webnovel

Terlalu Jujur

"Bian."

Lengan besar itu diguncang Tarana demi mengembalikan kesadaran Bian kembali. Mencobanya dengan cara ..., terlembut yang Tarana bisa.

Tolonglah. Ini sudah cara terlembut dan termanisnya. Ketimbang Bian yang terkantuk ini ia tepuk? Itu lebih tidak etis lagi, bukan? "Bian Pramoko. Kamu yang suruh saya membangunkan kamu setelah saya mandi. Bangun sekarang."

Hanya Bian seorang yang dilihatnya tidur dengan posisi macam ini. Tidur dalam keadaan duduk dan bersandar pada kasur headboard.

Kalau ingin tidur sedari awal, mengapa tidak terlentang saja? Kasihan lehernya yang menekuk ke bawah ini, tahu?

Ya, mari sebut saja ini sifat kemanusiaan Tarana yang keluar tanpa diminta. Sekejam apa pun dirinya, seberapa ingin dirinya menyiksa Bian, tentu tak akan tega bila Bian pegal berkepanjangan. "Bian Pramoko, hei. Dengar saya?"

Pulasnya sama seperti anak gadis semata wayangnya. Gurat-gurat indahnya tak sirna meskipun hampir berusia setengah abad. Bisa Tarana katakan, kalau Bian adalah pria yang bugar. Tak terlihat berkepala empat yang sesungguhnya.

Ya sudah. Terserah saja. Yang pasti ia sudah berusaha semampunya. Kalau Bian tidak mau bangun, masa Tarana harus memaksanya? Saat bangun nanti juga dirinya yang kena.

Lipatan selimut dibentangkannya melebar di kiri dan kanan. Hendak menaikkannya ke separuh pundak Bian, tapi-

Grep!

"Mau apa?"

Dua kali, sampai tiga kali Tarana berkedip mengejutkan. Cengkramannya pada ujung selimut terlepas, terjatuh melambai di atas tubuh Bian sekalipun pria itu tak menunjukkan netra pekatnya itu.

Bian ini sebenarnya sadar atau tidak, sih? Atau dia sedang mengigau? "Hey, Bian!"

"Hm." Bian menjawab dengan gumaman sayunya. Katupan matanya lambat laun membeliak sipit. "Kamu mau apa?"

"Memakaikan kamu selimut. Kamu kira saya mau apa, huh?" decak Tarana jengkel. "Terserah kamu saja. Yang lelah itu bukan kamu saja, tapi saya juga. Kamu di sisi kiri, saya kanan. Saya kira kamu sepakat akan hal itu."

"Kalau saya belum mandi, bangunkan saya. Jangan selimuti saya," pesan Bian mengeluh pelan. Memutar lehernya yang kaku. "Saya tidak terbiasa tidur sebelum bersih."

"Sok bersih," cibir Tarana mencebik. Merenggut remote televisi dari tangan Bian guna mengganti channel sesuai seleranya. "Kalau mengantuk ya tidur. Mana ada waktu memikirkan hal lain?"

Bian mendengkus kecil. "Kamu selalu begitu pasti."

"Ya iyalah!"

"Jorok."

"Heh!" Pelototan Tarana tak sampai sebab Bian sudah menghilang tanpa menoleh balik kepadanya.

Ah, sialan. Ini benar-benar jadi sebuah balas dendam di antara mereka. "Lain kali saya sengaja saja tidak ganti baju lalu menulari virus di kasur kamu ini. Lihat saja kamu akan bereaksi seperti apa."

"Saya dengar semuanya, Tarana Manuella." Suara berat pria itu menembus kamar mandi, menerobos Tarana yang berdecak lagi.

Oh, sial. Apa tidak ada ruangan di mana tidak ada Bian didekatnya?! "Saya bukan berbicara sama kamu! Saya menolak satu kasur dengan kamu!"

"Jadi ingin satu kasur dengan orang lain?"

Kenapa pertanyaan itu menjurus ke arah lain, sih?! "Saya bukan orang yang dengan teganya menodai ikatan suci, ya, Bian!"

"Bagus kalau begitu." Tak disadari oleh Bian yang menanggalkan pakaiannya, bahwa di bibirnya mulai terbit matahari hangat. "Saya pegang ucapan kamu, Tarana Manuella."

***

"Mama?"

Wanita yang sibuk memasak itu beralih sedikit pada si pemanggil. Tak lama, kebahagiaannya mulai terpancar keluar. Bahkan, mengabaikan sementara kompornya untuk mendudukan Tarana di meja barnya. "Duduk, Tar. Mama masak dulu, ya."

"Mau bantu, Ma." Bergegas Tarana berpindah, tahu-tahu sudah menjejak di sebelah Kyla yang tingginya sepantaran dengannya. "Masa aku ke sini cuman buat nontonin Mama aja? Aku yang gak enak nantinya. Aku juga tahu diri kali, Ma."

"Jangan bilang ke Bian kalau Mama yang maksa kamu, ya," canda Kyla.

"Justru aku ke sini takut Bian entar ngejek aku mulu, Ma. Resek banget itu orang," gerutu Tarana tak peduli tempat. "Mana tidurnya gak bisa diem banget. Kaki aku didorong, tangan aku dirapetin. Aku mana bisa tidur semalem?"

"Karena kamu tidurnya berantakan, Tarana. Kamu kira saya bisa tidur semalam?"

Untuk sekadar melirik dan menyapa Bian sebagai formalitas saja, Tarana sangat malas. Malamnya dikacaukan, paginya lebih parah lagi. Rasanya ingin membenturkan kepala Bian hingga hilang ingatan dan tak membalas setiap ucapannya!

Diperkiraannya, akan lebih mudah menghadapi Bian yang manut-manut saja. Siapa yang menyangka setelah menikah, tingkahnya jadi sebanyak ini?

"Udah, Bian, Tarana," lerai Kyla menyurutkan senyum lebarnya. Berusaha tak membuatnya semakin panjang. "Bian, bangunin Nataya. Setelah sarapan, nanti Nataya pulang sama kalian."

"Nataya ..., ramah sama orang asing gak, Ma?" bisik Tarana pelan, namun pelannya dia adalah ... bicara dengan nada sedang.

Setiap orang juga bisa mendengar pertanyaan itu. Tak terkecuali Bian yang memincing penuh peringatan. "Kalau saya ajari dia untuk ramah, dia bisa dibawa orang pergi, Tarana."

Gerutuan Tarana seakan tidak pernah selesai. Ya, tidak akan pernah. Selama Bian masih mengarahkan tajamnya penglihatannya itu padanya, mengatakan dirinya tidak sopan, mengatakan bahwa ucapannya tidak ada yang baik ....

Kalau semua itu benar memang kenapa? Biar saja ia menggantikan kakaknya yang tak pernah egois itu. Walaupun di dalam dirinya pun memang egois. Namun, itu nilai plus, bukan? Tinggal mengeluarkan semuanya saja. "Oh."

"Udah, Bian. Bangunin Nataya sana," usir Kyla sekali lagi. "Sampai cokelat aja, ya, Tar. Jangan kematengan. Mau dimasak lagi nanti."

"Iya," sahut Tarana cepat menurut. "Ma, aku mau tanya."

"Hm?" Daging ham itu dicincang Kyla berbentuk kotak-kotak. Pergerakannya tak berhenti walau dipanggil dan menoleh pada Tarana. "Ya, Tar?"

"Bian emang resek gitu, ya?"

Pft. Kyla tak kuasa menahan tawanya sedemikian rupa mendapat pertanyaan unik seperti itu. Bukan marah, ia hanya merasa lucu saja. "Kamu terlalu jujur, Tar. Coba kalau Bian denger kamu ngomong kayak gitu. Bisa diemin kamu satu minggu itu, Tar."

"Tapi dari kemarin dia gak ada diem-diemnya sama aku, Ma." Ya. Semua yang terlintas dalam dua hari belakangan tak ada yang baik. Banyak yang buruk, tapi tak yang dibayangan Tarana.

Apa karena Tarana belum mengeluarkan kemampuannya semua, ya? Mungkin ia kurang berusaha? "Ada, sih. Tapi dia diemnya pas aku lagi gak mau dia diem!"

"Kalian ini kenapa, sih?" Semburan tawa Kyla meluncur bebas mengudara. Tergelak puas akibat pengaduan yang sejujurnya ... pada orang yang salah. "Kayak awal yang Mama ngomong, Tar. Dia itu tertutup orangnya. Bukan ngomong yang singkat begitu memang, tapi seadanya. Di luar itu, Mama gak tahu sama sekali, Tar."

"Merebut hati dia itu enggak mudah, Tar. Apalagi kalian baru kenal langsung nikah. Kamu juga yang Mama lihat orangnya keras, sedangkan Bian lebih cenderung ..., apa, ya? Mau dihormatin gitu, Tar?" tanya Kyla. Lantas, mengibaskan ringan tangannya. "Mungkin karena perbedaan usia kalian, kali?"

Atau bukan?