Merupakan hal baru bagi seorang Bian Pramoko yang sudah hidup sendiri empat tahun lamanya. Ditambah beberapa rahasia gelap yang disimpannya seorang diri.
Harum ini, kehangatan ini, bahkan tak terbayang dari seorang Tarana sebelumnya.
Kalau perkataan Tarana begitu mendalam mengenai kebenciannya pada Bian, kenapa Tarana tak memperlakukannya sebagaimana seseorang membenci orang lainnya? "Tar?"
Pelebaran mulutnya seketika mengecil lagi melihat pakaian rapi dari Tarana. Beserta dengan celemek yang melekat di depan tubuhnya, tentu. Terkesiap, bingung, juga agak terkejut. "Mau ke mana pagi begini?"
"Bekerja, Bian." Tepat waktu panci di atas kompor dipindahkan ke tatakan di atas meja. "Kamu makan dulu. Saya persiapkan Nataya."
"Jangan kabur sebelum saya selesai bicara. Lagi dan lagi saya mengulangi kalimat itu, tapi tampaknya kamu belum mengerti." Bahu Tarana ditahan dari keberanjakannya. Memundurkannya agar bersisian dengan Bian. "Saya mengira kamu tidak bekerja, Tarana."
"Ya, saya lupa mengatakannya."
Itu jujur. Sungguh. Kalau tidak, Tarana tak akan menggaruk kepalanya secanggung ini. "Tapi saya sudah memikirkan semuanya, Bian."
Bian menunggu dengan pandangan siletnya yang dilancarkan tajam. Walau hasilnya mungkin adalah anjuran konyol, terserahlah. Dengar saja dulu. "Apa?"
"Oke ... jadi pagi hari, kamu akan mengantar Nataya, tentu saja, seperti yang kamu katakan di awal." Menanti respons singkat dari Bian, tapi tak ada. Ya sudah. "Lalu, saya akan menjemputnya saat makan siang nanti."
"Setelahnya?" Kini Bian yang menyela tak sabar. Menyisakan sisa jarak yang teramat tipis agar keduanya berinteraksi intens. "Kamu biarkan dia di rumah?"
"Di ... dekat kantor saya ada tempat penitipan anak, Bian. Daycare, kamu tahu itu?" Mengantisipasinya, Tarana menambahkan cengiran di akhir. Yang mana, menambah ekspresi masam di wajah Bian.
Gagal. Ide yang buruk. Mari batalkan. "Maksud saya, Nataya bisa berinteraksi dengan anak seusianya, dia mungkin juga akan mendapatkan teman yang baik. Toh jam lima sore saya juga sudah bersama Nataya lagi."
"Hm? Jadi begitu ide kamu?" tanya Bian bergaya mengintimidasi.
Tidak. Itu malah sangat mengintimidasinya. Hanya saja, kadar kepekaan Tarana terkadang patut dipertanyakan.
Contohnya, ia tak merasakan apa pun. Hanya kedipan polos, merasa bahwa idenya ini sangat menarik dan sudah menyelesaikan semua masalah.
Padahal, banyak ketidaksetujuan yang sudah dinampakkan di depan wajah Bian. Namun, terus menjaga semua emosinya agar tak menyembur sebebasnya.
Bian masih tahu batas. Masih berusaha menjaganya agar tak menyakiti hati Tarana.
Walaupun wanita itu tak pernah melakukan hal yang sama.
"Dengar, Tarana." Bian maju selangkah. Menunduk agak rendah supaya Tarana jelas menilik ke dalam bola matanya. "Kalau begitu, ide saya begini saja. Kenapa kita tidak menyewa baby sitter saja?"
"Jarak antara rumah dan kantor saya itu cukup jauh, Bian," tutur Tarana membalas. Tak merasakan kegentaran, malah mengalung lengannya persis di lingkaran menggoda itu. "Dan lagi, saya tidak bisa langsung mendatanginya kalau terjadi sesuatu di sana."
"Itu kalau ada yang memberitahu kamu, Tarana," desis Bian mendekat lagi. Pupilnya membesar garang. "Kalau tidak ada? Kalau Nataya diperlakukan tidak baik di sana? Kalau ada teman seumurannya yang menjahili Nataya? Kamu bisa apa saat itu? Saya tahu kamu tidak berhubungan darah dengan dia, tapi kamu tidak boleh seperti ini!"
"Hey, hey, hey!" Tarana membeliak makin kesal. Sengaja menunjuk dada Bian dengan telunjuk kecilnya.
Biar Bian tahu apa yang dirasakannya sekarang! "Saya pernah bekerja di tempat yang seperti itu, Bian. Di lingkungan yang seperti itu, dan saya hidup dari sana! Beraninya kamu memandang tempat penitipan anak sebelah mata, Bian?!"
"Saya hanya bilang kalau, Tar, kalau. Saya tidak ada niatan-"
"Diam!" sentak Tarana jengkel. "Cukup cari-cari alasan kamu! Kalau saya masih berdebat terus di sini sama kamu, bukan hanya saya yang telat. Kamu dan Nataya juga bisa terlambat! Dasar orang tua kolot."
"Ko ... lot?" Bian tergagap takjub. "Tar! Kamu ngatain saya kolot?"
"Itu bukan ngatain, itu fakta!" Mencak-mencak, Tarana menggunakan separuh waktunya untuk berjalan mundur, selagi membalas ucapan kurang ajar Bian. "Kalau kamu gak setuju, bilang aja gak! Kenapa harus curigain pekerjaan orang, sih?"
"Saya tidak setuju karena saya khawatir, Tar," balas Bian mulai mengais sisa-sisa kewarasannya. "Okay, saya minta maaf kalau saya salah bicara."
"Kalau, Bian?" Bersedekap angkuh, mengutip kalimat Bian barusan.
Oh, astaga. Salah satu kata pun sangat diperhatikan oleh wanita pemarah dengan dua alis bertaut itu? Sungguh. "Saya minta maaf karena saya salah bicara. Baiklah, saya seminggu ini akan di rumah, kita putuskan hal yang terbaik untuk Nataya sebagai jalan keluar."
"Tidak, cukup sehari saja," kata Tarana lugas. "Sehabis mengantar Nataya, ikut saya. Pastikan dengan mata kepala kamu sendiri. Jangan menduga-duga."
Hah! Bersanding dengan Tarana, ia merasa darahnya terus mendidih dan mencuat ke permukaan.
Bukan merasa lebih muda. Ia merasa lebih tua lima tahun dari perdebatan barusan. "Dengan satu syarat, Tar."
Bian bergerak ke depan Tarana lagi, tapi bukan untuk berhenti di sana. Melewati sampingnya setelah berbisik kecil, "Itu terakhir kalinya saya mendengar kamu mengatakan saya kolot."
"Kalau fakta- hmpft!"
"Mau fakta, mau apa pun itu, diam saja," cetus Bian mencebik. "Umur kamu bisa-bisa lebih pendek dari saya nantinya. Saya menikah karena tidak ingin ditinggalkan lagi. Kalau kamu juga meninggalkan saya, saya harus apa?"
***
Bukan pertama kalinya, Tarana datang mengunjungi daycare ini. Dibilang dekat, tidak juga. Berjarak lima belas menit.
Dengan kendaraan beroda empat.
Selama masih bisa dijangkau, kenapa tidak? Dari kantornya ke rumah saja butuh waktu tiga puluh menit dengan motor. Ini tentu lebih praktis.
Tarana dan segala pemikiran praktis yang menurutnya benar, juga Bian dengan semua pemikiran lamanya. Apa hanya ia yang merasa, kalau pemikiran Bian lebih tua daripada fisiknya mumpuninya?
Tarana meragukan kecocokan di antara mereka. Buka mulut berdebat, buka mulut, bertengkar. Lama-lama kasihan Nataya kalau harus mendengar cek-cok mereka setiap hari.
Tentu bukan contoh yang baik.
"Sering ke sini?" Bian menoleh bersama selebaran terlipat di jarinya. "Kamu kelihatan gak asing sama mereka-mereka?"
"Temen-temen saya udah pada nikah," sahut Tarana dongkol. "Saya kadang diminta anterin temen saya ke sini buat jemput anaknya. Mobilnya ditaruh di sini."
Pria itu mengangguk tanpa suara. Mengitari tempat ini hanya dengan kilatan mata hitamnya saja. "Berarti mereka bisa dibilang temen-temen kamu, Tar? Saya gak akan diperas, 'kan?"
"Jangan bilang mau saya pukul lagi, Bian?" tanya Tarana menyungging manis. Mempersiapkan apitan jarinya yang mencecar kulit bebas Bian. "Atau mau saya cubit kali ini?"
Bian menarik sudut bibirnya, sedikit terkekeh menganggap buwalan Tarana lumayan menarik. "Sekarang kita ke kantor kamu."