Daisy memandang Devan dengan mata berkaca-kaca. Entah kenapa ia merasakan sakit yang Devan rasakan. Tapi sayangnya semua ini bukan salah Zen. Memang waktulah yang mempertemukan dan membuat dua orang memiliki rasa. Tapi sekali lagi, Daisy merasakan dirinyalah yang bersalah.
"Aw!" Erangan kesakitan dari tubuh Daisy memaksanya untuk kembali duduk. Devan memandangnya dengan pandangan cemas padahal tadi ia sedang merasa sedih.
"Daisy... maaf, aku-"
"Minggir! Ayo, Daisy." Zen muncul tepat waktu sehingga ia langsung membopong Daisy menuju mobilnya. Semua orang menatap mereka seolah sedang mempertunjukkan suatu acara drama. Sejenak Devan terdiam dan ia memilih ikut pergi meninggalkan tempat itu dan kembali menuju rumahnya.
Zen menatap Daisy yang terbaring lemah di kasur kamarnya. Kali ini ia tidak membawa Daisy ke rumah sakit, melainkan memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Daisy. Kondisi Daisy yang semakin melemah membuatnya benar-benar enggan mengizinkan Daisy keluar apartemen jika untuk bertemu dengan Devan.
"Sebaiknya Anda benar-benar menjaga Bu Daisy, Pak Zen. Saya khawatir jika hal seperti ini terjadi lagi, kemungkinan keguguran akan terjadi. Karena memang sayang sekali, Bu Daisy cukup memiliki riwayat stres yang berat jika sesuatu menimpanya," jelas dokter Erwin.
Hanya anggukan kepala Zen yang menjadi respons dari akhir pembicaraan mereka. Zen tidak ingin mendengar lebih yang buruk yang membuatnya ikut merasakan stres.
Zen membiarkan Daisy tertidur sementara ia duduk termenung di ruang tamu. Televisi menyala namun tak satu pun ia lihat sebagai penghibut mata. Ia memikirkan langkah terbaik agar Daisy tidak perlu keluar lagi untuk bertemu Devan.
Sial! Pikir Zen. Ia pun segera meraih jaket kulitnya, keluar apartemen dan menguncinya, lalu menuju rumah Devan-lebih tepatnya rumah Papanya, untuk pertama kalinya ia kunjungi.
Suara bel yang Zen tekan berkali-kali pada akhirnya terbuka. Ia tahu sangat tidak pantas jika bertamu ke rumah orang di malam hari seperti saat ini. Dan kini, sosok wanita yang mungkin usianya mirip dengan Neva, yang tak lain dan tak bukan adalah Istri kedua dari Papanya, alias Mamanya Devan, berdiri di depannya dengan pakaian tidurnya.
"Oh, halo... Zen? Apa... kabar?" sapa Felly, nama dari istri kedua Gerald. Nadanya terdengar ragu karena memang Zen tidak pernah berkunjung sekali pun ke rumah Gerald.
"Apa ada Devan?" tanya Zen tanpa menjawab sapaan Felly.
"Devan, kemungkinan ada di apartemennya. Kalau udah jam segini mobilnya nggak terlihat, biasanya dia pulang ke apartemenya," jawab Felly jelas dengan sesekali pandangan matanya melihat parkiran mobil.
Zen langsung meninggalkan rumah Gerald tanpa permisi dan ia menuju apartemen Devan. Tidak perlu menanyakan alamatnya karena ia memang tahu di mana Devan tinggal jika sedang ingin sendiri.
Terdengar keramaian di dalam apartemen Devan ketika Zen sudah di ambang pintu. Ia ragu untuk mengetuk pintu itu karena pastinya tidak akan terdengar oleh Devan. Zen pun akhirnya menunggu untuk beberapa saat karena ia berpikir Devan sedang membuat kekacauan demi menghibur hatinya. Ia cukup hapal dengan anak sambung Papanya itu.
Dua jam, waktu yang cukup lama, tapi pada akhirnya pintu terbuka dan menampakkan tiga wanita yang sedang Devan temani untuk menuju pintu apartemennya.
"Bye, darling!" goda ketiga wanita itu dan enyah dari apartemen Devan.
Zen langsung meraih kerah kemeja Devan yang terbuka kancingnya itu, mendorongnya hingga masuk ke dalam. Lalu ia memukul Devan dengan keras.
BUKKK!!!
Beberapa kali hantaman Zen daratkan ke wajah dan tubuh Devan hingga laki-laki itu berdarah setidaknya sedikit. Setelah merasa puas, Zen berhenti dan menarik mengembuskan nafasnya.
"Ini peringatan terakhir buat lo! Lo bakal nyesel kalau sekali lagi mengusik Daisy, brengsek!" ancam Zen lalu keluar dan menutup pintu apartemen Devan dengan keras.
***
Hari kebahagiaan itu tiba. Zen tidak pernah merasa terharu seperti ini melihat Daisy dengan gaun pengantin. Berjalan mendekati Zen dengan wajah yang mempesona walau terlihat masih begitu lemah.
Setelah mengucap janji satu sama lain, secara resmi Zen mencium bibir Daisy yang merekah dengsn warna lisptik yang merona. Daisy tidak menolak, bahkan ia membalas ciuman Zen begitu intens.
Pesta setelah peresmian pernikahan pun terjadi. Ada yang berdansa sesuai ritme lagu, menyampaikan pidato yang sangat berarti dan berakhir dengan perbincangan santai satu sama lain.
Daisy melirik sekilas ke arah pintu utama yang di mana Devan datang dengan pakaian yang begitu resmi. Sejenak ia memberi isyarat pada Zen tentang siapa yang dilihatnya. Rahang Zen mengeras begitu melihat Devan, tapi Daisy ingin Zen memberinya waktu sebentar.
"Hanya di sini, jangan sampai keluar gedung," bisik Zen. Daisy mengangguk patuh dan berjalan dengan anggun menuju Devan.
"Wow! Amazing!" puji Devan tersenyum menatap Daisy.
"Terima kasih. Kamu juga kelihatan... tampan?" puji Daisy yang kelihatan ragu menilai seseorang. Ia menatap sedikit lama wajah Devan yang masih ada bekas luka akibat pukulan Zen beberapa minggu lalu. Zen memang memberitahu Daisy tentang itu dan Daisy awalnya cukup marah karena Zen terlalu berlebihan.
"Kamu... jalan seperti akulah calon pengantin laki-lakimu," ujar Devan dengan nada berat.
"Devan, jangan mulai. Zen bisa marah kalau dia dengar."
"Aku bercanda, Daisy. Hidup nggak perlu dibuat terlalu serius, bukan?"
"Hmm... kamu melewatkan upacaranya," kata Daisy mengalihkan.
"Nggak ada orang yang tersakiti mau melihat proses upacara pernikahan orang yang disukainya, Daisy," balas Devan menghela nafasnya.
Daisy menunjukkan rasa iba tapi tidak seperti kelihatannya. Ia hanya begitu peduli pada Devan. Pada perasannya. "Ayolah, Devan. Jangan. Please." Daisy tahu bahwa Devan memang memiliki perasaan padanya, tapi bukan berarti lantas Daisy tidak mengizinkan Devan untuk mengakui. Hanya saja, Daisy meminta Devan untuk mengurangi cara dia menyatakannya.
"Apa aku boleh dapat pelukan?" tanyanya seraya melebarkan dua tangannya.
Tanpa pikir panjang Daisy terjatuh ke dalam pelukan Devan. Hangat, batinnya. Sama hangatnya seperti saat ia memeluk Zen.
"Kamu tahu, Daisy, aku akan selalu ada buat kamu. Kapan pun," bisik Devan yang terdengar sangat mengundangnya untuk datang kapan pun yang ia inginkan.
Hanya gumaman Daisy-lah yang menjadi pengakhir dari pelukan itu hingga Zen datang mendekat dan berdeham.
"Gue rasa waktu lo habis sama dia," timpal Zen.
Daisy menjauhi Devan dan mundur ke arah Zen. Ia tersenyum lemah pada Devan untuk kehangatan yang ia rasa.
"Santai, Zen. Gue cuma mau ngucapin aja. Dan yah, sekaligus menikmati jamuan di sini. Pasti ada bir, kan? Bye now!" Devan melangkah menjauh dari Zen dan Daisy yang menatapnya berjalan menuju bagian minuman hingga Zen menatap Daisy dengan pandangan tajamnya.
"Kamu nggak terbuai, kan?" tanya Zen.
Daisy memutar bola matanya kesal karena kecemburuan Zen dan akhirnya memilih tidak menjawab dan berbalik untuk bergabung bersama beberapa temannya yang datang.
adakah adegan di sini yang mengingatkan kalian pada sesuatu? tell me what. huehehe~