webnovel

BOSSY BOSS

Daisy ... wanita penuh dengan pesona di mata para pria. Pernah menikah, hamil, keguguran hingga bercerai. Lalu hidupnya di pertemukan dengan beberapa pria yang membuatnya jatuh ke lubang yang nikmat, bahagia, dan menyakitkan. Kemudian ketika ia akan berubah menjadi yang lebih baik, Daisy di hadapkan dengan dua pria yang membuatnya dilema. Dicintai dan mencintai atau mengikuti nafsu yang membuatnya mabuk kepayang? Bagaimana pilihannya? Siapakah yang akan ia pilih dan bagaimana kehidupannya setelah akhirnya dengan pilihannya sendiri? [TAMAT]

KAREN_DN · Urbain
Pas assez d’évaluations
243 Chs

Chapter 19 - Sedikit Cerita...

Zen tersenyum usai ia mengatakan hal itu pada Daisy. Tentunya ia merasa sangat gugup, tapi Zen cukup pandai menyembunyikan perasaannya. Ia hanya senang melihat Daisy tersipu malu walau Daisy mencoba bersikap biasa. Tapi Zen tahu bahwa Daisy mulai jatuh cinta padanya.

Membiarkan Daisy sibuk dengan pikirannya membuat Zen penasaran akan apa yang Daisy pikirkan. Sebab ketika diam, Zen bahkan tidak punya bahan pembicaraan yang lainnya. Seperti saat ini, ketika di mobil usai bertemu dengan Dera, Daisy diam. Padahal Zen sendiri hanya berusaha agar tetap bersama Daisy, maka ia memanfaatkan waktu dengan alasan makan bersama dan jalan-jalan sebagai pengganti kemarin.

"Tatapan Dera tadi... apa kamu nggak merasa suka padanya?" tanya Daisy tiba-tiba.

Zen sebenarnya tidak begitu lagi terkejut akan apa yang akan Daisy tanyakan dengan dadakan seperti saat ini. Ia hanya sedikit kebingungan ketika akan menjawab. Tapi mendengar pertanyaannya seperti ini, Zen senang.

Perasaan suka pada Dera, tentu ada. Tapi untuk hati, tidak. Begitulah yang Zen rasakan melihat wanita seperti Dera.

"Nggak," jawab Zen singkat.

"Kenapa? Aku rasa semua cowok pasti akan suka padanya dengan... yah, penampilan dan wajah cantiknya."

Zen mencoba memikirkan kata-kata Daisy. Hanya untuk berpura-pura agar terlihat sedikit lebih lama dan membuat Daisy kesal.

"Karena dia bukan kamu, jadi aku nggak suka," jawab Zen jelas.

Daisy diam. Bibirnya tampak menganga tapi hanya sebentar. Ia pun lalu memalingkan wajahnya ke arah luar. Menyembunyikan wajah malunya dan senyum tipisnya yang bisa Zen lihat sekilas.

Sampai restoran, mereka pun langsung memesan menu paket yang Zen ajukan sesuai yang sedang restoran itu buka. Daisy hanya menurutinya karena kebetulan menunya juga tidak akan membuatnya masalah.

Kecanggungan saat berhadapan berdua dengan Daisy terus Zen rasakan. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat karena memang ia bukan tipikal laki-laki romantis.

"Aku ke toilet dulu," ujar Daisy yang sudah berdiri menatap Zen.

"Ya. Jangan lama-lama."

Daisy hanya memutar bola matanya dan sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat apakah mata Zen mengekorinya atau tidak. Tentu saja Zen matanya mengikuti Daisy hingga hilang di balik toilet.

Saat Zen masih memperhatikan toilet wanita dari kejauhan untuk menunggu munculnya Daisy dari balik toilet itu, Zen melihat Devan keluar dari toilet laki-laki yang bersebelahan dengan toilet wanita. Lalu diikuti Daisy yang juga muncul dari toilet wanita. Zen terkesiap, matanya menatap tajam Daisy dan Devan dengan harapan Zen bahwa mereka tidak akan bertemu.

Dan beruntunglah, Daisy tidak melihat Devan. Ia cukup bisa mengembuskan nafasnya lega sampai akhirnya melihat Daisy duduk di hadapannya lagi.

"Kamu pikir aku akan kabur lagi?" tanya Daisy sarkasme.

"Orang kalau sudah dibohongi, biasanya akan susah untuk percaya, Daisy," jawab Zen.

"Nyatanya aku nggak lari dari kamu, Zen. Aku..." ucapan Daisy terputus saat makanan yang dipesan tiba. Zen penasaran dengan apa yang ingin Daisy katakan, tapi ia hanya diam dan tak mencoba menguliknya lagi. Saat ini ia tidak ingin lebih kelihatan menariknya mendekat. Tapi untuk menjaga Daisy dari laki-laki mana pun selain dirinya, Zen rela untuk memperlihatkan dirinya betapa menginginkan Daisy.

Selesai makan, Zen sedikit mengulur waktu karena ternyata saat hampir bersamaan Devan dan teman-temannya beranjak pergi dari restoran itu. Ia tidak habis pikir, kenapa bisa bertemu dengan anak sambung Papa-nya selama dua hari ini.

"Habis ini kita ke mana?" tanya Daisy.

"Entah, nanti biar aku pikirkan lagi."

"Kalau kamu nggak merencanakannya, lebih baik pulang aja. Antar aku ke rumah, ya?"

Zen langsung menatap Daisy begitu ia mengatakan itu. Tatapan tajamnya benar-benar menerkam Daisy hingg ia menutup mulutnya.

"Maaf, aku nggak bermaksud buat kamu marah," ujar Daisy kemudian.

"Aku nggak merencanakan akan ke mana itu karena aku tahu terkadang sesuatu yang direncanakan biasanya akan gagal. Dan soal ke rumah, besok aku antar kamu ke rumah," jelas Zen.

Ada ekspresi lega yang Daisy perlihatkan pada Zen. Mereka pun akhirnya keluar dari restoran begitu Zen sudah memastikan Devan sudah pergi.

***

Angin malam yang berhembus cukup membuat Daisy merasa kedinginan dengan gaun yang ia kenakan. Zen pun akhirnya menyampirkan jasnya pada tubuh Daisy yang membuat Daisy terlonjak kaget tapi ia membiarkannya begitu.

"Makasih," ucap Daisy.

Mereka menikmati danau itu dengan keremangan lampu-lampu kota dan beberapa orang yang ikut juga menikmatinya. Tak lupa Zen juga sudah membelikan makanan kecil dan minuman untuk dinikmati di bangku tepi danau itu.

"Rasanya tenang banget di sini," kata Daisy seraya menatap danau yang airnya bergerak mengikuti mata angin.

"Tempat ini yang sering aku kunjungi kalau lagi ingin sendiri," ujar Zen.

Daisy menatap laki-laki di sebelahnya itu. Seolah yang baru saja ia dengar adalah sebuah kesalahan. Pikirnya, laki-laki egois seperti Zen mana mungkin ingin kesendirian. Pikirnya, Zen melakukan hal-hal negatif sebagai rasa bosannya. Nyatanya, ia tidak menemukan kebohongan di mata Zen yang masih memandang lurus ke depan itu.

"Aku tahu kamu kaget aku bilang begitu, Daisy. Dan aku tahu kamu udah menemukan jawabannya," tutur Zen yang memang merasa Daisy pandangi.

"Maaf. Hanya aja... kelihatannya aneh."

"Semua orang pasti butuh kesendirian. Betapa pun rumitnya orang itu."

Seperti ditusuk pisau tajam, rasanya sangat perih mendengar nada kesedihan Zen. Seakan dirinya sudah menilai Zen sangat buruk hingga berpikir bahwa Zen tidak memerlukan hal-hal seperti saat ini.

"Apa kamu bisa sesekali bersikap baik padaku tanpa mengintimidasiku, Zen? Atau semacamnya? Sehingga aku nggak perlu menilai kamu adalah orang yang selalu buruk," tanya Daisy.

Zen tertawa kecil. Pertanyaan Daisy tentunya merupakan jebakan baginya. Walau nada keseriusan dan kejujuran Daisy terlihat jelas, tapi Zen memang bukan tipikal yang mudah baik pada seseorang setelah orang itu menghancurkan bagian dirinya.

"Aku lagi mencoba sisi terbaikku, Daisy. Dan aku memang orang seperti ini."

Daisy hanya diam menatap Zen. Sesekali rambutnya diterpa angin hingga aromanya memabukkan Zen. Zen sendiri tidak begitu tahu apa saja yang Daisy kenakan saat mandi dan wewangiannya. Yang jelas, setiap aroma Daisy yang menyeruak masuk ke rongga hidungnya, membuatnya sangat merasa kecanduan berada di dekat Daisy.

"Oh... begitu. Apa karena ajaran Tante Neva?"

"Nggak juga. Seseorang bisa bersikap seperti yang kamu nilai luarnya, itu karena ada sebabnya, Daisy. Mungkin seperti seseorang yang berkata bahwa rasa sakit itu merubah seseorang. Pernah dengar, kan?"

Daisy mengangguk ragu. Ia memang tidak begitu paham dan mengenal latar Zen. Yang ia tahu hanya apa yang Zen lakukan dan katakan. Tapi mendengarnya, membuat dada Daisy merasa sesak. Entah kesakitan apa yang Zen rasakan hingga membuatnya jadi seperti ini, pikirnya.

"Lagi pula," ujar Zen seraya menatap Daisy lekat-lekat. "Tanpa aku atau kamu merubah diriku, aku tahu aku sudah selangkah lebih maju membuatmu mulai mencintaiku."