Setelah sarapan, aku mencuci dan membersihkan dapur seorang diri. Selanjutnya aku membersihkan warung, lalu mengecek barang dagangan dengan sebuah buku.
Selesai dengan tanggung jawabku, aku menonton serial anime di internet. Sambil menonton, aku sempatkan diriku untuk berlatih tulisan hiragana dan katakana. Dari arah kanan jalan, datanglah salah satu kerabat mamahku. Beliau bernama Haris kakak ketiga mamahku, setiap kali kami bertemu aku sering memanggilnya dengan sebutan, "Wa Haris". Wa haris memiliki tinggi badan sedang, cungkring, berhidung mancung, dan rambut beruban. Dia datang menggunakan baju batik, celana bahan berwarna hitam, dan memakai peci. Hari ini Wa haris membeli bungkus rokok sampoerna, aku pun lupa harga rokok tersebut. Spontan aku langsung mencari kedua orang tuaku, di dalam rumah. Namun tidak ada siapa-siapa, tiba-tiba aku baru saja ingat, rupanya mereka sedang menghadiri sebuah acara pernikahan. Dengan terpaksa aku harus menebak harganya sendiri. Lalu Wa Haris pun berkata.
"Dari dulu sampai sekarang, harga rokok masih saja lupa. Payah sekali kamu ini, oh iya kenapa kamu keluar dari akademi? Padahal sayang tuh uang tiga puluh juta, melayang siang-siang. Cemen kamu dasar lemah, pasti kamu minta pulang yah?" ledeknya.
Aku tidak bisa mengatakan apapun, yang bisa diriku lakukan hanyalah memberikan senyuman. Rasanya hatiku terasa panas, inginku robek mulutnya lalu aku tarik lidahnya menggunakan hingga tak bisa bicara. Kedua tanganku terasa gatal ingin memukulnya. Tiba-tiba handphone miliknya pun berbunyi, lalu ia langsung mengangkatnya. Selesai menjawab panggilan, ia langsung pergi menaiki motornya. Setelah membayar ia pergi begitu saja. Tak aku sangka kabar mengenai keluarnya diriku dari akademi, sudah tersebar luas. Setiap aku meladangi kerabat serta tetanggaku, mereka melemparkan pertanyaan yang sama. Lama kelamaan telingaku terasa seperti terbakar, namun aku harus berlampang dada sebab ini adalah keputusanku sendiri. Cacian dan makian mereka harus aku terima dengan sukarela. Seperti kata petuah lama,"Berani berbuat berani bertanggung jawab".
Singkat cerita malam pun tiba, aku dan keluargaku duduk di tetas depan, sambil menikmati martabak bangka. Ketika aku sedang makan, Papaku meminta maaf kepadaku lalu aku pun juga begitu. Walau bagaimanapun juga ini murni kesalahanku, andaikan diriku bisa menolaknya dengan tegas, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, dari pada saling menyalahkan lebih baik menikmatinya. Lagipula masa depan seseorang tidak ada yang tau. Lalu Papahku bertanya.
"Setelah ini kamu mau kemana?"
"Papah..." kata mamahku, sambil memberikan sebuah isyarat.
"Rencananya habis ini Juliet mau cari kerja, setelah mendapatkan pekerjaan Juliet pengen sambil kerja. Lalu sambil menunggu panggilan, Juliet mau ikutan SBMPTN" ujarku.
"Sama kayak sebelumnya dong" kata Mamahku.
"Iyah cuman bedanya yang ini murni keinginan sendiri" ujarku.
"Kalau kamu kuliah, mau ngambil fakultas apa?" tanya Papahku.
"Fakultas bahasa Jepang, soalnya selama disana Juliet sering berlatih huruf hiragana. Jadi kalau tidak dilanjutkan, sayang juga kan Pah"
"Yasudah kalau begitu, mending kamu ikutan program magang ke Jepang. Papah punya kenalan kok disana, jadi jangan khawatir soal pendaftaran" ujar Papahku.
"Juliet pengen jadi sarjana dulu, baru pergi kesana"
"Yasudah yang semangat, papah selalu mendukung kamu" kata Papahku.
Aku senang mendengarnya, sepertinya sedikit demi sedikit semangatku telah kembali. Keesokan harinya babak baru telah dimulai, aku mulai mengelilingi JABODETABEK dengan motorku seorang diri. Suasananya yang panas serta teriknya matahari, tak mengurungkan niatku untuk mencari kerja. Siang dan malam aku terus berdoa, agar dipermudah segala keinginanku. Tak terasa satu setengah bulan telah berlalu, sampai sekarang diriku belum menerima panggilan. Sambil menunggu aku mencari informasi tentang perkuliahan, yang akan aku singgahi. Namun pilihanku tetap sama seperti sebelumnya, cuman kali ini jurusan Bahasa Jepang menjadi prioritas utama. Jika aku gagal kembali dalam mengikuti SBMPTN, Universitas Sayuti Melik akan menjadi pilihan terakhirku.
Setelah itu aku mulai belajar dengan giat, kali ini aku harus lulus SBMPTN dan masuk ke kampus impianku. Siang dan malam tiada hari selain belajar dan membaca buku, tak lupa menjulurkan tangan kepada Sang Pencipta, agar diberikan kemudahan. Di waktu senggang aku habiskan waktu dengan menulis Novel. Judul yang sedang aku tulis adalah "Golda knight", yang artinya kesatria emas. Kisah ini bercerita tentang seorang anak yatim piatu, yang mendapatkan kekuatan misterius, dari laboratorium bawah tanah rumahnya. Lalu ia gunakan kekuatan itu untuk melawan kejahatan besar. Sekarang sudah mencapai dua ratus lembar, jujur sebenarnya dari pada membuat Novel, aku lebih suka membuat karyaku ke dalam bentuk komik.
Sebab menurutku, manusia lebih suka melihat dibandingkan dengan membaca. Aku merasa kasihan dengan para penulis diluar sana. Mereka menulis siang dan malam, tetapi sayang tulisannya seolah tidak dihargai. Maka dengan terpaksa, sebagian penulis harus bertingkah seperti pengemis. Pengemis disini dalam artian meminta rating dan minat baca seseorang, agar menyukai karyanya. Terkadang karena kurangnya minat baca, penulis merasa kesulitan dalam menentukan kualitas tulisannya. Tetapi itu bisa dilakukan, oleh sesama penulis dengan cara meriview balik. Berbeda dengan negara lain, terutama negara eropa dan Jepang. Negara itu mendepankan karya tulis dan minat baca warganya. Maka lahirlah kualitas penulisan berstandar internasional.
Terkadang ketika aku melakukan sesuatu, secara berulang-ulang diriku mulai merasa bosan. Maka keesokan harinya, aku memutuskan untuk berenang di Waterboom Citapen. Sesampainya disana, aku langsung ke kolam yang paling dalam. Sebelum memasuki kolam, aku melakukan pemanasan terlebih dahulu. Setelah itu memasuki kolam, secara perlahan-lahan dari sisi kolam. Selanjutnya aku langsung berenang dari ujung ke ujung, ternyata kemampuanku masih ada. Satu jam telah berlalu, akhirnya aku kembali ke saung untuk beristirahat. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok yang tak asing bagiku. Keberadaanya membuatku ingin memukulnya, sosok itu tak lain adalah Soni mantan seniorku.
Hari ini dia datang, bersama seorang temannya yang berbadan tinggi. Sadar dengan keberadaanku, ia pun tertawa lalu ia memberitahu temannya. Temanya pun heran, lalu Soni memberitahu siapa aku. Setelah itu temannya ikut tertawa, lalu Soni pun berkata.
"Ciee udah pulang, gimana rasanya bisa nyusu di ketek emak" ledek Soni.
"Uhh pasri kesenangan dia.." kata temannya.
"Sekarang kamu lanjut kemana?" tanya Soni.
"Pasti dia pengangguran" kata temannya.
Mendengar hal itu hatiku terasa sakit. Sedikit demi sedikit, jiwaku mulai terbakar oleh amarah tetapi aku berusaha untuk menahannya. Terpaksa aku harus melempari mereka, dengan sebuah kebohongan.
"Aku kerja di PT. Pojok Asih, terus rencananya tahun depan mau sambil kuliah di BSI" ujarku.
"Syukurlah kelau begitu" kata temannya.
"Tapi gue kasian sama orang tua elu, karena telah melahirkan seorang sampah. Duit tiga puluh juta keluar dengan percuma" kata Soni.
Seteketika aku teringat semasa sekolah, waktu itu aku berputus asa lalu aku curhat kepada mamahku. Tanpa sengaja aku mengatakan, bahwa diriku terlahir sebagai seorang sampah. Spontan mamahku menangis lalu berlari memasuki kamar. Karena merasa bersalah aku meminta maaf lalu bersujud dibawah telapak kakinya. Semenjak saat itu aku tidak berani mengatakan hal itu kembali. Tetapi makhluk ini dengan lancang mengatakan hal itu, rasanya amarahku sudah di bendung kembali. Dan akhirnya, aku pun memukul wajahnya hingga tercebur ke kolam. Setelah itu ia muncul ke permukaan, lalu menatapku dengan penuh kebencian lalu berenang cepat dan mengejarku.
Aku berlari menjauhi kolam, sebab dikhawatirkan ia akan membalas menceburkanku, ke dalam kolam. Setelah jaraknya cukup aman aku langsung memukul wajahnya, spontan Soni pun menghindar lalu dia langsung membantingku. Kemudian ia menduduki perutku, lalu memukulku bertubi-tubi sambil berkata.
"Elu beraninya mukul wajah gue dasar sampah!" ujar
"Elu yang bajingan sampah!" sambil menangkis, lalu memukul ke arah wajahnya.
Spontan ia menangkat tangan kananku, lalu melintir sedikit demi sedikit hingga kesakitan. Merasa terdesak aku meludahi matanya, tak ambil kesempatan diriku langsung memukul rahangnya. Lalu dia langsung menendang perutku, spontan aku menangkisnya lalu menangkap kakinya. Tiba-tiba dia melompat, lalu menendang kepalaku hingga tersungkur. Kulihat ia langsung berlari ke arahku, dan aku melakukan hal yang sama. Dan akhirnya aku langsung mencekiknya, lalu membantingnya disaat itu juga. Soni terlihat sangat kesakitan pada bagian kepalanya, begitu juga dengan diriku. Tak disangka sebelum aku bangkit, dia berjungkir balik lalu mengunciku. Sebelum dia kembali memukulku, aku langsung mencubit pentilnya lalu melilitnya hingga biru.
Namun dia mulai memukulku dengan membabi buta, dengan nekat aku terbangun dan membenturkan kepalaku dengannya. Perkelahianku denganya berakhir ketika penjaga kolam mulai berdatangan, lalu dia memisahkanku setelah itu menyuruhku untuk segera pergi. Kejadian itu, tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Sesampainya dirumah orang tuaku bertanya mengenai lukaku, lalu aku berkata bahwa ini hanyalah sebuah kecelakaan. Setelah memasuki kamar mentalku turun kembali, lalu aku kembali meratapi nasibku. Tanpa sadar air mataku mulai berlinang, lalu aku mulai menyalahkan diriku sendiri, secara berulang-ulang.