"Pernahkah kamu berpikir, kuda dalam komedi putar adalah objek kamu untuk bermain perang-perangan?" tanya Lin.
"Hm? Sama sekali tidak. Tapi apa yang kamu katakan, memang tidak salah," jawab Wat.
"Itu yang selalu aku pikirkan."
"Aku berada di belakangmu, yang sedang menunggangi kuda, bagai kesatria yang sedang berperang dan juga melindungiku sebagai seorang putri," tutur Lin dengan nada malu-malunya.
Wat tersenyum, ia mengangguk, memahaminya.
"Sekarang aku sudah menjadi kesatriamu dan akan terus melindungi kamu, Pin dan juga Nas. Kamu tidak perlu berkhayal seperti itu lagi, karena khayalan kamu sudah menjadi nyata."
***
"Lin, aku akan membelikanmu camilan. Tungu di sini, ya," pinta Wat segera berlalu.
Lin duduk di sebuah kursi taman, dekat komedi putar. Ia menunggu bersama kedua anaknya yang tertidur dengan pulas.
Mata Lin tertuju pada suara yang berada di dalam stroller milik Pin.
Lin melihatnya.
Ada ponsel milik Wat di dalam sana. Dan ada panggilan masuk, dengan nama 'Win', yang terpampang jelas di layar ponsel sang suami.
'Win?' batin Lin bertanya-tanya.
Lin memilih untuk menerima panggilannya.
"Halo Wat? Kamu dimana? Kamu lupa janji? Aku menunggumu sejak tadi?!"
Lin mengernyitkan dahi mendengarnya.
"Halo? Ini Win?" tanya Lin memastikan.
"Ha—halo? Bu—kan Wat?"
"Bukan."
"…."
"Halo? Win?" panggil Lin, tidak mendapatkan jawaban lagi dari lawan telponnya.
"Ouh … m—maaf, Lin. Jadi mengganggu waktu kalian," balas Win dan …
Telpon terputus ….
"Win ada apa, ya? Hmmm, bicaranya tidak sampai tuntas," gumam Lin, tidak mau tahu.
Ia kembali menyimpan ponsel Wat di dalam stroller Pin.
"Lin!" panggil Wat tiba-tiba, membuat Lin terkejut.
"W—waaat …! Kamu membuatku kaget," gerutu Lin sembari memegangi dadanya.
Wat terkekeh dan memberikan bungkusan camilan yang dibelinya di sebuah mini market yang memang disediakan di tempat rekreasi itu.
"Sebanyak ini kamu belikan untukku?" tanya Lin.
"Kalau Pin dan Nas suka, berikan saja," jawab Wat sembari mengunyah makanan yang dibelinya. "Coba ini, enak," pinta Wat dengan menyodorkan jamur krispi pada mulut istrinya.
"Hmmmm …."
"Enak?" tanya Wat ingin memastikannya.
Lin mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya, menandakan kalau makanan itu memang enak.
Wat meminta Lin untuk bergeser tempat duduk. Ia ingin duduk bersebelahan dengan istrinya.
Sembari makan, mereka sembari mengajak bicara dan bergurau kedua anaknya. Sekilas, mereka tampat seperti keluarga bahagia. Orang tua muda yang begitu bebas tanpa beban.
Wat mengajak Lin untuk naik wahana yang selanjutnya, namun sayangnya Lin sudah lelah dan meminta untuk pulang saja.
"Kamu yakin? Wahana yang terakhir ini … sudah aku beli karcisnya," ucap Wat menunjukkan empat karcis dengan gambar komedi putar.
Lin dengan gesit merebut karcis itu dari tangan Wat.
"Kalau ini … aku mana bisa menolaknya," ujar Lin dengan kekehannya.
Lin dan Wat masing-masing menggendong anak mereka di depan.
"Pelan-pelan," ucap Wat, membantu Lin untuk naik ke atas kuda-kudaan, dimana saat ini ia sedang mendekap Nas dalam gendongannya.
"Kamu juga, hati-hati," balas Lin.
"Pegangan, ya … aku ada d sebelah kamu."
Lin tersenyum.
Kuda tersebut segera berputar, dengan sangat pelan sebagai permulaan.
Rasa bahagia, yang kini dirasakan oleh Lin, membuatnya teringat pada kejadian beberapa tahun silam. Saat ia dan Wat masih belia. Dimana keduanya sudah bersahabat sejak kecil.
Letak rumah mereka tidak begitu jauh, hanya berbatasan dengan sebuah benteng yang berlubang dan hanya cukup untuk dimasuki anak kecil saja.
Flash back
"Kuku hitam, kerjanya hanya main tanah!"
Lin menoleh, mendengar seseorang mengumpatnya.
Lin bingung, jelas-jelas ia sedang tidak bermain tanah. Ia sedang memegang sebuah boneka kuda poni dan berbicara sendiri.
"Kamu siapa?" tanya Lin.
"Kamu bisa membawaku pergi?"
"Maksud kamu?"
"Ibuku pernah berjanji untuk mengajakku pergi bermain ke sebuah pasar malam. Tapi sampai sekarang dia melupakan janjinya."
"Kamu minta pada ibumu, untuk menepatinya. Dan jangan menggangguku bermain!"
"Ibuku sudah meninggal!"
Lin diam, melihat raut anak laki-laki itu yang berubah muram.
Ia berdiri dan tersenyum. Lin juga mengulurkan tangan kanannya pada anak itu.
"Aku Lin … Lin Kalvinaceka," ujar Lin memperkenalkan dirinya.
Laki-laki itu melihat uluran tangan Lin dan menoleh pada Lin yang kini berada di hadapannya.
"A—aku … Water Ionataurus."
"Wat—ter Io—na, apa?"
"Panggil saja, Wat."
Lin meraih tangan Wat untuk bersalaman.
"Kamu tinggal di mana? Sepertinya kamu anak orang kaya."
"Di perumahan itu," ucap Wat menunjuk ke arah deretan rumah dengan bangunan mewah di seberang mereka.
"B—bagaimana kamu bisa ada di sini?"
"Ada lubang di dinding itu. Dan aku bisa melewatinya. Aku sering melihat kamu bermain sendiri dengan kuda poni ini. Kamu pernah mengucapkan pada ibumu, kalau kamu senang mendapat boneka ini dari pasar malam. Dan aku … sangat ingin pergi kesana."
***
Flash back off
"Lin?"
"…."
"Lin …?"
"…."
Lin masih tidak menjawab.
"Lin!"
Lin tersentak.
Ia mengerjapkan matanya, terkejut.
"Kamu melamun?" tanya Wat.
"Hm? T—tidak, a—aku hanya mengingat sesuatu," jawab Lin.
"Ingat apa?"
"Ingat saat dulu, saat kita masih kecil … kamu memintaku untuk membawamu ke pasar malam."
"Pasar malam?"
Wat diam.
Ia juga mengingat sesuatu, namun bukan ingatannya saat bersama Lin yang terlintas.
'Pulang kuliah besok, aku ingin pergi ke pasar malam bersamamu.'
Wat membesarkan matanya. Ia lupa kalau hari ini ia sudah memiliki janji bersama Win, untuk pergi ke pasar malam.
"Lin?" panggil Wat.
"Iya?"
"Kita pulang, yuk! A—aku teringat kalau aku memiliki janji sore ini."
"Janji apa?"
"Mengerjakan tugas, bersama Mario, Tom dan June."
"O—ouh … baiklah. Mari pulang," balas Lin dengan senyuman.
Lin sama sekali tidak menaruh curiga apapun kepada Wat.
***
Wat segera bergegas kembali masuk ke dalam mobilnya, usai mengantarkan sang istri dan kedua anaknya. Ia lekas memakai seat belt dan membuka kunci layar ponselnya. Ia ingin menghubungi Win, sembari mengemudikan mobilnya, keluar dari komplek perumahan.
Wat melihat dengan jelas, satu panggilan tidak terjawab dan juga satu panggilan masuk dari Win.
"D—dia menelpon?!" tanya Wat terkejut. "Apa Lin yang menerimanya? Tapi kenapa ia tidak bilang?"
Wat tidak mempedulikannya dan segera menghubungi balik Win.
Sayang … panggilannya terus berdering tanpa diterima oleh Win.
Wat mencobanya lagi, sampai berkali-kali. Namun hasilnya tetap sama.
"Win pasti marah karena aku lupa janji," gumam Wat yang menyesal karena telah melupakan janjinya, karena seharian ini ia terlalu asyik menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Wat menambah kecepatan mobilnya, menuju ke rumah Win. Tidak lagi menjemputnya di kampus.
"Win … maafkan aku … maafkan aku karena aku telah melupakan janji kita … maafkan aku, Win …."