Tiga hari telah berlalu, hari ini adalah giliranku berjaga. Seberang jalan aku melihat seorang yang aku kenal berjalan ke arahku. Dia berjalan menggunakan baju berlengan pendek berwarna merah, celana pendek, serta sendal jepit berwarna hitam. Keningnya yang lebar serta senyumanya, menambahkan kesan unik pada dirinya. Terkadang aku sering memanggilnya dengan sebutan "Si Tarang". Dia memiliki tinggi 170 cm, serta badanya yang kekar. Orang itu bernala Ali teman sekampungku. Dulu kami sering bertengkar, karena permainan sepak bola. Dia pernah menendang bola ke wajahku, sehingga membuatku menangis. Sungguh kenangan yang tak bisa di lupakan. Sudah lama kami tidak bertemu, padahal kita satu kampung. Semasa SMK, aku jarang sekali pulang ke rumah. Pulang ke rumah, itu pun jika ada keperluan dan juga diwaktu tertentu. Hari ini Ali sedang berbelanja sebungkus rokok, selesai meladangi kami pun duduk di kursi depan. Lalu Ali pun bertanya.
"Denger-denger elu keluar dari Akademi?"
"Iya"
"Emangnya kenapa sih?" tanya Ali.
"Gue udah gak kuat, dari pada gue gila disana mending gue keluar. Lagi pula, keuangan keluarga lagi memburuk" sambil menundukkan kepala.
Seketika aku kembali mengingat masa lalu saat di Akademi. Masa saat diriku di pukuli dan difitnahm oleh orang yang tidak aku harapkan. Kemudian aku mengingat perkataan Wa Hari, tentang uang tiga puluh juta. Lalu disambung oleh perkataan mantan senior Soni saat di waterboom. Tanpa sadar aku pun berkata.
"Kenapa sih dengan semua orang, gue selalu salah. Apa-apa di komentari, gue udah gak tahan lagi. Menerut elu apa gue termasuk orang yang gagal ?" tanyaku.
"Gak juga" Sambil mengisap sepuntung rokok.
"Liat gue, udah keluar dari akademi, ditolak kerja, sekarang gue pengangguran!" ujarku dengan suara lantang.
Pada saat itu suasana dijalan sedang sepi, tidak ada orang yang berlalu-lalang dijalan. Hanya ada aku dan juga Ali, kami saling berpandangan sesaat, seolah-olah perasaan kami saling terhubung. Namun dia hanya tersenyum, sambil menikmati sebatang rokok. Dia pun berkata.
"Sesulit apapun hidupmu, setidaknya elu masih beruntung"
"Beruntung apa sialan, dari kecil sampai sekarang. Gue selalu di bully, setiap hari gue selalu di jadiin samsak hidup, kadang gue jadi babu, belum lagi komentar pedas dari orang-orang. Gue bener-bener udah gak tahan!" sambik memegang kepalaku dengan kedua tangan.
"Elu masih mending, setidaknya keluarga elu masih lengkap. Liat gue dari kecil gue gak punya orang tua, gue hidup cuman sama bokap tiri. Pendidikan tamatan SMP, makanya gue bilang dirimu beruntung bro. Setidaknya elu masih bisa kuliah lagi kalau mau" ujarnya.
Aku pun terdiam, dan akhirnya diriku sadar bahwa diluar sana, masih ada orang yang kurang beruntung dariku. Mungkin apa yang aku alami selama ini, tak seberapa dibandingkan dengan dirinya. Aku salut kepadanya, sebab apapun yang terjadi, dia tetap tersenyum. Kemudian ia mengambil HP dari saku celananya. Dia sempat browsing dengan HP miliknya, lalu menunjukkannya padaku. Saat aku melihat layar phonsel miliknya, aku pun terkejut rupanya ini adalah karya cerpenku, yang berjudul "Lembang of story". Ali memuji karyaku, jujur aku tersentuh oleh pujiannya. Lalu ia bertanya, dari mana diriku mendapatkan inspirasi. Kemudian aku menjawab, bahwa aku mendapatkannya dari menonton serial anime, film, dan kisah hidupku sendiri.
Setelah itu di jalan, aku melihat tiga gadis melintas di depan warungku. Ketika mereka melihat Ali, mereka berkata,"Awas ada Ali" sambil berjalan cepat. Sekilas kulihat mimik wajahnya seperti sedang membully. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi, dan mengapa mereka melakukan hal itu. Maklum namanya juga anak rumahan. Melihat ketiga gadis itu ia hanya tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arah mereka. Tiba-tiba mamah muncul dari arah belakang, hari ini mamahku menggunakan hijab dan baju terusan berwarna pink. Di kedua tanganya, ia membawa tiga cangkir kopi luwak. Setelah itu menaruhnya tepat di atas meja, lalu kami pun mulai berbincang-bincang. Sudah lama aku tidak merasakan perbincangan seperti ini, senang rasanya.
Satu jam telah berlalu, akhirnya Ali pun pamit untuk pulang. Dia menitip pesan kepadaku, agar diriku sabar dalam menghadapi hidup. Setelah Ali menjauh dari pandangan, mamahku bertanya dengan intonasi rendah.
"Kamu tahu gak soal Ali?"
"Soal apa?"
"Si Ali itu sebenarnya kurang waras, tetapi mamah terkejut loh. Waktu mamah perhatiin pas lagi ngobrol, sama kamu dia biasa aja" ujarnya.
"Emangnya setres kenapa sih mah?" tanyaku dengan penasaran.
Kemudian mamah menceritakan semuanya, dulu semasa SMP dia sering di bully oleh teman-temannya. Untuk mengakui itu dia mengikuti olimpiade catur tingkat Nasional. Ali berharap jika dia menang, teman-temannya bisa mengakui dan berhenti membully-nya. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi atlet catur professional. Tinggal selangkah lagi, usahanya akan berhasil. Namun ada saja orang jahat yang menghalanginya. Teman yang membully-nya, tiba-tiba memintanya untuk bertemu di sawung pinggiran jalan, tempat mereka menongkrong. Ali tidak sedikit pun curiga, lalu dia bergegas untuk menemuinya. Ketika sudah sampai, Ali langsung di pukuli saat itu juga. Dan akhirnya tingkahnya berubah, saat melihat dan menfengar kata catur ia langsung membantingnya.
Lalu tanpa sadar dia memukul orang disekitarnya. Aku sedih mendengarnya, namun tidak ada yang bisa aku lakukan. Namun aku berharap semoga kelak, masa depannya menjadi lebih baik. Keesokan harinya, mamah memintaku untuk mengantarkan opor ayam ke rumah Ali. Sesampainya di rumah Ali, aku mendengar suara pecahan kaca. Dengan berinisiatif aku mengintip dibalik kaca, lalu melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata Ali baru saja, memukul Pak Syamsul, ayah tirinya. Dia membanting papan catur itu, hingga jatuh berkeping-keping. Ketika Ali akan memukul bapaknya, spontan aku masuk ke dalam lalu menangkis pukulanya. Tenaganya sangat kuat, tanganku terasa sakit saat kulihat terdapat memar di tangan kananku. Rasanya tanganku seperti mau patah. Kemudian aku mendorongnya hingga tersungkur. Aku pun berkata dengan suara lantang.
"Sadar woi ini ayahmu!"
Tiba-tiba Ali tersadar akan perbuatanya, lalu dia langsung mencium kaki ayahnya. Dia pun meminta maaf sambil berlinang air mata. Namun aku beusaha untuk tidak terbawa suasana. Dan akhirnya aku memutuskan untuk keluar, agar mereka bisa berbicara empat mata. Kemudian ia memanggilku, lalu aku masuk ke dalam dan menghampirinya. Dia memintaku untuk mengantarnya ke kamar, setelah itu memasangkan rantai pada kedua tangan dan kakinya. Aku sempat menolaknya, karena dia memintanya dengan sungguh-sungguh, maka aku terpaksa melakukannya. Setelah itu dia berterima kasih kepadaku, aku pun tersenyum lalu menganggukkan kepala. Kemudian, aku memberikan opor ayam kepada ayahnya. Selesai dengan tugasku aku pamit untuk pulang. Hari ini tidak ada yang bisa aku lakukan, selain menyelesaikan tugas yang mamahku berikan.