdas Han-Han. Tuan Muda tersebut tidak menutupi ketertarikannya dan itu membuat Bree sangat tersakiti. Haruskah Bree mengalah demi Han-Han yang menjadi sumber inspirasinya? Haruskah dia melepaskan pria idamannya, Yue Lacey? Kisah berawal di provinsi Heal. Apakah nama provinsi ini akan sesuai dengan pengharapannya, penyembuh. Ini kisah lika-liku Bree dalam mencari peraduan cintanya. Kisah ini bukan hanya mengajarkan mengenai mengejar dan mempertahankan cinta karena tingkat tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Siapakah yang akan mengikhlaskan, Bree atau Han-Han?

Pena_Bulat · Histoire
Pas assez d’évaluations
48 Chs

Aku memang egois

Azlan

Aku termasuk memiliki intuisi yang kuat. Jadi, jujur saja dengan perasaan tidak tenang yang tiba-tiba menyeruak ini, aku merasa tidak nyaman. Aku sangat meyakini akan ada sesuatu yang tak ingin kulihat di area yang akan kutuju.

"Naena!" Aku tak sengaja melihat gadis yang biasanya melayani keperluan Bree.

"Pangeran Azlan." ujarnya seperti biasa dengan menunduk hormat.

Aku memperhatikan apa yang dibawanya. Naena mengikuti arah pandangku.

"Ini makanan untuk Nona Bree. Dia belum makan apa pun sejak tadi malam."

Ucapan Naena cukup menohokku. Betapa buruknya diriku. Aku sama sekali tak terpikir untuk mengajaknya makan sesuatu saat kami bersama tadi. Lebih buruk lagi, aku bahkan tak sampai memikirkan perihal dia sudah makan atau belum. Aku hanya fokus untuk menyeretnya keluar dari kedukaannya. Aku memang seburuk itu ternyata.

"Pangeran mau menemui Nona Bree?"

Aku sedikit gelagapan saat mendengar suara Naena. Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakannya barusan.

"Err..."

"Anda melamun ternyata." ucap Naena pelan sambil terlihat menahan untuk tidak tersenyum geli.

"Saya bertanya apakah Pangeran Azlan mau menemui Nona Bree?" ulangnya lagi.

"Ah iya, tentu. Menemui Bree. Itu maksud tujuan kemari." Aku berusaha menguasai diriku agar tidak terlalu kelihatan kalau aku tidak begitu fokus.

"Kalau begitu silahkan Pangeran." Naena mempersilahkan diriku untuk berjalan mendahuluinya.

"Pangeran Azlan!"

Belum sempat aku melangkah untuk menuju gazebo belakang, seseorang terdengar memanggil namaku. Dan ternyata Kak Li Ho orangnya.

"Kak Li Ho?" Calon ayah muda itu hanya mengangguk singkat dan memberi senyum tipis.

"Naena! Kau bisa berangkat duluan. Saya akan menyusul setelah selesai dengan Kak Li Ho." Naena mengangguk dan langsung pamit pada kami berdua.

"Ada sesuatu yang mendesak, Kak?" Dia menggeleng cepat.

"Hanya menyampaikan pesan dari para tetua." Kak Li Ho mengangsurkan sebuah gulungan kecil sebelum kemudian langsung pergi dari Paviliun Heal.

Dengan penuh rasa penasaran aku membuka gulungan tersebut. Rasanya sedikit aneh. Bukankah mereka baru saja berbicara padaku? Jadi untuk apa mereka mengirimkan sebuah pesan?"

Pesan tersebut ditulis langsung oleh Ayah. Tidak terlalu panjang namun makna perintahnya sangat dalam.

"CEPAT BICARAKAN MENGENAI URUSAN INI, KAU DAN BREE. DAPATKAN PERSETUJUAN NONA MUDA ITU. SETELAH SEMUA SELESAI CEPAT PERSIAPKAN DIRIMU UNTUK KEMBALI KE SAVIOR. ADA SESUATU YANG HARUS SEGERA KAU AMBIL, AZLAN.

AMBIL CINCIN UNTUK PERTUNANGANMU DAN BREE. LETAKNYA ADA DI PETI PENYIMPANAN IBUMU, KAU TAU TEMPATNYA, KAN?

SEGERA SAJA BERANGKAT, TAK PERLU TEMUI AYAH LAGI, KARENA KAU JUGA TIDAK AKAN MENEMUKAN AYAH DI HEAL SAMPAI BESOK SORE.

BERTINDAKLAH CEPAT!

Aku kembali melipat pesan tersebut. Aku bertanya-tanya mengenai apa yang akan Ayah lakukan hingga harus meninggalkan Heal sampai besok sore. Apakah ini bagian dari rencana para tetua juga? Ah...sudahlah! Tak perlu pusing memikirkan rencana mereka. Sekarang aku hanya perlu memastikan kalau apa yang kurasakan tadi itu tidak benar.

Aku terus menyusuri lorong-lorong yang ada di Paviliun Heal. Untuk pertama kalinya aku merasa kalau Paviliun Heal ini teramat besar. Aku terus berjalan, namun belum juga menemukan bagian belakang paviliun ini. Padahal ini bukan pertama kalinya aku berjalan menuju gazebo. Dan kalau pun harus berkuda, aku harus menggunakan jalan lain, tentu tidak mungkin berkuda melalui lorong-lorong paviliun.

Aku terus mencoba menepis perasaan tak nyaman dalam diriku yang justru terus menguar. "Yakinkan dirimu, Azlan. Bree sudah berjanji untuk mulai semuanya dengan normal, tanpa membuat berbagai benteng lagi." Aku terus merapalkan sugesti positif untuk menyemangati diriku sendiri.

"Bree, mulai sekarang, aku hanya ingin kau mengandalkan bahuku untuk tempatmu bersandar. Tentu Daddy masih boleh untuk ambil bagian juga." Aku membuat berbagai monolog untuk membunuh pikiran-pikiran negatifku.

"Biarkan hanya sepasang lenganku ini yang akan memberimu rangkulan hangat. Biarkan hanya jari-jariku yang akan menghapus aliran air matamu. Tapi akan lebih baik kalau itu tidak terjadi, sebab melihatmu menangis adalah hal yang paling tidak kusukai." Mungkin kalau ada orang yang melihatku mereka akan mengira kalau aku sudah gila karena bicara sendiri.

Meski bagaimana pun, sepertinya apa yang kulakukan ini cukup efektif. Tanpa terasa aku sudah berada di ujung lorong paviliun dan tumpukan salju di tanah mulai terlihat.

Di depan sana ada dua orang berjalan ke arahku. Dua orang wanita. Ternyata Mommy dan Naena. Itu artinya mereka meninggalkan Bree di area gazebo. Mungkinkah karena Naena telah mengetahui kalau aku akan kemari?

"Mommy, Naena. Kalian kembali?"

Mommy mengangguk sekilas dan tersenyum sebelum menjawabiku.

"Bree tidak ingin diganggu saat menikmati hidangannya."

Dasar gadis itu. Padahal aku yakin tujuan Mommy adalah untuk menghiburnya. Menanggapi ucapan Mommy, aku hanya tersenyum tipis.

"Azlan akan menaminya, Mom." Bagaimana pun aku merasa inilah kesempatan untuk menyampaikan apa yang telah menjadi topik para tetua beberapa waktu ini.

Aku langsung pamit dan mempercepat langkah menuju satu-satunya gazebo yang ada di belakang Paviliun Heal ini.

"Ya Azlan..." Aku tidak terlalu mendengar apa yang Mommy ucapkan karena aku yang sengaja mempercepat langkah telah berada cukup jauh dari Mommy.

Hanya sekitar beberapa puluh depa aku akan bisa tiba di gazebo. Namun, apa yang kurencanakan tadi langsung buyar saat dari jarak sekitar sua puluh depa gazebo sudah terlihat jelas beserta siapa di dalamnya.

Baru di sepanjang lorong aku mengucap harap agar hanya lenganku saja yang akan mendekapnya. Baru dalam perjalanan menuju kemari aku membuat keinginan agar hanya dekapanku yang akan memberinya ketenangan.

Namun, aku bahkan belum sempat mengutarakan inginku itu. Aku bahkan belum mengucap langsung keinginan untuk menjalin hubungan ke tahap berikutnya dengan Nona Muda Heal yang paling bersinar.

Semua baru sebatas harap, namun harus terhempas sebelum menghadang badai. Ibarat bunga sudah dipetik sebelum mekar. Aku tercampak bahkan sebelum diterima.

Di dalam gazebo Bree sedang bersandar nyaman dalam dekapan seorang pemuda. Tangan pemuda itu melingkar dengan leluasa di pinggang Nona Brianna itu.

Aku tersenyum miris melihat pemandangan di depanku. Kakiku dengan gontai terus melangkah. Sayup mulai terdengar apa yang mereka bicarakan. Nada suara manjanya membuatku hanya mampu tersenyum getir.

"Baiklah. Sekarang apa yang kau inginkan? Aku sudah menghabiskan makananku sesuai syarat darimu."

"Tidak juga. Aku hanya ingin kau menghabiskan makananmu."

"Alll...Kau mempermainkanku."

"Apa pun akan kulakukan untuk kebaikanmu."

"Kau terdengar begitu manis, Al."

"Aku selalu begitu di depanmh, kan. Dan ... aku serius dengan perkataanku tadi."

"Aku juga serius, Al."

"Jadi, kau mau mendengarkan permintaanku tadi? Kau akan tetap memprioritaskan diriku?"

"Bukankah kau selalu menjadi prioritasku sejak dulu, Al. Kau saja yang memilih menjauh."

"Jadi kau akan mempertimbangkan ucapanku tadi?"

"Perkataanmu yang mana, Al? Kau sudah mengatakan banyak hal sejak tadi."

"Aku tadi bertanya padamu tentang hubunganmu dan Azlan. Apakah kau akan mengakhiri hubunganmu dengannya kalau kukatakan aku tak menyukai itu?"

Apa yang akan menjadi jawaban Bree? Jawaban Bree akan menentukan langkah yang akan kuambil selanjutnya.

"Alll, mengapa kau berkata begitu?"

"Jawab saja, pilih aku atau Azlan?"

"Apa pilihanmu, Bree?" Aku memilih nekad maju.