B.
[Kamu yakin tidak mau saya jemput lagi, Tar?]
[Saya berada di dekat kantor kamu, sedang menjemput Nataya. Kalau kamu berubah pikiran, harap kirimkan saya chat lima menit setelah kamu membaca pesan ini, Tar.]
[Ps: gengsi hanya membawa petaka bagi kamu. Kalau kamu ingin saya turun ke B2 pun, saya tidak masalah akan hal itu.]
Tarana.
[Tidak. Terima kasih. Pulang duluan saja.]
"Tar? Lo gak mau pulang dianter Rallan aja?" tanya Claire membahukan tas hitamnya. "Atau ada yang perlu gue bantu, gak?"
"Kalo gue butuh bantuan pasti dari awal gue udah ngomong ke lo atau Rallan, Claire." Perempuan itu menyugar rambut yang habis dibasuhnya dengan air. Lantas, menggeleng seraya tersenyum tipis. "Kalian pulang duluan aja. Gue nyusul nanti."
"Serius?" Rallan muncul dari belakang Claire. Mendadak, tanpa kabar. "Kalau soal motor, gue bisa minta temen gue buat bawa ke apart lo, Tar."
Nah, itu juga satu masalah lagi. Di apartemen itu sudah tidak ada siapa-siapa. Barang-barangnya sudah dikosongkan oleh Tarana, meskipun kunci masih ada padanya. Nanti orang lain akan menitipkan motornya pada siapa? "Duh, enggak deh. Gue gak percaya sama orang yang gak gue kenal. Gue oke, kok."
Drt!
Pandang mata Tarana jatuh lagi ke layar ponsel berwallpaper hitamnya itu. "Gue oke, serius. Nanti gue panggil ojek online aja kalau gak memungkinkan buat pulang. Kalem."
"Hubungin gue kalau ada apa-apa, Tar." Rallan merangkul bahu Claire dekat dengannya. "Atau, kalau lo belom pulang, setelah anterin Claire, gue bisa anterin lo."
Tatapan Tarana merangkak naik menuju Claire yang terlihat santai, walaupun rona kemerahan mencuat di sana. "Gak usah. Gue bilang gue oke. Lo berdua jangan keras kepala."
Drt! Drt!
Oh, astaga. Ponsel ini seakan tak memberi Tarana sedikit waktu saja untuk bersantai. "Lo berdua cabut, deh. Gue mau angkat telepon dulu. Geter mulu, resek."
"Hati-hati juga buat lo, Tar!" Rallan berteriak kala Claire menyeretnya menjauh. "Jangan sampe diapa-apain!"
Pelototan Tarana sungguh bisa membelah Rallan yang ditarik Claire menjauh. Hampir saja melempar gulungan tisu kalau saja kedua orang itu tidak lebih dulu hilang ditelan pintu lift. "Awas aja lo, Lan!"
Kembali Tarana pada ponselnya yang masih membunyikan dering tanpa ampunnya. Kalau memang pada akhirnya Bian sememaksa ini, mengapa sok memberikan waktu lima menit jika semenit pun tidak tahan? "Apalagi?"
"Kamu tidak menjawabnya."
"Lima menit, ingat?" Tarana mendengus. Melambaikan tangannya dengan bisikan pelan kala rombongan orang mulai menipis mengantri di depan lift. "Saya sedang berbicara dengan teman saya, Bian."
"Oh, yang kemarin itu?" Bian nampak tertarik dengan obrolan ini. "Dia bilang apa ke kamu?"
"Dia mengira saya jadi simpanan kamu!" sentak Tarana berapi-api. "Dan saya bahkan tidak bisa mengelak kalau itu bukan kamu! Mereka sudah melihat kamu! Sekarang, terima kasih karena sudah menghubungi saya, atau yang saya sebut sebagai mengganggu!"
"Tunggu, tunggu. Jangan tutup teleponnya dulu," ujar Bian tak kuasa menahan gelak tawanya.
Dan entah mengapa, Tarana masih menyatukan ponselnya itu di telinga dengan helaan pasrahnya. Mendengar gelak tawa berat di seberang sana, ternyata tak semenyebalkan itu. Walaupun menyisakan kedongkolannya sedikit. "Kamu menertawakan saya sekarang."
"Saya tahu," sahut Bian menyisakan sedikit tawanya. "Dan maaf untuk itu."
Cukup lama keduanya terdiam. Untuk Tarana pun, membuang wajahnya ke jendela transparan di ujung sudut kantornya. "Saya bawa kendaraan, Bian."
"Dan kendaraan kamu itu motor, Tar. Bahaya bawa malem-malem," ujar Bian dengan lebih baik. "Saya rasa karyawan kantor kamu sudah pulang semua, 'kan?"
"Tahu dari mana?" tanya Tarana melengkungkan alisnya bingung. "Jangan bilang-"
"Benar. Saya ada di depan kantor kamu," sela Bian santai. "Semakin lama kamu turun, semakin lama saya berada di halaman parkir."
***
Mau tak mau lengkungan senyum di bibir Bian melebar mengikuti hatinya yang terasa hangat di luar kontrolnya. Menontoni bagaimana tergopoh-gopohnya Tarana turun dari lobby, berlari dengan sepatu kets yang melekat di kaki mungilnya.
Di mata Bian, semuanya menarik. Tidak ada yang tertinggal dari si pemerhati kepada Tarana. Tak lagi terlingkupi kegelapan, hanya ada kenyamanan yang merongrongnya dari dalam.
Perasaan unik yang sudah lama tak ia dapatkan. Aneh sekali ia bisa mendapatkannya dari gadis berisik seperti seorang Tarana, yang ia kira tak akan cocok dengannya.
Sebelum Tarana menarik pintu kiri mobil kesal, Bian mendahului Tarana berbicara melalui jendelanya. "Hati-hati. Di sana ada Nataya yang tertidur. Bukanya pelan-pelan."
"Saya juga tahu itu!" desis Tarana jengkel. "Dan cukup dua kali ini saja! Jangan buka lagi jendela kamu kalau kamu tidak mau saya diejek lagi."
"Padahal saya pikir itu ejekan yang cukup bagus, Tar."
"Bian!" peringat Tarana sengit.
"Maaf," kekeh Bian pelan. Melihat ekspresi yang mengerut itu ... Bian ingin melihatnya setiap hari. "Bercanda."
Karena penuturan Bian pula, Tarana jadinya memutari mobil untuk membuka pintu di kanan. Benar saja. Nataya terlelap di sudut lain. Bantalan leher kecil melekat untuk memberikan kenyamanan tidur pada Nataya. "Kamu bilang ke dia kalau mau jemput saya?"
Bian menggeleng kecil. "Dari saya jemput udah tidur. Mungkin capek main hari ini."
"Bian, saya ada mau tanya ke kamu," ungkap Tarana. Terdahulu tasnya diletakkan hati-hati ke perbatasan kursi. Mendekatkan dirinya ke celah kursi depan. "Apa saya resign saja dari pekerjaan saya?"
"Saya yang ayahnya, Tar. Kenapa jadi kamu yang resign dari pekerjaan?" Bian membalik pertanyaan itu kembali pada Tarana. Tersenyum menenangkan bahwa urusan Nataya tak perlu dipikirkannya terlalu sulit. "Mungkin iya juga waktu itu saya belum menemukan solusinya. Sekarang sudah, Tar."
"Hari ini kamu menelepon saya tiga kali, Bian." Separuh bibirnya mencebik selagi menggulir layar ponselnya, menampakkan bukti sesungguhnya. "Lihat!"
Justru, penamaan yang diberikan Tarana membuatnya salah fokus. "B? Hanya itu yang kamu berikan pada kontak saya? Padahal saya memberikan kamu nama lengkap, loh."
"Bisa tidak jangan memutar pembicaraan?"
"Karena kamu takut saya terungkap oleh orang lain juga?" Kini Bian bertanya memperserius situasi nyaman yang terbentuk. Mobil bergetar menunjuk kesediaan mobil untuk pergi dari laman parkir yang tersisa sedikit. "Maksud saya menggelar private wedding bukan untuk menyembunyikan kamu."
"Ayah saya yang memintanya," sela Tarana mendahului. Posisi hampir terjatuh Nataya dibetulkannya. Juga, meletakkan kepala Nataya untuk bersandar nyaman di pahanya. "Karena takut saya mencemarkan nama Manuel, Bian. Saya tahu semuanya."
"Tapi pada akhirnya kamu di sini. Menerima baik buruknya diri saya, juga memperlakukan Nataya sebagai anak kamu sendiri," timpal Bian tak lagi menjadikan percakapan ini satu-satunya fokus. "Untuk alasan apa pun itu, saya tetap berterima kasih pada kamu, Tar."